alectar

asel yang selalu ada dan hamzi yang selalu sedia


“Sel, kemarin aku mimpi Ibu.”

Penggunaan aku-kamu dalam hubungan kami bisa dibilang tidak terlalu sering. Biasanya, kami lebih sering menggunakan gua-elu atau panggilan nama.

Tapi ada beberapa waktu di mana salah satu diantara kami, akan menggunakan aku-kamu layaknya pasangan remaja yang sedang berada di puncak asmara. Atau kadang-kadang, emang lagi pengen aja, sih.

Setelah bertahun-tahun menjadi seorang kekasih dari lelaki yang relasinya seluas lautan, Hamzi semakin bisa terbuka dengan emosi-emosi yang dia rasakan.

Dulu dirinya hanya bisa melantur gak jelas, tiba-tiba mabok, atau diam sepanjang hari dan memilih untuk nggak menghubungiku.

Sekarang, Hamzi yang menyimpan segalanya sendiri itu sudah berubah menjadi Hamzi yang menceritakan segala hal bahkan sampai hal terkecil seperti ia diberikan kembalian dengan dua buah permen.

Saat ini kami sedang berada di rumah Ibu Hamzi. Setelah mendengar perkataan Hamzi tadi, aku langsung menghentikan permainan online yang sedang aku mainkan, menutup aplikasinya lalu mengunci layar ponsel. Atensiku kini ku arahkan penuh pada dirinya yang terlihat murung di meja makan. Tadi, dia sedang melahap bubur ayam.

Sedikit cerita, kemarin sore Hamzi bilang tubuhnya demam. Dia pusing, kalau bangun serasa melayang, serta pilek yang sakitnya terasa sampai leher itu begitu menyiksanya hingga kesusahan untuk melakukan aktivitas. Dia menghubungiku, menelpon dengan suara gemetar kedinginan.

“Aku sakit.” Katanya, suaranya terdengar parau.

Aku yang ketika itu masih di kampus, langsung keluar dan mencari angkutan umum.

“Aku di bis. Tunggu, ya. Mau makan apa?” Jawabku sambil lari.

Ada jeda beberapa menit pada panggilan kami.

“Sel.”

Aku berhenti sejenak di pinggir jalan. “Iya, Hamzi?”

“Anterin ke makam Ibu.”

Kemarin ketika di makam Ibu, hujan turun sewaktu aku dan Hamzi duduk di pinggiran pusara Ibu. Aku sudah jaga-jaga bawa payung; aku tahu akan turun hujan dan Hamzi pasti nggak akan mau menepi sebentar ke tempat yang teduh.

Kalau kata Hamzi, aku ini orangnya memang penuh inisiatif.

Meskipun memakai payung, punggung belakang kami serta bagian bawah yang tidak ikut tertutup payung itu turut kebasahan juga. Hamzi menyenderkan kepalanya pada pundakku, ia terus memandangi pusara Ibu.

“Dulu ya, sel. Waktu masih SMP, Ibu seneng banget banggain gua karena gua ganteng.”

Aku terkekeh. “Ah masa ganteng?”

Dia memeluk lengan sebelahku. “Iya lah. Lu liat aja ini, ganteng kan gua sekarang? Malah tambah ganteng gak sih setelah kumisan?”

Aku tidak balas iya ataupun tidak. Aku hanya balas dengan gelak tawa yang semakin menjadi. Hamzi seakan tahu jawaban pasti ku apa karena tiba-tiba dia menyatukan tangan kami. Jari-jari kami saling taut; saling ikat emosi-emosi yang kami rasakan sekarang.

“Dulu tuh… keluarga besar Ibu kalau ngumpul suka banggain prestasi anak-anaknya. Lu tau gua gimana kan sel? Bangor parah lah pokoknya. Waktu SMP, gua naik kelas aja udah alhamdulillah.”

Dengan seksama aku mendengar cerita Hamzi sambil mengelus tangannya menggunakan jempol.

“Waktu Ibu ditanya sama Nenek dan tante apa kelebihan aku, Ibu selalu jawab kalau Hamzi kelebihan gantengnya.”

Cerita demi cerita tentang mendiang Ibunya terus mengalir bersama hujan yang seakan mendukung perasaan Hamzi kala itu, aku mendengarkan sampai habis-sampai hujan berhenti. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang sebelum matahari tenggelam.

Kembali ke saat ini, Hamzi menundukkan kepalanya seraya mengaduk-aduk bubur yang mulai mencair. Bubur itu sudah aku siapkan dari satu jam yang lalu, namun baru ia makan sekitar lima belas menit yang lalu. Itu pun, sepertinya hanya ia aduk-aduk hingga tekstur kental bubur itu hilang.

Aku menarik bangku di sebelahnya, menemaninya duduk di meja makan lalu meraih tangannya untuk ku genggam. “Seneng nggak, mimpinya?” tanyaku.

Hamzi menyandarkan tubuhnya pada senderan kursi, matanya menatap ke seluruh sudut rumah ini. Pandangannya menyapu habis apa yang bisa netranya tangkap terhadap isi rumah ratunya. Hamzi, saat ini seakan sedang memutar ulang kenangan bersama keluarganya dulu. Ia tersenyum, lalu sendu setelahnya. Selanjutnya tertawa sambil mengatakan, “si Ami dulu pernah makan garem dua sendok terus langsung muntah.” namun setelah itu alisnya menyerngit.

Aku tersenyum sendu memperhatikannya. Elusanku pada genggaman tangannya tidak berhenti satu detik pun. Aku ingin Hamzi tahu dan sadar bahwa aku ada dan aku akan selalu siap menemaninya bagaimana pun kondisinya.

Hamzi menoleh kepadaku, kepalanya tiba-tiba ia sandarkan pada pundakku. “Ada kamu.” Katanya.

“Sekarang ada kamu.” Katanya lagi.

Rasanya aku seperti sedang mendengar sumpah resmi. Perkataannya membuat hatiku hangat. Presensiku di sini rasanya sangat diapresiasi, dan aku bersyukur karena Hamzi seakan megizinkanku untuk turut hadir dalam segala fase pada dirinya.

Aku mau, aku siap, dan aku akan bersungguh-sungguh.

Untuk melihatnya rapuh, lalu tumbuh lagi menjadi seorang lelaki yang utuh. Untuk melihatnya hancur, lalu bangkit lagi menjadi seorang ksatria gagah. Untuk melihat sukanya, menyaksikan tawanya, serta menemaninya sampai nanti–sampai waktu yang memisahkan kita, sampai bumi hancur.

Karena yang ku dambakan saat ini bukan lagi nilai tinggi pada mata kuliah, atau peringkat satu dalam kompetisi.

Yang ku dambakan saat ini adalah semoga dirinya selalu disiram dengan hal-hal baik. Yang ku dambakan saat ini adalah indahnya taman kecil di belakang rumah kami nanti–ketika aku dan Hamzi sudah keriput, ketika kami akhirnya membuktikan sumpah kami masing-masing.

Bahwa aku akan selalu ada.

Bahwa dia akan selalu sedia.

asel yang selalu ada dan hamzi yang selalu sedia

“Sel, kemarin aku mimpi Ibu.”

Penggunaan aku-kamu dalam hubungan kami bisa dibilang tidak terlalu sering. Biasanya, kami lebih sering menggunakan gua-elu atau panggilan nama.

Tapi ada beberapa waktu di mana salah satu diantara kami, akan menggunakan aku-kamu layaknya pasangan remaja yang sedang berada di puncak asmara. Atau kadang-kadang, emang lagi pengen aja, sih.

Setelah bertahun-tahun menjadi seorang kekasih dari lelaki yang relasinya seluas lautan, Hamzi semakin bisa terbuka dengan emosi-emosi yang dia rasakan.

Dulu dirinya hanya bisa melantur gak jelas, tiba-tiba mabok, atau diam sepanjang hari dan memilih untuk nggak menghubungiku.

Sekarang, Hamzi yang menyimpan segalanya sendiri itu sudah berubah menjadi Hamzi yang menceritakan segala hal bahkan sampai hal terkecil seperti ia diberikan kembalian dengan dua buah permen.

Saat ini kami sedang berada di rumah Ibu Hamzi. Setelah mendengar perkataan Hamzi tadi, aku langsung menghentikan permainan online yang sedang aku mainkan, menutup aplikasinya lalu mengunci layar ponsel. Atensiku kini ku arahkan penuh pada dirinya yang terlihat murung di meja makan. Tadi, dia sedang melahap bubur ayam.

Sedikit cerita, kemarin sore Hamzi bilang tubuhnya demam. Dia pusing, kalau bangun serasa melayang, serta pilek yang sakitnya terasa sampai leher itu begitu menyiksanya hingga kesusahan untuk melakukan aktivitas. Dia menghubungiku, menelpon dengan suara gemetar kedinginan.

“Aku sakit.” Katanya, suaranya terdengar parau.

Aku yang ketika itu masih di kampus, langsung keluar dan mencari angkutan umum.

“Aku di bis. Tunggu, ya. Mau makan apa?” Jawabku sambil lari.

Ada jeda beberapa menit pada panggilan kami.

“Sel.”

Aku berhenti sejenak di pinggir jalan. “Iya, Hamzi?”

“Anterin ke makam Ibu.”

Kemarin ketika di makam Ibu, hujan turun sewaktu aku dan Hamzi duduk di pinggiran pusara Ibu. Aku sudah jaga-jaga bawa payung; aku tahu akan turun hujan dan Hamzi pasti nggak akan mau menepi sebentar ke tempat yang teduh.

Kalau kata Hamzi, aku ini orangnya memang penuh inisiatif.

Meskipun memakai payung, punggung belakang kami serta bagian bawah yang tidak ikut tertutup payung itu turut kebasahan juga. Hamzi menyenderkan kepalanya pada pundakku, ia terus memandangi pusara Ibu.

“Dulu ya, sel. Waktu masih SMP, Ibu seneng banget banggain gua karena gua ganteng.”

Aku terkekeh. “Ah masa ganteng?”

Dia memeluk lengan sebelahku. “Iya lah. Lu liat aja ini, ganteng kan gua sekarang? Malah tambah ganteng gak sih setelah kumisan?”

Aku tidak balas iya ataupun tidak. Aku hanya balas dengan gelak tawa yang semakin menjadi. Hamzi seakan tahu jawaban pasti ku apa karena tiba-tiba dia menyatukan tangan kami. Jari-jari kami saling taut; saling ikat emosi-emosi yang kami rasakan sekarang.

“Dulu tuh… keluarga besar Ibu kalau ngumpul suka banggain prestasi anak-anaknya. Lu tau gua gimana kan sel? Bangor parah lah pokoknya. Waktu SMP, gua naik kelas aja udah alhamdulillah.”

Dengan seksama aku mendengar cerita Hamzi sambil mengelus tangannya menggunakan jempol.

“Waktu Ibu ditanya sama Nenek dan tante apa kelebihan aku, Ibu selalu jawab kalau Hamzi kelebihan gantengnya.”

Cerita demi cerita tentang mendiang Ibunya terus mengalir bersama hujan yang seakan mendukung perasaan Hamzi kala itu, aku mendengarkan sampai habis-sampai hujan berhenti. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang sebelum matahari tenggelam.

Kembali ke saat ini, Hamzi menundukkan kepalanya seraya mengaduk-aduk bubur yang mulai mencair. Bubur itu sudah aku siapkan dari satu jam yang lalu, namun baru ia makan sekitar lima belas menit yang lalu. Itu pun, sepertinya hanya ia aduk-aduk hingga tekstur kental bubur itu hilang.

Aku menarik bangku di sebelahnya, menemaninya duduk di meja makan lalu meraih tangannya untuk ku genggam. “Seneng nggak, mimpinya?” tanyaku.

Hamzi menyandarkan tubuhnya pada senderan kursi, matanya menatap ke seluruh sudut rumah ini. Pandangannya menyapu habis apa yang bisa netranya tangkap terhadap isi rumah ratunya. Hamzi, saat ini seakan sedang memutar ulang kenangan bersama keluarganya dulu. Ia tersenyum, lalu sendu setelahnya. Selanjutnya tertawa sambil mengatakan, “si Ami dulu pernah makan garem dua sendok terus langsung muntah.” namun setelah itu alisnya menyerngit.

Aku tersenyum sendu memperhatikannya. Elusanku pada genggaman tangannya tidak berhenti satu detik pun. Aku ingin Hamzi tahu dan sadar bahwa aku ada dan aku akan selalu siap menemaninya bagaimana pun kondisinya.

Hamzi menoleh kepadaku, kepalanya tiba-tiba ia sandarkan pada pundakku. “Ada kamu.” Katanya.

“Sekarang ada kamu.” Katanya lagi.

Rasanya aku seperti sedang mendengar sumpah resmi. Perkataannya membuat hatiku hangat. Presensiku di sini rasanya sangat diapresiasi, dan aku bersyukur karena Hamzi seakan megizinkanku untuk turut hadir dalam segala fase pada dirinya.

Aku mau, aku siap, dan aku akan bersungguh-sungguh.

Untuk melihatnya rapuh, lalu tumbuh lagi menjadi seorang lelaki yang utuh. Untuk melihatnya hancur, lalu bangkit lagi menjadi seorang ksatria gagah. Untuk melihat sukanya, menyaksikan tawanya, serta menemaninya sampai nanti–sampai waktu yang memisahkan kita, sampai bumi hancur.

Karena yang ku dambakan saat ini bukan lagi nilai tinggi pada mata kuliah, atau peringkat satu dalam kompetisi.

Yang ku dambakan saat ini adalah semoga dirinya selalu disiram dengan hal-hal baik. Yang ku dambakan saat ini adalah indahnya taman kecil di belakang rumah kami nanti–ketika aku dan Hamzi sudah keriput, ketika kami akhirnya membuktikan sumpah kami masing-masing.

Bahwa aku akan selalu ada.

Bahwa dia akan selalu sedia.

Stuck In The Moment.

POV: Ejen.

Kalian pasti tahu lingkaran, 'kan?

Sewaktu aku masih di bangku sekolah dasar, aku sebut lingkaran sebagai angka 0. Walau sebenarnya angka 0 lebih mirip oval, sih.

Namun biarlah aku mendefinisikan lingkaran dengan arti yang lain, dengan versiku sendiri; lingkaran itu bagai hidup yang ku jalani.

Berputar terus dari titik satu ke titik lainnya, tidak memiliki sudut untuk jadi persimpangan ketika lelah berlari. Setiap hari aku mengitari lingkaran yang ujungnya adalah titik mulai lagi.

Membosankan.

Sepi.

Tidak menyenangkan.

Aku mulai muak dengan kehidupan seperti ini, aku ingin sesuatu baru yang membuat hatiku rasanya akan meledak karena perasaan bungah. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin dicinta.

Keinginanku yang hanya diketahui oleh hati dan pikiranku kala itu, dengan cara yang begitu unik, Tuhan menghadirkan seseorang yang kini sangat bangga untuk aku sebut namanya.

Seseorang yang saat ini sedang memasangkan syal pada leherku. Syal rajut yang ia buat sendiri khusus untukku. Dengan bubuhan jahitan pada ujung syal itu. 'For eternity and beyond.'

Nggak. Bukan syalnya yang untuk selamanya, tetapi kami.

Syal itu hadiah pemberiannya untuk hari jadi kami yang ke-3 tahun. Dia punya juga, bertuliskan 'H&E'.

Yang berarti, jika disambungkan; Hiyu & Ejen for eternity and beyond.

Aku sangat menyukainya. Aku selalu bawa dan pakai syal itu kemanapun aku pergi. Syal itu bagai jimat yang membuatku semangat untuk menjalani hari. Karena hanya melihat tulisan jahitannya, sedih serta sendu yang hendak mampir rasanya seperti ditangkis.

Cuaca London sedang tidak sedingin biasanya. Namun tetap, jika tidak berpakaian hangat, cepat atau lambat dingin pasti akan menusuk.

Hiyu baru saja datang kemarin dengan bawaan oleh-oleh yang banyak sekali. Dia sampai bawa dua koper; satu untuk pakaiannya, satu untuk oleh-oleh.

Kebiasaan Hiyu selalu seperti itu setiap mengunjungiku di sini. Aku selalu antusias ketika waktunya unpacking bawaan dia dari Indonesia, dia akan mengabsen satu-satu benda atau makanan; dari siapa, untuk apa, bagaimana kegunaannya, dan hal lain yang ia sampaikan dengan menyenangkan.

Titipan itu tidak hanya dari keluargaku dan keluarganya. Namun juga dari anak-anak panti. Kata Hiyu, sebelum dirinya ke sini, dia pamit pada anak-anak panti dan memohon maaf untuk berhalang hadir minggu ini. Saat mereka tahu bahwa Hiyu akan mengunjungiku, mereka langsung membuat surat yang dihias menggunakan karton dan kertas warna.

Surat-surat itu ditulis dengan spidol warna-warni, ditambah juga dengan ilustrasi aku yang memegang mikrofon, ada juga yang menggambar menara Big Ben.

Sangat sederhana, murni, dan tulus.

Sederhana namun bermakna.

Saat ini kami sedang di jalan pulang menuju kediamanku. Kami tadi baru saja bertemu dengan Yangyang dan Kun di restoran yang sedang ramai diperbincangkan.

Tangan kananku memeluk lengan kirinya selama kami berjalan. Kami memelankan langkah, melihat ke arah manapun yang bisa mata kami tangkap.

“Ejen, liat tuh bagus.” Ia menunjuk pada salah satu payung yang sedang dipegang orang.

“Payung?”

Dia mengangguk. “Iya, payung. Kamu tau nggak, payung?”

Aku tidak heran lagi akan pertanyaan random darinya, aku selalu suka setiap Hiyu melakukan ini.

“Nggak tau. Emang payung itu apa? Kenapa kamu bilang payung orang bagus?” Tanyaku sok polos.

“Payung itu alat buat melindungi hujan, dek.”

Oh… there he goes again.

Memanggil aku dengan sebutan 'dek' setiap kali dia menjelaskan atau mengarahkan sesuatu, seperti mentor berpengalaman handal.

Aku tertawa mendengar penjelasannya. Hiyu ini… kadang nggak jelas. Tapi sudah aku bilang, bukan?

Aku ini sangat mencintainya… sangat cinta pada lelaki ini sampai ingin menjadi bodoh karenanya. Menjadi bodoh bersamanya.

“Oh… aku baru tau fungsi payung. Terus kenapa kamu suka payung orang?”

Kami berhenti melangkah. Hiyu memandangi payung orang itu sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.

“Soalnya payung di London gede. Ibun suka payung yang gede dan lebar, supaya belanjaannya nggak ikut keujanan.”

Si dia yang sekarang janggutnya ia biarkan tumbuh itu mengatakannya dengan sangat serius. Aku nggak bisa menahan tawa ketika matanya terlihat sungguh-sungguh menyukai payung milik orang.

“Nanti kita beliin buat Ibun, ya…”

Hiyu pasang tampak terkejut, lalu tangannya ia kepal dan entakan ke bawah. “Yes! Ibun punya payung baru.”

Aku tidak perlu bertanya mengapa ia sesenang itu hanya karena payung. Aku sudah tau jawabannya; dia suka melihat orang tersayangnya bahagia, atau bisa juga, dia memang sedang ingin jadi dirinya sendiri.

Atau kata lainnya, dia sedang tidak jelas.

Tangan kirinya sekarang bertengger di pinggangku. Kami jalan lagi dan aku dengan nyaman bersandar di pundaknya.

“Ejen mau payung juga gak? Aku punya banyak loh, hadiah dari event-event.

“Nggak mau. Aku gak suka payung.”

“Loh? Terus kalau ujan kamu gimana?”

“Ada kamu…”

“Tapi aku gak bisa lindungin kamu dari air hujan?”

“Gak mau pake payung… lebih suka ujan-ujanan sama kamu.”

Sebut aku menjijikan. Sebut aku apa saja yang kalian ingin sebut. Aku tidak akan menangkalnya, karena aku benar-benar ingin melakukannya.

“Kalo ujan-ujanan ntar masuk angin dong? Bahaya ah. Di London gak ada tolak angin soalnya.”

Aku dibuat tertawa lagi.

“Ibun kan bawain aku tolak angin sampe dua pak.”

Hiyu menepuk dahinya. “Lah! Bener yak. Ya udah, tuan Ejen mau ujan-ujanan kapan?”

Aku memasang raut berpikir. “Hmm… nanti aja deh pas di Indonesia.”

Dia mengangguk seraya terkekeh. “Bener. London kalo abis ujan bukannya adem malah jadi es batu ntar kita.”

Kami berdua larut dalam tawa sepanjang jalan. Menertawakan apa yang tidak perlu ditertawakan, mengomentari hal yang tidak masuk akal, lalu tertawa lagi karena tersadar akan hal-hal yang kami lakukan.

Saat sampai di depan pintu unit apartemenku, Hiyu menahan tanganku untuk membuka kunci. Aku terheran, matanya kini mendadak terlihat sendu. Kedua tangannya berada di pundakku; memposisikan diriku agar terfokus hanya padanya.

Hampir dua menit ia memandangku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menghela napas, lalu menghembuskannya kasar.

“Hiyu, kamu ken—”

Dia memelukku.

Erat sekali.

“Kenapa, Hiyu?”

Bukan peluk yang biasanya ia lakukan. Pelukan ini terasa nyaman namun sedih dalam satu waktu.

“Ujan-ujanannya sama aku aja.” Ucapnya di sela perpotongan leherku.

“Kenapa sih?” Kami masih di depan pintu kediamanku.

“Aku nggak masalah kamu peluk aku. Cuman lanjut di dalem aja, please. Emangnya kamu nggak kedinginan?” Lanjutku.

Akhirnya Hiyu mau lepaskan pelukannya. Namun kedua tangannya itu masih berada di pundakku. “Tapi ujan-ujanannya tetep sama aku, ya?”

Aku semakin heran dan mulai agak kesal. Kesal karena dia tak kunjung menjelaskan maksud di balik kalimatnya tadi.

“Kenapa sih kamu?” Intonasi perkataanku mulai sedikit naik.

Dia menggaruk pelipisnya. “Itu.. semalem.”

“Semalem kenapa? Hiyu… kamu sekarang kayak anak umur 3 tahun tau.”

Dia hembuskan lagi napasnya, kali ini terdengar seperti putus asa. “Semalem aku mimpi kamu jalan sama orang lain. Dia nginep di tempat kamu, dia buatin kamu bubur, dia payungin kamu waktu ujan, dia sebut nama kamu waktu dia dapet penghargaan.”

Dia melanjutkan kalimat selanjutnya sambil mengelus pipiku. “Semalem aku mimpi kamu bahagia dan bukan sama aku. Aku nggak bisa apa-apa... aku cuman bisa liatin kamu dari jauh. Aku bahkan gak pernah ke London di mimpi itu.”

Ya Tuhan.

Aku sangat, sangat, sangat mencintai lelaki ini.

Aku sungguh akan mencintainya seumur hidupku.

Aku berjanji, aku berteguh hati akan selalu menjadi Ejennya hingga akhir waktu.

“Hiyu…” Aku meraih pipinya, mengelusnya lalu merapikan pinggiran rambutnya yang tambah panjang.

“Iya aku kayak balita. Tapi kamu janji dulu jangan ujan-ujanan sama orang lain, please…?

Ya Tuhan… untuk memikirkannya saja aku nggak sanggup hati.

Aku mengecup bibirnya singkat. “Iya. Sama kamu doang. Apapun sama kamu, pokoknya selalu sama kamu.”

Si dia yang mendengar jawabanku itu langsung senyum dan mengecup keningku.

“Nanti sebelum bobo aku baca doanya lebih lama deh.” Katanya setelah mengecup keningku.

“Biasanya juga kamu baca doanya lama.”

“Kali ini harus lebih lama.”

“Emang mau doa apalagi? Satu dunia kamu doain, ya?”

“Berdoa supaya gak dapet mimpi kayak semalem lagi.”

Aku tersenyum. “Iya. Nanti aku juga doa yang banyak.”

“Banyak? Apa aja tuh? Aku boleh tau gak?”

“Semoga kamu yang tetep jalan sama aku, kamu yang tetep nginep di tempatku, kamu yang buatin aku bubur, semoga nama aku yang kamu sebut gimana pun kondisinya. Semoga aku bahagianya terus sama kamu.”

“Ujan-ujanannya mana?” Ternyata umur hanya angka. Tingkah laku Hiyu sekarang persis balita yang dijanjikan mainan kalau makannya lahap.

“Iya, sayang. Sama kamu juga ujan-ujanannya.”

For eternity and beyond?

For eternity and beyond.

Matahari yang Murah Hati.

POV: Raya.

Mami pernah bilang, orang paling baik adalah orang yang bersinar namun tidak bersinar sendiri.

Saat itu saya sedang menyesap teh bersamanya di taman belakang. Saya bertanya, “tidak bersinar sendiri? Maksudnya gimana, Mi?”

Mami meletakkan buku yang sedang dibaca pada pahanya. Pandangannya kini menoleh ke arah saya. “Dia bagi sinarnya untuk orang lain, Aya. Nanti, ketika kamu sudah mengerti, Mami harap kamu bisa bersama dengan seorang matahari yang murah hati.”

Saya masih di usia tujuh belas kala itu. Teringat jelas dan tersimpan secara rinci di ingatan saya kalimat yang Mami sampaikan. Kami suka menghabiskan dengan membaca buku bersama di taman belakang, dan Mami selalu beri petuah-petuah kehidupan.

Dalam keluarga, saya adalah anak pertama yang berani melawan.

Masa depan anak-anak keluarga Mami, sudah disiapkan rapi oleh Papi. Namun di antara saudara-saudara saya, sayalah orang pertama di keluarga ini yang menentang Papi.

Saya mengundurkan diri dari perkuliahan di tahun kedua. Orang tua saya muak pada saya, akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi tinggal di rumah. Saya cari kos-kosan, dan tinggal di sana sembari saya cari pekerjaan.

Setelah berbagai pekerjaan saya coba, saya diterima di sebuah kafe dekat kampus yang berada di tengah kota. Pekerjaan yang menurut saya sangat mendekati passion saya; berkecimpung di bidang kuliner.

Singkat cerita, hari itu saya memang merasa kurang enak badan. Saya nggak sadar kalau ternyata hari itu adalah jadwal bulanan saya, sampai tiba-tiba, seorang pelanggan dengan baik hati menyampaikannya pada saya.

Keadaannya waktu itu, saya sedang mengantarkan minuman, menyajikannya di meja lalu mengucapkan terima kasih pada pelanggan yang duduk sendirian di lantai atas.

Namun ketika saya berbalik, hendak turun ke lantai bawah dan melanjutkan pekerjaan, pelanggan yang tadi memanggil saya. Saya hampiri dengan senyum lebar walau perut saya terasa seperti ditekan.

Lelaki itu menoleh ke kanan dan kiri; seperti meyakini dirinya bahwa tidak ada yang akan mendengar perkataannya.

“Mbak, saya mohon maaf karena nggak bisa bantu banyak. Ini jaket saya, boleh dipake buat menutupi noda mbak.”

Saya masih bingung dengan perkataan dan pemberian tiba-tiba lelaki itu, namun pada detik selanjutnya, ia mengetik sesuatu pada ponselnya lalu ditunjukkan kepada saya.

Sepertinya Mbak datang bulan?

Saya refleks menutupi bagian belakang saya dengan nampan yang saya pegang. Lelaki yang sekarang saya kenal dengan nama Donghyuck itu menyerahkan lagi jaketnya untuk segera diambil. Saya mendadak linglung, saya merasa sangat malu, saya terbata-bata mengucapkan terima kasih sambil menerima jaketnya.

Lelaki yang sekarang sangat saya kagumi, lelaki yang diperkenalkan Mami pada saya, Mas Donghyuck.

Waktu berjalan lalu akhirnya saya bisa membangun toko sendiri dengan tabungan sendiri dan pinjaman modal dari Kakak. Setelah dua tahun lebih saya tinggal sendiri, akhirnya saya memberanikan diri untuk pulang dan langsung berlutut di kaki Papi.

Saya menangis sejadi-jadinya, Mami juga menitikkan air mata. Sedikit informasi, Mami bukanlah orang yang sering menunjukan berbagai macam emosi. Mami bisa dibilang datar dan tegas, namun pada hari di mana saya akhirnya pulang, air mata yang jarang saya lihat itu, turun di pipi Mami yang cantik.

Selama saya hidup sendiri, Mami tidak sering menghubungi saya untuk menanyakan kabar. Namun terkadang, ada banyak makanan dan cemilan favorit saya datang dalam bentuk paket. Tidak ada nama pengirim, tetapi saya yakin betul itu dari Mami. Karena terdapat beberapa buku favorit Mami dan secarik kertas yang mengatakan, 'Jangan lupa sempatkan membaca.'

Kakak-kakak saya sering berkunjung ke kos, mereka tidak mengatakan apapun tentang Mami dan Papi. Kadang kami berfoto, lalu sekelebat saya melihat Kakak pertama saya itu mengirimkan foto kami pada group keluarga yang di mana saya sudah dikeluarkan oleh Papi.

Mereka peduli.

Selalu peduli.

Mereka hanya ingin lihat kemampuan saya, mereka ingin saya membuktikan keseriusan minat saya.

Maka setelah beberapa minggu saya pulang, Papi mengajak saya bicara. Beliau bilang, “Mami kenal salah satu lelaki baik… kamu mau kenalan, nak?”

Saya langsung mengangguk. Saya ingin membuat Papi senang dengan menuruti keinginannya setelah apa yang saya lakukan dulu.

Lalu pada hari setelahnya, saya diajak makan siang oleh Mami di sebuah restoran. Saya tidak berharap banyak. Saya mengobrol dengan seorang Ibu dari lelaki yang akan dikenalkan pada saya. Kami banyak bertukar cerita, mulai dari makanan, kesukaan, hingga bisnis yang sebenarnya lebih banyak Mami yang mengutarakan pendapat.

Ketika itu Mas Donghyuck belum datang, dalam hati saya bertanya-tanya, 'Kenapa dia nggak datang?'

Apakah dia sudah tau juga dengan pendekatan yang direncanakan ini?

Apa dia sudah melihat foto saya, lalu ternyata saya tidak sesuai tipenya?

Apakah… dia malu?

Pertanyaan-pertanyaan dalam hati langsung buyar ketika Mas Donghyuck datang lalu memberi salam pada Ibunya, Mami, dan saya.

Bayangan ketika Mas Donghyuck dengan hati-hati menyerahkan jaketnya pada saya langsung terlintas. Bayangan ketika saya menangis di toilet, dengan jaket Mas Donghyuck di pangkuan saya terputar dengan jelas. Lalu bayangan ketika dirinya hendak meninggalkan kafe kala itu, datang ke kasir dan menanyakan kondisi saya, berulang kali terulang dalam kepala yang saat ini hanya dipenuhi olehnya.

Saya jatuh cinta.

Saya jatuh cinta dengan lelaki baik ini.

Namun saya sadar posisi saya ketika saya mengetahui bahwa Mas Donghyuck telah memiliki seseorang.

Tidak. Saya tidak mundur, saya ingin tetap berada dalam jangkauannya walau hanya dianggap sebagai teman. Saya ingin Mas Donghyuck melihat dan menyadari keseriusan saya dalam mencintainya.

Namun ternyata, lamanya waktu pun, masih belum cukup bagi Mas Donghyuck untuk mulai mencoba membuka hatinya pada saya.

Saya tahu kekasih Mas Donghyuck siapa, saya pernah mendengar beberapa lagunya di radio. Ketika pertama kali saya mengetahui bahwa Mas Donghyuck tidak lagi bersamanya, saya tidak buru-buru lari menuju garis finish. Saya tahu Mas Donghyuck butuh waktu, saya paham bahwa perpisahan, mau bagaimanapun bentuknya, memakan waktu cukup lama bagi manusia untuk sampai di titik benar-benar rela dan lupa.

Tahun pertama, Mas Donghyuck menjadi lebih diam. Memang, sikapnya kepada saya dari awal hanya seperlunya. Namun kala itu kami sangat jarang bertemu, pesan saya masih dibalas, hanya saja, untuk bertatap muka, bisa dihitung jari. Padahal kami masih berada di kota yang sama.

Tahun kedua saya menunggu Mas Donghyuck, dia mengundang saya ke acara soft opening cabang kafe nya yang baru. Saya dengan senang hati hadir dan membawa buket bunga. Kami berfoto bersama waktu itu. Mas Nana dan mas Injun memperlakukan saya dengan baik. Mereka pasangan yang manis dan lucu.

Kami menjadi lebih dekat, lebih sering bertemu untuk sekedar makan bersama atau berbagi pendapat soal bisnis kami yang masih berada di lingkup yang sama. Mas Donghyuck sering mengajak saya ke panti, beberapa kali juga Mas Donghyuck menitipkan sesuatu untuk Mami dan Papi di rumah.

Sampai pada suatu waktu, Papi menanyakan sesuatu yang buat saya ragu untuk terus mempertahankan Mas Donghyuck.

“Sudah seserius apa hubungan kalian? Papi sudah nggak sabar menimang cucu… Donghyuck anaknya baik kan?”

Saya bingung mesti jawab apa.

Bersama dengan Mas Donghyuck tanpa status yang jelas dalam kurun waktu tiga tahun ini tidak membuat saya terbebani. Saya senang setiap kali menghabiskan waktu dengannya, saya sangat menikmati masa-masa ini.

Akhirnya pada suatu hari, saya beranikan diri untuk bertanya tentang status kami pada Mas Donghyuck.

Kala itu, kami sedang makan sate padang langganannya di depan swalayan. Mas Donghyuck sering mengajak saya ke sini. Katanya, “Lo bukan orang Bogor kalo belom makan sate padang ini.”

“Mas, saya boleh tanya sesuatu?”

Mas Donghyuck mengelap bibirnya dengan tisu, lalu mengantongi sampahnya karena tidak menemukan tempat sampah. “Bayar tapi.”

Sudahkah saya bilang, bahwa Mas Donghyuck bukan hanya baik hati?

Dia juga menyenangkan. Sedikit usil memang, namun presensinya selalu menghadirkan tawa.

Saya terkekeh. “Boleh. Mas mau apa?”

Dirinya yang menarik itu terlihat berpikir dengan jari telunjuknya di dagu, matanya mengadah ke atas. “Hmm… es krim kayaknya enak, ya.”

“Oke. Tapi saya tanya dulu. Nanti es krimnya terakhir.”

“Kalo bayarannya terakhir berarti dikali tiga puluh!”

“Banyak banget… emangnya mas sanggup abisinnya?”

Dia menggeleng. “Siapa bilang buat gue? Buat anak panti. Si Fetta kemaren bilang pengen es krim.”

Mas Donghyuck, dengan seribu satu kebaikannya selalu buat saya takjub. Dia selalu memikirkan orang lain, dia prioritaskan orang-orang tersayangnya dalam urutan satu. Dia dan segala baiknya… dia yang mengajarkan saya untuk menjadi manusia yang berguna. Dia ajarkan saya pentingnya keluarga, dia perlihatkan indahnya kebaikan.

Dia adalah seperti yang Mami bilang, matahari yang tidak bersinar sendiri.

Mas Donghyuck adalah matahari yang murah hati.

Dia bagi sinar hangatnya untuk menghangati yang lain, dia sebar luaskan cerahnya untuk menerangkan segala sudut. Dia tidak ingin menang sendiri, dia ingin orang-orang di dekatnya juga jadi juara.

“Iya Mas, nanti saya beliin. Saya tanya dulu tapi… boleh nggak?”

“Iya, Raya.” Matanya menangkap mata saya yang sedang pancarkan ragu. Suasana ini jadi canggung.

“Di mata Mas Donghyuck, saya itu apa?”

“Di mata gue?”

Saya mengangguk. “Hm.”

Mas Donghyuck tersenyum simpul, matanya ia arahkan kesana-kemari; seperti berpikir mencari jawaban. “Di mata gue… lo wanita.” Jawabnya.

“Ya… itu mah tukang sate padang juga tau, Mas.”

Mas Donghyuck pasang tampang terkejut, “wah! Uda, emangnya uda tau si raya wanita?”

Tukang sate padang yang kerap Mas Donghyuck panggil uda itu menoleh ke arah kami, wajahnya bingung, namun melihat Mas Donghyuck yang tertawa kecil, dia seperti ikut larut dalam tawa itu. “Tau! Buktinya cantik itu!” Jawab uda.

Mas Donghyuck mengangguk, tangannya menepuk kecil, lalu telunjuknya menunjuk wajah saya yang menahan malu. “Tuh, Ray! Cantik!”

Mas Donghyuck masih tertawa bersama uda. Saya memperhatikan mereka, lalu dalam diam saya sadari fakta lagi; tawa yang Mas Donghyuck beri pada sekitarnya, bisa meringankan beban meskipun sekecil atom.

Uda yang daritadi diam sembari memandangi jalanan, menunggu pelanggan berhenti lalu memesan jualannya, kini berbincang dengan Mas Donghyuck.

Mas Donghyuck selalu punya topik yang buat orang nyaman untuk terus berbicara dengannya. Sekalipun itu tidak penting, atau tidak masuk di akal, ekspresi yang Mas Donghyuck keluarkan selalu berhasil menyulap waktu menjadi lebih cepat.

“Tapi menurut saya mah ya, da. Wanita ini bukan wanita biasa.” Mas Donghyuck masih berbincang dengan Uda yang duduk bersebrangan dengan kami.

Uda menanggapi mulai serius, handuk di pundaknya ia bawa ke dahinya untuk mengelap keringat. “Berarti luar biasa? Kayak wonder woman gitu?”

“Lebih atuh. Wanita ini memang luar biasa, tapi Uda mau tau nggak, apa yang buat wanita ini luar biasa?”

Pipi saya tersipu merah.

“Sabarnya, Da. Kelapangan dadanya luar biasa banget. Lautan samudera aja kalah.”

Degup jantung saya tidak beraturan.

Makin cepat.

Rasanya seperti ingin meledak.

Saya tidak mendengar jawaban uda dan perbincangan selanjutnya dengan Mas Donghyuck; saya sibuk mengepal tangan dengan kepala yang menunduk ke bawah. Saya malu. Saya salah tingkah.

Beberapa detik setelah itu Mas Donghyuck memanggil saya, “Aya?”

Suaranya… menggema di pikiran saya.

Suaranya buat hati saya menghangat.

Pandangan kami bertemu ketika saya merapikan helai pinggir rambut saya. “Jadi beli es krim?” Katanya.

Saya mengangguk, lalu bangun dari duduk dan jalan di belakang Mas Donghyuck menuju swalayan.

Mas donghyuck tiba-tiba berhenti jalan, ia menyuruh saya untuk jalan disebelahnya. Ketika saya tanya kenapa (maaf, saya butuh pengakuan), dia menjawab, “Ya… nggak papa, enakan bareng-bareng aja jalannya.”

Dan sumpah demi Tuhan, saya tidak bisa mengatur detak jantung agar berdetak lebih pelan. Karena rasanya… setiap kalimat yang Mas Donghyuck lontarkan pada saya, organ-organ saya di dalam sana seperti mengadakan pesta.

Dan jantung saya sepertinya menekuni tugasnya menjadi pengatur musik dan suara.

Karena ia putar musik paling keras.

Sampai yang di luar bisa dengar.

Saya tidak menanyakan lebih lanjut mengenai status di swalayan, Mas Donghyuck sibuk memilih cemilan dan beberapa minuman untuk dibawa ke panti. Kalian tahu 'kan, tadi Mas Donghyuck bilang, kalau saya ingin bertanya, saya harus bayar dengan membelikan es krim untuk anak-anak panti?

Namun yang terjadi malah dirinyalah yang membayar semuanya.

Ketika kami di kasir, saya sudah mengeluarkan dompet dan segera memberi kartu saya pada petugas kasir. Tetapi Mas Donghyuck cekatan mengambil kartu saya, mengembalikan lagi ke tangan saya dengan sedikit menarik telapak saya lalu menaruh kartu itu di atasnya.

“Mas… tadi kan janjinya Aya yang bayar?”

Si dia yang menawan setiap kali terkekeh itu tangkap mata saya. “Nggak ah.”

“Ih… kenapa nggak?”

Pertanyaan saya malah dibalas oleh kedipan sebelah matanya. Selanjutnya ia merapikan belanjaan dan membawanya keluar dari deretan kasir.

Selanjutnya, jantung saya berpesta lagi.

Saya mendadak terpaku.


Sesampainya di panti asuhan, kami bermain dengan anak-anak. Mas Donghyuck mengeluarkan belanjaan sembari mengabsen barang itu untuk siapa. Seolah seorang Bapak yang baru pulang kerja, membawakan oleh-oleh untuk anaknya.

Saya melihat pemandangan itu dari sofa di pojok ruangan dengan Ibu Lia di samping saya.

“Mas Dong itu lelaki paling tulus yang pernah datang kemari.” Ujar Bu Lia, masih sambil memandangi Mas Donghyuck dan anak-anak.

“Sudah lama ya, bu? Mas Donghyuck bantu panti?” Tanya saya.

Ibu Lia menarik napas pelan, tersenyum samar. “Lama sekali… dia juga turut bantu renovasi panti ini.”

“Dulu sekali… panti ini kurang layak, nak. Kamar mandi kami atapnya bocor, kamar anak-anak pun dindingnya sudah mengelupas. Banyak yang harus diperbaiki, namun belum terlaksana karena terbatasnya materi. Tetapi Mas Dong mau bantu dengan Mas Nana, juga Mas Injun.”

Penjelasan dan cerita-cerita baik dari Ibu Lia mengenai kebaikan Mas Donghyuck makin buat saya luluh. Saya semakin ingin menjaganya dari segala yang buruk. Saya ingin dirinya selalu dihujani kebaikan yang berkah.

Saya selalu lupa menanyakan status setalah saya lihat dan dengar segala yang baik mengenai dirinya. Rasanya status pun tidak masalah, saya hanya ingin bersamanya. Saya kagum pada dirinya yang selalu bermanfaat pada orang lain.

Hari-hari berlalu, sampailah pada hari ini. Hari di mana kami berada di Jakarta; menonton konser perdana Jeno setelah dirinya hiatus selama hampir empat tahun, konser seseorang yang pernah Mas Donghyuck jadikan rumah, tetapi orang itu hanya menjadikan Mas sebatas pelarian.

Saya tahu kisah berakhirnya Mas Donghyuck dari Adis, memang tidak diceritakan secara rinci, namun ketika saya lihat mata Mas Donghyuck setelah ia ditinggalkan, saya tahu ada bagian dari dirinya yang turut hilang.

Pasti banyak sakit yang melekat.

Awalnya saya ragu ketika Mas Donghyuck ajak saya ke sini. Saya bertanya-tanya, mengapa Mas ajak saya?

Apakah Mas Donghyuck ingin perlihatkan pada Jeno bahwa dirinya telah berpaling?

Apa saya dijadikan tameng?

Entahlah.

Biarlah itu tetap menjadi sebuah pertanyaan. Saya tidak mau tahu—sebaiknya saya nggak perlu tahu. Takutnya, ketika saya tahu alasannya, hati saya yang doyan berpesta karena Mas Donghyuck ini, mendadak berkabung.

Kami tiba di venue lebih awal, seseorang bernama Mark menghampiri kami setelah Mas Donghyuck meneleponnya beberapa menit lalu. Mereka bersalaman lalu berpelukan; sepertinya sudah lama tak jumpa.

Sepertinya Mark ini orang penting, karena tertulis 'All access' di id card miliknya. Mark mengajak kami pada tempat yang sepertinya tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang.

Backstage.

Tempat di mana Mas Donghyuck pertama kali lagi bertemu dengan Jeno setelah bertahun-tahun.

Banyak orang berlalu lalang di sini. Mark mengajak kami ke sebuah ruangan yang di depan pintunya terdapat tulisan 'ALL ACCESS ONLY'

Saya berada di belakang Mas Donghyuck. Saya bisa dengar ia menghembuskan napas berat berkali-kali. Saya bisa lihat jari-jarinya bergerak gelisah.

Saya tidak berani melakukan apa-apa ketika pintu itu terbuka dan menampilkan suasana sibuk. Sepertinya saya tidak seharusnya berada di sini.

Namun ketika pandangan mereka bertemu, ketika Jeno melambaikan canggung tangannya ke arah Mas Donghyuck, juga Mas Donghyuck yang balas menyapa dengan anggukan, saya sadar penuh bahwa pandangan mereka kali ini memiliki seribu satu arti yang sulit dimengerti.

Ada sendu, senang, riang, rindu, gelisah, canggung, juga perasaan lain yang tidak bisa saya jabarkan.

Mas Donghyuck mendadak bisu.

Mas Donghyuck yang banyak omong itu mendadak gak ngerti cara berbicara ketika Jeno makin mendekat ke arahnya.

Jeno terlihat sempurna dengan pakaian indah dan riasan wajah yang cantik. Ia berdiri di depan Mas Donghyuck, tersenyum simpul, lalu berkata, “how's life…?” Dengan sedikit keraguan di akhir pertanyaannya.

Mas Donghyuck terkekeh. “Canggung banget, ya?” Katanya.

Jeno menggaruk belakang kepalanya. “Iya…”

“Baik, Jeno. Semuanya baik. Lo gimana?”

“Sama.” Jawab Jeno.

Glad to see you're doing fine.” Lanjutnya.

Mas Donghyuck terkekeh manis. Lalu menyerahkan goody bag salah satu minimarket yang di dalamnya saya nggak tahu ada apa.

Jeno menerima dengan pandangan penuh tanda tanya, ia membuka tas itu, lalu melihat dalamnya, “Kinder Joy…?”

Mas Donghyuck terkekeh sambil menganggukan kepala.

Saya tidak bisa mengidentifikasi ada arti apa saja dalam semburat pandang yang saling balas ini. Mereka seakan meneriakkan rindu… mereka lontarkan kalimat bisu yang membuat satupun orang di ruangan ini nggak akan tahu.

Mereka seolah buat bahasa baru.

“Jeno, 10 menit lagi stand by!” Suara itu membuyarkan komunikasi mata mereka, Jeno mendadak linglung, mas Donghyuck tersenyum sendu.

Jeno berpaling ke arah meja yang terdapat beberapa barang, ia mengambil kotak yang dihiasi pita di atasnya. “Buat lo.”

Mas donghyuck menolak dengan gestur tangan. “Nggak usah.”

“Sedikit oleh-oleh…” Bujuk Jeno.

Mas Donghyuck masih belum mau menerimanya. Suara yang memperingati Jeno untuk bersiap makin ramai. Kami harus segera keluar dari sini.

“Ya udah. Nanti beres konser ke sini lagi, ya?” Kata Jeno.

Namun mas Donghyuck nggak beri jawaban pasti. “Satu dua ceker pepaya…”

Mas Donghyuck ngapain…?

Tatapan mata dari staf di sini sudah terus mengarah ke mas Donghyuck, sepertinya kesal karena Jeno tidak kunjung bersiap, malah berbincang dengannya.

Jeno terkekeh. Ia tidak terlihat bingung sama sekali. “Cakep.”

Oh… pantun?

Mas Donghyuck mengeluarkan topi yang sering disebut bucket hat itu dari kantung jaketnya, lalu memakainya di hadapan Jeno. “Semangat Jeno konsernya!”

Jeno tertawa sampai matanya seakan tenggelam. Mas Donghyuck beri senyum serta kedipan mata sebelum meninggalkan backstage. Pantunnya sangat receh. Lelaki yang bernama Mark itu ikut tertawa seraya telapaknya menepuk pelan dahinya.

Kami diantar oleh security staf sampai tempat yang sudah ditentukan. Berada di center row seating, dengan pandangan yang tidak terlalu jauh dari panggung. Sangat strategis, dan tidak akan kelelahan karena tidak perlu berdiri.

Konser dimulai beberapa menit setelah kami sampai di sini. Jeno memulai konser ini dengan narasi dan sebuah video ketika ia di London. Narasi yang menurut saya adalah curahan hatinya. Kira-kira, kurang lebihnya seperti ini:

London, 4 years, 48 months, 208 weeks, and 1461 days; I met new people, made friends with them, then spent a great time at college. I felt really strange back then; living alone is not new for me, but a thousand kilometers away from him makes me unable to control myself. In London, I learned a lot of new things, but I also lost the thing I regret the most. And so I wrote this song as an apology to the person I left, to the memories I ruined, which I worked on with a whole range of emotions overflowing. The song is called “Accidentally Bumped.” So everyone, enjoy the concert.

Lagu pertama terdengar asing di telinga saya. Mungkin ini adalah unreleased song, atau mungkin lagu ini ia persembahkan untuk mas Donghyuck?

Karena mas Donghyuck tidak berkedip satu kali pun ketika Jeno menjelaskan lagu itu. Mas donghyuck berikan seluruh atensinya menuju panggung; menuju Jeno, yang bersinar paling terang malam ini.

Sorakan para penggemar dan audiens di sini riuh terdengar sepanjang Jeno menyanyikannya. Lagu yang bisa dibilang sendu, mellow, serta lirik akhir yang terdengar pedih, dibawakan secara rapi dan indah olehnya.

Selanjutnya ia melakukan sesi 'ment' yang tidak terlalu lama. Lalu ia melanjutkan dengan lagu dari mini album terbarunya, yang saya ketahui, album itu Jeno tujukan untuk mas Donghyuck; karena jika huruf pertama dari lagu-lagu itu diurutkan, akan menghasilkan 'HIYU' yang di mana, Hiyu adalah panggilan kecil mas Donghyuck.

Namun mas Donghyuck seperti tidak mengenal lagu ini. Saya tanya dengan suara yang dikeraskan, “mas, tumben nggak ikut nyanyi?”

“Ini lagu baru, ya? Gue belom denger banyak.” Jawabnya.

Oh.

Oh?

Saya tidak mau bertanya-tanya lebih lanjut. Mas pasti punya alasan, atau mas mungkin sibuk? Atau bisa jadi, ini adalah usaha yang mas lakukan untuk melupakan seluruhnya tentang Jeno?

Lagu-lagu selanjutnya, makin mengundang riuh karena Jeno membawakan lagu debutnya. Semua khalayak di sini teriak antusias, mas Donghyuck nggak berenti senyum ketika akhirnya Jeno membawakan 'buried alive.'

Di pertengahan konser, disiarkan sebuah video yang memperlihatkan 'sisi baru' dari Jeno. Behind photoshoots untuk konser, kumpulan mirror selfienya yang belum pernah disebarkan ke mana-mana, serta berbagai video nya yang pada setiap transisinya, ramai sorakan makin menggelegar.

Jeno kembali dengan membawakan lagu-lagu indah. Lagu seru, sedih, asik, juga menyenangkan. Konsernya kali ini sangat megah; dalam artian besar indahnya sangat membanggakan.

Dan mas Donghyuck, tidak memalingkan wajah sedikit pun. Matanya terus tertuju pada panggung. Matanya mengikuti kemanapun Jeno langkahkan kaki.

It's always in the eyes.

Tidak pernah saya temukan dusta ketika pandangan sudah melakukan sihirnya. Mas Donghyuck dan antusias nya ketika Jeno dengan suara indahnya memanjakan indera pendengar seluruh manusia di sini, membuktikan sesuatu yang saya asumsikan sebagai perasaan yang tertinggal.

Konser ditutup dengan lagu 'Selamat'. Di akhir waktu, Jeno mengucapkan terima kasih, dan kalimat manis lainnya. Tentu, mas Donghyuck masih tidak memalingkan wajah.

Ketika bubaran, kami memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu.

Saya tidak ingin buang air.

Saya ada beberapa hal yang saya terlalu payah untuk mengatakannya secara langsung.

Saya masuk ke salah satu bilik, mengetik beberapa hal yang saya maksud tadi. Setitik harapan, dengan pasrah, saya perjuangkan untuk terakhir kali.

Meskipun jawaban mas nanti masih sama seperti yang lalu-lalu, segala yang saya lakukan untuk mas Donghyuck adalah bentuk sayang yang tidak akan pernah saya sesali.

Saya sudah pasrah. Saya sudah siap apapun jawabannya, saya akan terima bagaimanapun pilihan mas Donghyuck nantinya.

Karena sekarang, jalan saya menunjukkan dua rute. Yang satu menuju pasti, dan satu lagi masih belum pasti.

Energi saya untuk mencintai mas Donghyuck perlahan habis.

Mas pantas dapat yang lebih baik—yang akan mencintainya tanpa limit batas, dan saya pun, pantas mendapatkan satu yang pasti.

Saya masih menunggu balasan.

Semoga, kami bahagia dengan jalan yang berbunga. Semoga, senang dan tenang selalu hadir padanya, dengan atau tanpa saya.

Saya masih belum dapat jawaban.

Namun ketahuilah mas, pelajaran yang mas ajarkan pada saya, akan saya ajarkan juga pada anak-anak saya nanti; bahwa indahnya berbagi, cantiknya kebaikan, serta hebatnya rasa sayang adalah hal-hal terpenting untuk menopang hidup—agar tetap seimbang, supaya terus berjalan, apapun macam topannya.

Biar saya katakan sekali lagi, mas Donghyuck, kamu adalah matahari yang sangat murah hati.

Matahari yang berarti.

Ejen punya Hiyu, dulu. Tapi tidak untuk selamanya.

POV: Donghyuck.

Manusia nggak punya sayap.

Manusia nggak bisa terbang.

Manusia juga nggak bisa menyentuh langit tanpa alat bantu.

Namun, mengapa setiap kali gue bersamanya, rasanya seperti terbang ke langit?

Rasanya indah. Menyenangkan. Seru, juga menegangkan di waktu yang sama.

Menyentuh awan, detik selanjutnya tumbang ke jurang.

Gue tidak mengerti.

Kenapa dia bisa membuat gue merasa bahwa gue adalah manusia paling beruntung satu dunia?

Kenapa dia mau jalan bersama gue, menggenggam tangan gue, lalu diajak lari, lalu berhenti sejenak, lalu ia terjatuh karena tersandung batu, lalu gue obati lukanya, lalu ia terjatuh lagi, lalu gue obati lagi, lalu ia bawa gue terbang tinggi, lalu eratan tangannya melonggar, lalu gue dilepaskan, lalu akhirnya gue terjatuh sendirian di dasar.

Gue selalu mencoba mengerti apapun yang Ejen bilang, apapun alasannya, sekalipun itu tidak benar, gue terus meyakinkan diri gue untuk hanya percaya padanya.

Karena gue cinta padanya.

Hubungan kami baik. Sangat baik sebelum dia mulai berbohong. Sebelum ia mulai menutupi dan lebih pilih untuk berkata sebaliknya.

Ejen seperti membangun tembok yang tidak bisa gue raih. Tidak bisa gue hancurkan. Tidak bisa gue lewati. Entah karena apa, alasannya apa, serta untuk apa gue tidak mengerti.

Padahal gue selalu terbuka. Selalu memprioritaskan bagaimanapun kondisi gue. Gue nggak minta lebih. Gue hanya minta ia yakin, yakin dengan gue maupun dirinya sendiri. Yakin bahwa hubungan kami akan berhasil, akan gemilang.

Waktu ketika ia memutuskan pilihan untuk berpisah, gue sangat tidak menyangka. Awalnya gue kira dirinya hanya bercanda, atau mungkin, ia mulai merasa bosan dan lelah; mengingat kami belum bertemu lagi hampir dua tahun. Gue sudah menyiapkan kalimat bahwa gue akan selalu menunggunya.

Namun ternyata tidak. Ini bukan tentang bosan atau pudarnya rasa.

Ini tentang pengkhianatan.

Dan gue, rasanya seperti menonton film yang sama untuk kedua kalinya. Yang endingnya tidak pernah gue suka.

Dulu, ketika mantan gue melakukan hal yang sama, gue tidak langsung meninggalkannya. Gue menelponnya berkali-kali; memohon agar kami tidak berpisah karena waktu itu gue sangat mencintainya. Gue hampiri rumahnya, gue menunggu depan pagar sampai malam karena ia tidak mau lagi melihat wajah gue. Katanya, dirinya terlalu merasa bersalah. Katanya, gue pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.

Namun mengapa hingga saat ini pun, yang lebih baik dari maksudnya itu belum juga datang di kehidupan gue?

Gue sangat takut pada diri gue sendiri.

Takut akan mengulangi hal yang sama. Takut bodoh. Maka gue mengunjungi Nana. Gue ke rumahnya untuk bertukar sudut pandang. Atau bahasa lainnya, curhat.

Nana dan Injun adalah orang yang paling tau soal kisah asmara gue. Mereka yang menyaksikan, memberi solusi, lalu mencaci-maki gue karena bersikap bodoh, namun juga jadi yang pertama datang ketika gue butuh didengarkan.

Pandangan mereka pada hubungan gue kali ini sama persis ketika masa-masa kuliah dulu. Tidak ada tatapan pasti dari mereka. Tidak ada antusias yang terlihat ketika gue menceritakan Jeno. Ketika mendengar, mereka hanya mengangguk lalu mencari topik lain.

Seakan mereka tahu bahwa kami tidak akan lama. Seakan mereka bisa melihat akhir dari cerita ini; yang lagi-lagi, si pemeran utama ditinggalkan karena alasan yang sama.

Nana menuangkan minuman pada gelas gue yang kosong. “Sepandangan gue atas apa yang lo ceritain, doi tuh nggak bisa konsisten. Masih kayak bocah. Labil.”

Gue memutar-mutar gelas yang sudah berisi minuman. “Tapi gue sayang banget, anjing. Sayang banget sampe pusing. Sampe pengen minta maaf padahal gue bingung salah gue apa.”

“Lo gak perlu minta maaf tolol. Kesalahan lo tuh… lo kalo udah sayang dan cinta sama orang jadi bego. Jadi budak cinta yang gobloknya minta ampun.” Injun menimpali.

Nana mengangguk, setuju akan argumentasinya Injun. Pandangan mereka terfokus akan gue yang menundukan kepala di meja makan yang didesain khusus oleh Nana.

“Udah lah, Hyuck. Tinggalin. Jangan dikasih kesempatan.” Nana menuangkan lagi minuman memabukan itu pada gelas gue setelah gue menelan habis dalam satu kali teguk.

“Ngewe loh ini. Selingkuh, Hyuck. Masa masih mau dimaafin?” Timpal Injun lagi.

Gue menggeleng. “Nggak… ini tuh… dia pasti boong. Gue nggak tau kondisi dia kayak gimana di London, pasti ada alesa—”

“NAIF BANGET KONTOL. ELU MAKHLUK PALING NAIF SEDUNIA.” Injun mengeraskan suaranya sambil menggebrak meja, Nana terperanjat di sebelahnya, lalu mengatakan astagfirullah.

“ORANGNYA NGAKU SENDIRI LEE DONGHYUCK… ORANGNYA YANG NGAKU SENDIRI!! DIA NGUSIR LO! DIA UDAH NINGGALIN LO DULUAN. TINGGAL ELO YANG PERGI.” Injun berteriak lagi, kali ini jarinya sambil menunjuk-nunjuk pada gue.

Nana mengangguk seraya mengelus punggung Injun. Sebuah usaha untuk meredakan emosi suaminya itu, namun gue rasa sia-sia. Karena selama ia melakukan itu, gue masih diteriaki sampai minuman kami habis.

Malam itu berakhir dengan gue yang memutuskan untuk mengakhiri juga. Malam itu berakhir dengan gue diantar oleh Nana pulang ke rumah. Malam itu berakhir dengan gue, yang ternyata masih kalah dalam urusan cinta.

Kepala gue berat. Sangat berat. Gue tidak bisa memikirkan apa-apa selain Jeno. Kata Injun, gue terus menyebutkan namanya layaknya orang gila. Katanya juga, gue sempat nekat menelpon Jeno untuk bilang bahwa cinta ini lebih besar daripada rasa sakit. Bego, memang. Namun Nana merebut ponsel gue lalu mematikannya.

Gue merengek seperti bayi yang tidak dituruti keinginannya. Mereka mengantarkan gue sampai kamar, memastikan gue tertidur, lalu meninggalkan notes yang gue baca di pagi hari.

'Jangan bego'

Dua kata, penuh arti dan perlu gue beri aksi.

Dua kata yang harus gue terapi.

Jangan bego.

Jangan bego dan menerima kesalahan Jeno. Jangan bego untuk menghubunginya. Jangan bego untuk memohon agar kami bisa kembali. Jangan bego karena cinta. Jangan jadi bego.

Pagi itu, sekitar pukul delapan, perut gue nggak enak. Mau delivery tapi gue terlalu malas untuk mengambilnya di bawah. Akhirnya gue tetap berbaring di kasur, ngeliatin atap sambil memikirkan kembali apa yang terjadi.

Jeno tidur dengan Doyoung.

Jauh di lubuk hati gue, gue masih ingin menyangkal fakta itu. Gue sangat ingin meneleponnya untuk mendengar penjelasan darinya langsung. Gue ingin sekali mendengar suaranya.

Namun tidak. Sebaiknya tidak—salah, seharusnya tidak. Karena jika gue melakukan itu, gue pasti akan memakluminya. Gue, si cupu ini pasti akan mewajari segala kesalahan dia.

Terserah kalian mengatakan gue apa, toh gue memang seperti ini. Donghyuck yang menjadi selfless jika sudah menyangkut cinta. Donghyuck si naif. Donghyuck si people pleaser.

Gue sangat mencintainya.

Sungguh.

Gue sangat amat cinta padanya.

Terlalu lama menatap atap, alarm ponsel gue nyala. Peringatan bahwa hari ini pukul sebelas ada jadwal mengajar. Gue buru-buru menyalakan ponsel lalu menghubungi murid-murid bahwa seluruh kegiatan les hari ini diliburkan.

Gue masih belum sanggup untuk bertemu orang. Kondisi gue tidak memadai. Lagian sudah terlamat. Besok gue akan mengatur ulang jadwal. Atau mungkin tidak.

Menyadari sudah pukul sebelas, itu berarti tiga jam gue habiskan hanya untuk menatap atap sambil memikirkan Jeno. Kadang juga kosong, gue hanya menatap ke atas tanpa pikiran apa-apa.

Entahlah. Ini semua membingungkan juga menyesakkan dalam satu waktu.

Ponsel gue berdering lagi. Notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal muncul.

Raya ternyata. Gue masih belum menyimpan nomornya. Gue menghela napas kasar ketika membuka pesannya, dirinya berkata dia ada di depan rumah gue.

Gue sedang tidak mau bertemu orang. Tapi tidak bisa, hati kecil gue terus mengatakan bukakan pintu untuknya ketika turun dari kasur aja gue males. Mungkin karena Raya mengatakan dirinya sudah dari pukul sembilan di rumah gue.

+6245789X09 08.58 mas sudah sarapan? tadi saya jogging di daerah sini, terus karena rumah mas nggak jauh, saya mampir sebentar dan beliin mas sedikit. 10.57 mas? saya tunggu ya mas 11.00 masih tidur ya mas? saya masih tunggu diluar :)

Ketika gue membukakan pintu depan dengan rambut berantakan, celana sontok bola bekas seragam futsal, baju compang-camping belel kayak gembel, Raya duduk di teras sambil ngasih makan kucing. Kucing itu bukan milik gue, itu kucing liar yang berkeliaran di sekitar komplek. Gue sering main sama dia, gue juga sesekali beliin dia makanan. Mungkin karena terlalu sering dan terbiasa, teras rumah gue ia jadikan tempat istirahat. Gue memanggilnya Onet.

Biarlah. Jika itu membuatnya nyaman, memberinya aman, gue nggak begitu mempermasalahkan. Mungkin lain kali gue akan membeli kandang khusus untuknya, atau lebih baik gue adopsi saja?

Raya mengelus kepala kucing itu yang sedang lahap memakan sepotong ayam. Ia menyadari gue sudah di depan pintu lalu langsung bangun dan memberi salam dengan mengangguk sambil senyum. “Eh, Mas.”

Raya menggaruk belakang kepalanya. Ia terlihat bingung. “Mas… maaf banget sarapan buat mas saya kasih ke kucing. Soalnya dia dari tadi gak berenti ngeong-ngeong. Saya kasian… saya beliin mas sarapan lagi, ya? Atau mau saya masakin aja? Kalau boleh dan diizinkan.”

Gue melihat raut wajahnya, lesu. Mukanya kurang enak, juga kelelahan terpancar. Bisa gue tebak, itu karena beres jogging, lalu menunggu gue yang tak kunjung balas pesan dan buka pintu.

Gue mempersilahkannya masuk dan memberinya segelas air. Raya menyadari penampilan gue yang terlihat kurang baik, ia berdehem pelan sebelum berbicara. “Saya boleh ke dapur? Mas mau saya buatin bubur?”

Gue mengangguk. “Boleh?”

Ia balas angguk dengan lebih antusias. “Saya langsung buat ya, Mas ada beras kan?”

“Ada. Tapi gue pusing, nggak bisa bantu. Buat sendiri nggak papa?”

Dia menggeleng, sambil tersenyum. “Nggak papa, Mas! Mas lanjut istirahat aja, nanti kalau udah siap saya bangunin.”

Gue menunggunya memasak sambil memangku Onet, memandangi televisi yang nggak menyala. Memandangi album-album serta majalah Jeno di laci bawah televisi. Pikiran gue kemana-mana, namun pandangan gue kosong. Gue bingung. Gue seperti kehilangan arah. Gue tidak biasa dengan situasi seperti ini.

Kira-kira setelah dua puluh menit gue habiskan memangku Onet sampai ia tertidur, Raya datang, duduk disebelah gue dan menyajikan bubur serta minuman yang gue kurang tau bahan apa saja yang ia racik dan masukan. Yang gue tau adalah, gue merasa sedikit lebih baik setelahnya.

Tidak banyak yang Raya dan gue lakukan ataupun bincangkan. Setelah gue makan, ia pamit karena ada urusan lain. Gue tidak lupa berterima kasih dan mengantarnya sampai depan pagar.

Gue merasa sangat kosong setelahnya.

Gue sangat merasa hampa.

Akhirnya gue memilih untuk tidur lagi, supaya pikiran gue istirahat. Supaya gue tidak memikirkan Ejen.

Namun ketika tidur pun, berani-beraninya ia masih datang melalui mimpi gue. Di mimpi gue, kami sedang berjalan sambil bergenggaman. Di pinggir jalan, cuaca mendukung untuk berbagi hangat, ia mengerat pada lengan gue sambil membisikan kalimat-kalimat cinta. Di mimpi gue, kami menjadi pasangan bahagia di London.

Gue terbangun. Terduduk lalu dada gue rasanya seperti dicabik-cabik. Tidak dihantam, pun tidak dipukul. Dada gue… seperti ada yang menyayatnya lalu menghancurkannya habis.

Tidak bersisa. Sampai gue kesusahan bernapas. Sampai gue secara tidak sadar menitikkan air mata. Sampai gue merintih sakit.

Sakit.

Sakit.

Sakit.

Tolong berhenti.

Tolong jangan hantui gue dengan bunga tidur yang indah, tolong jangan beri gue angin sejuk ketika badai menghampiri.

Tolong sakiti saja gue sampai mati rasa. Sampai susah merasa. Sampai jadi manusia tanpa emosi. Karena itu lebih baik dibanding dirinya yang hadir bahagia di mimpi gue. Karena gue semakin ingin menghubunginya… gue semakin susah menghapus senyumnya.

Gue ingin melihat wajahnya.

Gue ingin mendengar suaranya.

Gue ingin mendengarnya memanggil Hiyu.

Ya Tuhan, manusia yang sedari kecil dapat sebutan Aa Hiyu ini ternyata nggak sekuat yang dikira orang-orang.

Si Hiyu ini bodoh sekali, Tuhan. Bodoh karena masih sedikit mengharap sebuah pesan darinya.

Bodoh karena masih mencintainya.

Padahal dirinya sudah diperlakukan kurang mengenakan. Dirinya ini… dijahati. Dikhianati. Diselingkuhi. Dihancurkan. Ditusuk belati.

Tapi masih saja, masih saja dirinya susah untuk membenci lelaki yang dulu ia sebut Ejen. Bodoh. Bodoh sekali. Bodoh.

Akhirnya, pada malam itu juga, gue pergi ke rumah Nenek di daerah puncak. Cisarua, tepatnya. Gue ke sana dengan membawa satu tas penuh yang isinya pakaian. Sudah terpikir akan menetap untuk beberapa hari. Nggak tau sampai kapan, yang terpenting adalah gue tidak sendiri. Yang terpenting adalah ada yang mengajak gue interaksi sebagai distraksi.

Karena gue sangat takut akan menjadi bodoh jika hanya diam merenung di dalam kamar.

Setidaknya, jika gue di rumah Nenek, gue akan sibuk disuruh ini itu oleh Kakek. Seperti menanam tanaman, mengurusi kebun, merawat burung, membantu membuat apapun karena Kakek masih aktif berkegiatan.

Namun ternyata, sesampainya di sana, Nenek menyadari ada yang nggak beres dari lelaki berusia 28 tahun ini.

Malam itu mereka belum tidur, masih menonton sinetron kesukaan Nenek. Gue disambut hangat, dipeluk lalu seluruh wajah gue diberi cium.

Selepas pelukan, Nenek memegang kedua pundak gue dan menanyakan, “Pacar Aa suka nggak sama syal yang Aa rajut waktu itu?”

Gue mendadak bisu. Gue tersenyum tipis sambil menggeleng. Gue terkekeh pelan, sangat pelan sampai sepertinya lebih mirip rintihan daripada kekehan. “Ng-nggak Nek,”

“Udah nggak—maksudnya, kita udah nggak gitu. Hehehe.”

Nenek menangkup pipi gue, menatap gue sendu. “Ngerti.” Tangannya masih di sana, merapikan rambut yang seharian ini belum gue sisir. “Nggak papa. Pasti diganti sama yang lebih.”

Mata gue memanas.

Gue tidak jarang menangis. Gue bisa dibilang terbuka soal menunjukan sedih. Namun di depan Nenek, gue seperti telanjang. Nenek seakan bisa melihat semua luka gue. Luka luar maupun dalam, Nenek lihat semuanya dan selalu siap sedia dengan kotak P3K-nya. “Aa Hiyu mau Nenek kupasin jeruk?”

Gue mengangguk.

Dan jatuhlah… jatuhlah air mata itu. Turun membasahi pipi. Runtuh pertahanan gue. Tembok gue runtuh. Bangunan ini hancur.

Nenek mengupas buah jeruk di depan televisi, ia menaruh bantal diatas pahanya lalu menidurkan kepala gue di sana. Layaknya anak kecil yang masih harus dikeloni sebelum tidur, sesekali Nenek usap-usap rambut gue.

“Aa teh cucu pertama… nggak berubah ternyata. Masih cengeng. Dulu pas tikusruk oge nangisnya nyampe dua jam. Tuh si Ibun sampe pusing… akhirnya berenti pas Nenek suapin jeruk.”

Gue tanpa sadar ikut menonton siaran sinetron sambil mendengar cerita Nenek. Nenek menyuapi jeruk, lalu menadahkan telapaknya sebagai tempat pembuangan biji.

Nenek mengupas jeruk, lalu menyuapi gue. Begitu terus sampai jeruknya habis.

“Sama Nek.” Ucap gue, masih dengan posisi tadi.

Nenek bertanya, “Apa yang sama?”

“Alesannya. Sama kayak yang dulu.”

Nenek bergumam. Lalu merapikan kulit jeruk yang berantakan, membangunkan gue agar duduk, mengelap bibir gue dengan tisu karena gue mengunyah jeruk dengan berantakan. Jorok, gue tau.

Nenek tidak mengatakan apa-apa. Nenek hanya memandangi wajah gue sambil mengelus pipi gue. Nenek menyuruh gue tidur di kamar paman gue yang sedang kunjungan luar kota.

Gue menjadi bayi lagi hari ini. Tidak ada si menyenangkan Donghyuck, tidak ada Donghyuck yang meramaikan suasana.

Hari ini, anak lelaki itu diantar sampai kasur oleh Neneknya. Hari ini, neneknya menyelimutinya seperti dulu ketika dirinya menangis karena sang Ibunda tidak mau membelikannya mainan baru. Neneknya mengusap-usap keningnya sambil dinyanyikan lagu timang-timang. Si anak lelaki perlahan terlelap. Nyaman karena Nenek selalu mahir memberi hangat.

Pada malam menuju pagi itu, si anak lelaki tidak bermimpi.

Namun bangunan hancur itu masih dalam tahap renovasi. Semoga, nantinya akan lebih kokoh dan kuat di segala sisi.


Hari-hari berikutnya, gue masih di rumah Nenek. Membantu Kakek, memasak, bermain bersama ponakan yang datang ke rumah, Adis yang sesekali mampir, atau mengantar Nenek ke pasar.

Melihat segala yang menyangkut Jeno begitu sulit.

Waktu itu gue sedang jajan di minimarket bersama ponakan. Ketika bayar, dia menunjuk kinderjoy. “Aa aku mau ini satu!”

Biasa saja sebenarnya. Sebuah permintaan yang bersifat spontan. Namun itu adalah salah satu snack favorit Jeno. Itu adalah snack kapitalis kesukaannya.

Keesokan harinya, gue memilih untuk tidak lagi pergi ke minimarket. Karena ternyata, melihat sesuatu yang berhubungan dengan Jeno mendatangkan perih yang tidak pernah gue undang.

Masih sulit.

Sangat sulit untuk melupakannya.

Tampang gue memang biasa saja. Namun di dalam hati… perih berhambur. Cinta lagi-lagi buat gue terpuruk. Cinta tidak lagi membuat gue senang. Cinta… membuat gue sengsara.

Raya masih suka menghubungi gue, by the way. Dia tanya kabar gue, mau makan apa atau sedang di mana. Gue jawab seadanya, nggak lebih. Gue sudah bilang padanya untuk jangan berharap lebih, dia pun syukurlah mengerti. Katanya, dia chat gue karena ingin tau kondisi gue seperti apa.

Gue baik-baik saja.

Atau mungkin tidak.

Injun dan Nana pun terus menghubungi gue untuk bertemu. Seratus persen yakin hendak membahas soal cabang baru Kafe Katumbiri. Mereka nggak henti menelpon gue hari itu. Gue akhirnya keluar lagi, setelah berminggu-minggu di rumah Nenek. Gue juga memutuskan untuk potong rambut sebelum bertemu mereka.

Mungkin, gue tidak harus melupakannya.

Karena semakin gue coba untuk melupakan, semakin datang bayang-bayang dirinya menghantui gue.

Mungkin, gue harusnya menerima.

Menerima bahwa bukan dirinyalah yang ditunjuk sebagai kebahagiaan abadi. Bahwa bukan bersama dirinya cerita gue akan berakhir. Menerima bahwa… dia hanya hadir sebagai pelengkap.

Menerima untuk jatuh lagi, bangun lagi, lalu memulai lagi, dengan seseorang atau tidak dengan seseorang.

Dan gue juga tidak harus membencinya. Melupakan bukan berarti harus membenci. Gue tidak terlalu paham dengan konsep 'benci untuk melupakan' karena gue pernah senang menghabiskan waktu dengannya. Yang sakit hanya ketika mendengar dirinya mengkhianati gue.

Dibanding benci, gue lebih merasa... hilang respect. Dan gue juga tidak ada hal yang mau gue katakan padanya. Kalaupun ada, pasti tidak akan masuk akal. Pasti gue akan bertindak bodoh.

Maka gue memilih untuk tidak menghubunginya lagi, dan memintanya untuk tidak menghubungi gue.

Kisah kami sudah usang. Tidak ada lagi harapan. Gue juga belum mau membersihkannya. Karena terlalu banyak lembaran.

Gue sadar, ternyata hubungan kami akan lebih baik jika hanya sebatas penggemar dengan idolanya saja. Tidak lebih. Tidak ada perasaan diatas itu semua.

Gue juga sadar, ternyata kata 'seterusnya' kurang cocok dengan hubungan kami yang akhirnya berakhir kandas.

Dunia ini pun, bukan milik kami.

Ejen punya Hiyu, dulu.

Namun tidak untuk selamanya.

Sekarang, selesai.

Hubungan ini selesai, perasaan ini pun perlahan-lahan memudar. Belum seluruhnya, namun gue akan terus mencoba. Menyibukkan diri atau mencari aktivitas lain agar bayangan tentang dirinya juga ikut memudar.

Apakah gue menyesal pernah menjadi salah satu penggemarnya? Tidak. Dia memang pantas digemari, karya yang dia hasilkan selalu indah. Dia penuh oleh bakat. Dia pantas mendapatkan banyak cinta untuk karya-karyanya.

Gue berharap dia bisa lebih jujur dengan dirinya, gue berharap pasangan hidupnya kelak akan memperlakukannya baik. Gue berharap dia bahagia, apapun kondisinya.

So... yeah.

Selamat tinggal, Jeno.

Sampai bertemu lagi, nanti.

Atau mungkin tidak.

The End of Us.

POV: Jeno.

cw tw // cheating

Badai adalah hal yang paling aku takuti.

Bentuk badai yang aku alami kala itu adalah sepi yang menusuk relung hati. Aku mulai kesusahan hidup sendiri di negeri orang, aku mulai merindukan Ayah. Merindukan Mbak Yer dan Mark. Merindukan Amora. Merindukan Hiyu. Merindukan didekap hangat olehnya.

Sudah berhari-hari aku kesusahan tidur di malam hari. Paling lama aku tidak tidur mencapai 50 jam, dan keesokannya hanya tidur selama 4 jam. Aku butuh tidur. Butuh istirahat. Namun pikiran menolak.

Entah dari mana, tidak seperti biasanya, aku mulai kesusahan sendiri.

Padahal aku selalu suka sepi, suka melakukan segalanya dengan tenang. Suka suasana damai dan tidak ribut.

Aku rindu Hiyu. Aku rindu ketika tangannya nggak melepas tanganku, aku rindu tatapan matanya, aku rindu menyentuhnya, aku rindu gurauan konyolnya, aku merindukan segalanya dari Hiyu.

Namun aku adalah seorang pengecut.

Terlalu kewalahan dengan segala rintangan di negeri orang, sampai-sampai, sewaktu aku bertemu teman lama, aku langsung berhambur pada pelukannya.

Lalu jatuh pada lubang yang tak seharusnya ia pijak.

Aku mengkhianatinya yang jauh di sana dengan berbuat sesuatu yang seharusnya nggak pernah terjadi.

Aku adalah manusia paling pengecut di dunia ini karena selalu merasa sulit untuk jujur dan lebih memilih diam.

Aku adalah manusia paling brengsek karena mengkhianati orang baik yang selalu memprioritaskan diriku.

Aku adalah orang paling tidak bersyukur.

Kala itu, aku hendak membeli suplemen tidur di apotik dekat kampus. Area bawah mataku sudah mulai menghitam. Namun, tanpa sengaja, aku bertabrakkan dengannya ketika ia membeli obat flu di apotik sekitar kampus.

Doyoung.

Aku berpapasan dengannya, namun karena aku memakai kacamata hitam dan masker, sepertinya dia tidak mengenali.

Ia menepuk pundakku. “Excuse me, I'm new here so I don't know much about European meds, if you don't mind, would you help me to find the best one? I have to meet my friend tomorrow and I'm affraid that I will pass this cold to him.

Aku tersenyum lalu melepas kacamataku. Ia mengernyitkan kedua alisnya. Lalu ketika aku melepas masker, kedua telapaknya menutup mulutnya yang terbuka lebar.

What are YOU doing here…?!” Katanya tak percaya, sedetik selanjutnya ia berhambur pada pelukanku setelah aku mengedikkan bahu.

Aku bergumam dalam peluknya. “What do you mean by 'What are YOU doing here'? Didn't I've told you about London?

Ia masih tertawa dan belum melepas pelukanku. Punggungku ia usap lalu rambutku jadi sasaran berikutnya.

Uhm… sorry to interrupt you, but you said that you have to meet your friend tomorrow? And you just hug me… high chance that you pass your cold to me, sir.

Doyoung langsung melepas pelukannya, ia mundur beberapa langkah sambil kedua tangannya mengudara seperti sedang ditodong pistol. “Refleks…”

“Temen yang aku maksud tadi itu kamu, Jeno. Cuman aku tiba-tiba flu, kayaknya sih kaget karena di sini dingin banget. Eh malah ketemu duluan, mana pas banget lagi.”

Aku bergumam lalu menepuk kecil pundaknya karena ini sangat tiba-tiba. Dibilang takdir pun, rasanya cukup benar. Karena aku senang, akhirnya ada yang bisa mengajakku bicara tanpa mengangkat topik materi kuliah.

Singkat cerita, setelah beberapa bulan aku tinggal di sini, aku belum juga mendapat teman yang bisa dijadikan sahabat. Rata-rata dari mereka sangat individualis, berbincang hanya untuk kepentingan mata kuliah semata.

Lebih dari itu, belum ada yang melihatku sebagai seorang sahabat. Padahal aku selalu berusaha yang terbaik untuk berteman dengan mereka. Seperti mengajak makan, beli kopi di pagi dan sore hari, atahu sekadar keliling kota dengan bus.

Sebenarnya, anak dari teman Ayah cukup baik. Kami sesekali pergi makan di restoran Indonesia yang buka di ujung kota, lalu bertukar cerita mengenai culture-shock dan lain hal. Hanya saja, Yangyang (anak teman Ayah) kuliah di daerah Elm Park, sedangkan aku di South Kensington yang menyebabkan kami jarang bertemu.

Kejutan Doyoung akan kedatangannya membuatku senang juga lelah dalam satu waktu. Senang karena ada yang menemaniku di sini, mengajak ngobrol, bertukar cerita, jalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku datangi karena aku terlalu sibuk kuliah. Lelah karena sisa waktuku untuk istirahat dipakai oleh bepergian ke destinasi yang sudah Doyoung siapkan. Namun aku menyukainya, aku tidak lagi merasa sepi setelah kedatangannya.

Suatu hari, kira-kira sudah seminggu ia di sini, kami sedang melahap es krim saat itu, aku bertanya padanya, “Kamu gak ada jadwal emangnya?”

“Ada. Waktu kamu kuliah, aku ketemu sama temennya Johnny, dia punya record label dan rencananya aku mau kontrak dengan label ini.” Ia menjawab sembari melahap es krimnya.

Aku menatapnya dari samping. “Serius? Kok Bang Jo gak kasih tahu aku?”

“Mungkin dia ngira kamu mau fokus kuliah dulu? Oh, bukannya kamu juga masih ada upcoming project ya, nanti?” Tanya Doyoung.

Aku membuang tisu yang melapisi cone es krim pada tempat sampah di samping bangku tempat kami memakan es krim. “Hm… iya juga sih. Tapi itu masih lama.”

“Kalau mau, ikut aja. Nanti kita ngobrol di sana. Aku juga masih santai, belum yang serius banget karena rencana tur masih lama.”

“Rencana tur?”

Ia mengangguk, melahap es krim terakhirnya lalu membuang cup itu pada tempat sampah tadi. “World tour.” Lalu mengusap es krim yang tertinggal pada sudut bibirnya menggunakan jari telunjuknya.

“SERIUS?” Tanyaku enggan percaya.

“Iya, planning-nya London jadi kota pertama di Europe.”

Aku tercengang lalu tertawa setelahnya. Ia ikut beri kekehan karena aku tak kunjung berhenti menepuk pundaknya. “Kereeeeeren!” Seruku. masih dengan menepuk pundaknya karena terkesima akan fakta bahwa ia akan mengadakan tur dunia.

Beberapa hari setelahnya, kami makin dekat.

Doyoung aku ajak untuk menetap di tempatku, tentu dengan persetujuan yang memiliki gedung karena ada peraturan aku harus izin lebih dulu jika ada yang hendak menginap untuk berhari-hari.

Aku makin nyaman karena ada Doyoung, hari beratku menjadi ringan karena setiap pulang kelas, aku akan menceritakan langsung padanya sembari tangannya merengkuh tanganku.

Ia selalu antusias mendengar cerita tentang mata kuliah yang aku pelajari setiap harinya, pengalaman atau kejadian yang terjadi pada hari itu, selalu kami ceritakan dan bahas sebelum tidur.

Tempat tinggalku di sini memang lebih kecil dari apartemen yang aku tinggali di Jakarta. Namun, penempatan sofa serta dapur kecil yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga ruangan ini mengundang kesan nyaman tidak membosankan.

Dan kesalahanku, ternyata dimulai sejak aku tidak jujur pada Hiyu ketika pertama kali Doyoung hadir di sini.

Memang, Doyoung tidak serta-merta mengunjungiku. Ia mempunyai urusan lain dan rencananya yang lain adalah liburan untuk beberapa waktu sebelum tur dimulai.

Awalnya, aku kira aku nggak perlu memberi tahu Hiyu soal Doyoung, toh ia hanya sekadar teman? Kami nggak melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh seorang teman.

Namun ternyata aku terlalu percaya pada diriku dan dirinya.

Waktu itu, kami mabuk.

Tidak, tidak ada yang terjadi ketika kami mabuk.

Kami hanya rindu rasanya, adrenalin yang menjalar di sekujur tubuh kami, serta hendak melupakan sulitnya persoalan kami masing-masing.

Sebelum kami memutuskan untuk minum, hari sebelumnya adalah waktu terakhir pengumpulan tugas.

Aku sudah mengumpulkan lebih awal satu hari sebelum tenggat, namun ada beberapa hal yang membuat tugasku tidak diterima oleh dosen.

Beliau bilang, tugasku cukup mirip dengan tugas temanku yang mengumpulkan lebih dulu. Namun sungguh, aku tidak pernah mendengar sampel musik mahasiswa lain.

Bukan bermaksud buruk sangka, tapi aku teringat dengan beberapa hari yang lalu, temanku bertanya tugas musikku sudah sampai mana. Aku katakan bahwa aku sudah sampai tahap final, tinggal kirim saja. Namun, aku belum sempat karena waktu selanjutnya ada kuis.

Temanku meminta untuk mendengarkan sampel musik yang telah ku buat, tetapi ketika aku menyerahkan sebelah earbuds, ia menolaknya, ia malah meminta untuk aku putar saja lewat ponsel. Nggak perlu pakai earbuds.

Aku tidak mau berburuk sangka, namun samar aku melihat, layar ponselnya menunjukkan bahwa ia sedang merekam suara.

Karena masalah itu, aku diperintahkan untuk membuat tugas baru. Ini pun, karena negosiasi yang telah ku lakukan, karena jika tidak bernegosiasi, pertaruhannya nilai dan aku harus mengulang.

Dosen ku memerintahkan untuk membuat sampel musik baru dengan durasi yang lebih lama. Beruntung ada Doyoung di sini, aku meminta bantuannya, dan syukurlah, berkatnya dan kenalannya di sini, aku bisa menyelesaikan sampel kurang dari 24 jam.

Ketika aku baru pulang kuliah dan baru saja sampai di tempatku, Doyoung sudah minum lebih dulu. Aku menaruh tas, menggantung jaket, melepas sepatu lalu bergabung dengannya di meja makan kecil.

Saat Doyoung melihatku, ia langsung menuangkan minumannya pada gelas yang tersedia di meja makan. Aku tidak punya gelas khusus untuk minum by the way, dia menuangkannya pada mug yang biasa dipakai untuk buat coklat panas.

Mungkin, aku akan membelinya nanti.

Doyoung meneguk sisa terakhir di gelasnya. “Tadi aku ngobrol sama orang label, katanya mereka bakal seneng kalo kau mau mampir ke sana.”

Aku menatap matanya yang mulai menuangkan minumannya lagi. “Wah? Serius?”

Ia bawa punggungnya untuk menyender pada bangku, tangannya meneguk minumannya lagi. “Kalau kamu mau, nanti kita ke sana.”

Aku tersenyum. Doyoung menuangkan minuman itu lagi pada gelasku. Teguk. Telan habis. Tuang lagi. Teguk lagi. Lalu dituang sampai tak ada sisa.

Ia bangkit dari meja makan, lalu pindah untuk duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya melebar, mengajakku untuk bergabung di sana.

Aku mengikuti kemauannya.

Aku mengikuti arah yang ia tunjuk.

Ia bawa pundakku untuk menyender di bahunya, ia mengelus lembut lenganku lalu merengkuh tubuhku dengan gemas.

Aku terlarut akan sentuhannya. Kami menertawakan yang tidak berarti untuk diberi tawa. Ia duduk menghadapku, menyilangkan kakinya di sofa, lalu memajukan wajahnya sampai dekat sekali dengan hidungku.

Doyoung menyatuhkan dahi kami, tangan Doyoung bergerak mengusap halus pipi kananku. Aku memejamkan mata, menikmatinya. Hidung kami bersentuhan, ia memajukan wajahnya sembari pasang senyum sumringah. “Cantik.”

Seakan sadar akan sepatah kata yang ia keluarkan, aku menolehkan kepala. Menjauh dari pandangannya, membuat tangannya lepas dari pipiku.

Aku tiba-tiba terpikir oleh Hiyu.

Ini semua mulai salah.

Ini semua mulai mengarah pada arah yang tidak seharusnya aku ikuti.

Tidak ada sesuatu yang terjadi malam itu, baik aku maupun Doyoung, kami langsung diam canggung. Seingatku, aku langsung masuk kamar dan menguncinya. Ia tidur di sofa.

Namun keesokan harinya, aku bangun dengan kepalaku yang terasa sedikit berat. Dan Doyoung ada di sana, menyuap sebuah sup yang aku nggak tahu ia dapat darimana. Ia menuangkan sup dari panci kecil pada mangkuk, lalu menyajikannya di meja makan dan mengajakku makan.

Tidak ada yang berubah. Doyoung masih seperti awal dulu, menanyakan apakah tidurku nyenyak, apakah aku mengalami mimpi buruk, atau apakah kasurku nyaman.

Aku menjawabnya santai. Seperti biasanya.

Sampai pada satu waktu, ketika aku sedang membersihkan bekas makanan kami, sesuatu yang seharusnya tidak pernah kami lakukan, terjadi.

Saat itu Doyoung sedang mandi, aku menunggunya selesai seraya menyiapkan baju. Tadi, selagi makan, ia mengajakku untuk pergi ke label rekaman.

Oh, Ahenk juga bilang padaku akan mampir dekat-dekat ini karena dirinya sedang liburan ke sini untuk beberapa hari. Mengunjungi pamannya sekalian tentunya, karena ternyata, Yangyang adalah sepupunya Ahenk.

Dunia begitu sempit.

Ketika aku sedang memilih baju mana yang akan ku pakai, menjejerkannya pada kasur, Doyoung menampilkan setengah dirinya di pintu. “Jen, ada gunting?”

Handuknya masih bertengger di pinggangnya, aku meliriknya dari kasur, lalu bangun dan mengambil gunting di laci nakas. “Buat apa?”

Doyoung menerima gunting yang aku beri. “Poni kayaknya rada berantakan, mau rapihin sedikit.”

Aku menaikkan pundak. “Oke.” Lalu detik berikutnya, adalah detik di mana aku seharusnya mundur, membiarkan ia sibuk dengan halnya. Namun aku malah maju, menawarkannya bantuan untuk memotong poni. Yang tentu saja, lucu dan tidak berguna.

Aku bersamanya di kamar mandi. Di depan wastafel. Ia duduk sejajar dengan cermin, aku menggunting bagian bawah poninya seraya menanyakannya apakah cukup. Lalu ia mengarahkan tanganku, mengira-ngira akan sepanjang apa yang akan dipotong.

Doyoung menggelitik pinggangku, tangannya nggak bisa diam meski matanya dipejamkan. Aku merasa geli, aku hentikan sesi potong poni dan menaruh gunting di laci samping wastafel. Aku balas menggelitik Doyoung, kami malah saling jail dan melupakan rambutnya yang masih berantakan.

Nggak tahu bagaimana caranya, Doyoung memelukku dari belakang. Ia masih duduk di bangku, aku duduk dipangkuannya menghadap cermin. Ia arahkan tangannya ke poniku, lalu wajahku, turun lagi sampai bibirku.

Aku tidak bodoh untuk menyadari bagian bawah Doyoung yang hanya dilapisi handuk itu mulai mengeras.

Doyoung mainkan bibirku, lalu tangannya membuat wajahku menoleh padanya.

Doyoung mencium bibirku.

Aku diam. Tidak bergerak. Tidak menggubris.

Doyoung memutar badanku, sehingga posisiku menghadap ia sepenuhnya. Ia mengeratkan tangannya di pinggangku, lidahnya seakan meminta izin untuk masuk ke dalam mulutku.

Dan aku larut.

Selanjutnya kalian tahu apa yang terjadi. Kelanjutannya tidak akan aku ceritakan secara rinci. Kelanjutannya… aku mulai menikmatinya.

Aku mulai lupa bahwa aku telah memiliki seseorang.

Aku mulai lupa akan hati yang harus aku jaga.

Aku mulai lupa akan janji yang ku katakan padanya.

Aku mulai lupa akan Hiyu.

Aku melupakan Hiyu.

Setelah kami melakukannya, aku tertidur lagi dan begitupun Doyoung. Ketika bangun, Doyoung tidur menyamping menghadapku. Aku memperhatikan wajahnya yang tenang dalam tidur.

Bayangan tentang Hiyu mulai menghantui.

Rambut ikal Hiyu, wajahnya yang terlihat sangat polos ketika sedang tidur, ekspresi gemasnya ketika aku jauh dari jangkauannya karena setiap kami tidur bersama, ia selalu memelukku.

Atau bibirnya yang mengerucut ketika aku berhenti menciumnya.

Aku beranjak dari kasur, lalu segera mandi dan memakai pakaian setelahnya. Menyadari aku belum membuka ponsel hari ini, langsung ku raih ponselku yang masih berada di meja nakas samping kasur.

Rasa bersalah datang berhambur dengan rasa takut.

Hiyu cerita tentang bagaimana harinya berjalan. Katanya, ia dan teman-temannya hari ini mau mengunjungi panti. Hiyu juga cerita bahwa ia akan membangun cabang baru kafe katumbiri. Hiyu cerita banyak, Hiyu selalu mengabari apapun yang ia akan, sedang, dan telah lakukan. Hiyu selalu merespon dengan cepat walau aku membalasnya lambat.

Hiyu selalu mengutamakan, sedangkan aku selalu menyepelekan.

Aku membalasnya, lalu mengangkat teleponnya ketika sempat ragu untuk menggeser tombol merah.

Hiyu banyak ucap kata rindu. Hiyu bilang, “Bogor jadi makin dingin semenjak kamu pergi.”

Aku melihat orang berlalu lalang dari beranda kecil di samping ruang tengah. “Kok bisa gitu…”

“Ya karena mataharinya pindah ke London.” Tuhan. Tawa dan suara dalamnya makin mengiris hatiku.

Aku terkekeh pelan. Hatiku rasanya dihantam oleh batu, kanan-kiriku seakan ada yang meneriakkan Jahat! Kamu jahat, Jeno!

Hiyu bertanya lagi. “Suara kamu kenapa? Capek, ya?”

Aku berdehem pelan. “Tadi pagi…” aku diam beberapa detik untuk mencari alasan. “...abis virtual practice sama Kak Anggun.”

Aku berbohong.

Aku berbohong, lagi.

Tidak ada latihan hari ini.

Hiyu adalah orang dengan segudang ide yang akan buat kamu selalu senang. “Wah iya kah? Kapan-kapan kita virtual dinner mau? Atau virtual practice? Nanti kamu nyanyi aku yang bagian nari. Sounds fun, right?”

Aku mengangguk. Mataku melihat ke bawah bangunan. “Yeah…

Waktu Telepon kita tidak lama, Hiyu bilang ia harus segera berangkat untuk bertemu orang konstruksi bersama teman-temannya. Hiyu pamit dengan memberiku sebuah kecupan yang aku yakin ia sampai mengecup layar ponselnya karena suaranya sangat jelas.

Aku tersenyum.

Lalu tersadar lagi.

Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini.

Membohonginya, menipunya, bertingkah seolah aku hanya berteman saja dengan Doyoung.

Aku salah, jahat, dan tidak bertanggung jawab atas komitmen yang telah kami sepakati.

Aku tidak bisa memaksakan diri untuk terus merengkuhnya ketika aku telah melepaskannya tanpa ku sadari.

Aku terlalu egois. Aku ingin Hiyu terus di sisiku, mengabariku, melakukan yang ku mau, memberikan seluruh cintanya padaku, mempercayaiku, sabar akan tingkahku, juga memelukku erat padahal aku dipenuhi duri yang buatnya perih.

Aku harus melepaskannya.

Aku memang jahat. Jahat sekali. Tapi aku akan lebih jahat jika aku terus bersamanya.

Aku akan mengakhirinya besok.

Aku akan mengakhiri hubungan kami.

Namun takdir sepertinya berkata lain.

Waktu itu siang tidak turun hujan, tetapi pada malam hari, hujan besar mengguyur kota.

Sepulangnya dari kampus sore tadi, Doyoung mengajakku makan pizza di restoran yang jaraknya cukup jauh dari kampus. Aku memutuskan untuk pulang dulu, mengganti baju dengan pakaian yang lebih hangat.

Jalanan menuju tempat tinggalku melewati gang, dan sialnya, kala itu lampu yang menerangi gang padam. Jarang terjadi seperti ini.

Aku jalan menggunakan senter ponsel yang aku arahkan ke bawah jalan. Aku merasa diikuti, sepertinya di belakangku ada orang. Awalnya, ku pikir tetangga sebelahku karena beberapa kali kami pulang pada waktu yang sama.

Maka ku balikkan badanku, mengajaknya untuk jalan bersama. Namun karena jalanan gelap, penglihatanku hanya hitam disertai sinar dari ponsel. Ia merangkulku, merangkul sampai mencekik leherku. Aku otomatis memukul tangannya yang melingkar di leherku, lalu ia merebut ponselku yang menjadi pencahayaan satu-satunya.

Saat itu ponselku tidak dalam keadaan terkunci, aku melihat ia mematikan flashlight. Dan pada sedetik kemudian, ia hendak merebut tas ku. Aku menepisnya dan berteriak, “Who are you? What do you want?” Kendati ia terus menarik dan tangannya merogoh ke dalam tas yang masih berada di lenganku.

Aku memakai tote bag tanpa resleting, memudahkan dia untuk menjangkau segala yang di dalamnya. Salahku memang, tidak memakai tas yang lebih safety.

Aku mendorong pundaknya ke belakang, lalu dia menarik kerah leherku asal. Aku dibuat maju, lalu bisa ku rasakan ada yang memukul kepalaku dengan sesuatu yang keras. Aku tidak refleks melihat belakang, aku memegang belakang kepalaku dan berteriak lalu bertanya apa mau mereka.

Kondisinya, tas aku peluk erat. Aku tidak bisa melihat apa apa. Jantungku berdegup cepat. Ada jeda beberapa saat setelah aku berteriak, aku bisa mendengar deru napasku dan kekehan orang ini bersamaan.

Letak tepatnya aku nggak tahu.

Tetapi, ketika satu hingga beberapa pukulan yang aku rasakan pada samping kanan-kiri lenganku, yang mengakibatkan tanganku lemas dan eratan tasku melemah, orang misterius ini menyunggingkan senyum, sembari flashlight menyinari wajahnya dari bawah dagu.

I'll give you two options…” Jarinya menari-nari di wajahku, tangan sebelahnya menekan daguku. Membuat aku mau tidak mau balas menatapnya.

Mulutnya bau alkohol.

Asumsi ku yakin, mereka adalah gerombolan gangster yang senang mencuri.

Run now. Leave your things here. Or… I'll take out your organs and sell them to KFC.”

KFC DON'T SELL HUMAN ORGANS!! GIVE THEM BACK THEIR THINGS YOU FUCKING IDIOT!!

Tunggu.

Aku mengenal suara ini.

Si penjahat ini otomatis celingak-celinguk ke arah lain, mencari sumber suara yang baru saja ia dengar. Aku mundur beberapa langkah, namun belum memutuskan pergi karena tasku masih berada di sana.

“JENO? JENO KAN INI?” Sinar yang ku yakin dari flashlight ponsel itu mengarah ke wajahku. Aku tidak bisa melihat siapa yang baru saja memanggilku tadi, namun si penjahat tadi melayangkan tinju terakhir di pipi kananku, dan satu temannya menendang tanganku keras sebelum mereka pergi. Mereka membawa tasku, meninggalkan aku yang tidak berdaya di sini.

Aku jatuh terduduk. Kakiku lemas. Tanganku ngilu jika digerakkan. Orang yang memanggil namaku tadi menghampiriku, ikut jongkok lalu memegang pundakku.

“TADI SIAPA? LO KENAL?”

”...Ahenk?”

“Jen, astaga, sumpah! Gak papa? Sumpah lo… kacau banget!” Ahenk menangkup dua pipiku, menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri seraya meringis pelan.

“Tolongin gue…”

“Iya! Pasti! Gue panik, sumpah! Awalnya dateng ke sini mau surprise-in lo tapi malah gue yang kena surprise! Anjir…!”

Aku menghela napas berat. Tangan Ahenk masih terus mengidentifikasi luka-luka di sekitar wajahku. “Bisa bantuin minggir gak… di tengah jalan gini kurang enak.”

“Oh! Iya deng! Kita masih di tengah jalan, ya!”

Ahenk membantuku berdiri, lalu duduk di tangga depan rumah orang. Aku meluruskan kakiku dan menyender pada pagar. “Duduk di sini sebentar, tadi sebelum ke sini Yangyang mau ke tempat pacarnya dulu. Nanti kita ke rumah sakit pake mobil pacarnya.”

“Yangyang? Kenapa lo duluan kalo akhirnya bareng?”

Ia mengedikkan bahu. “Kan surprise…?”

Aku mendecih, lalu terdiam lagi. Tasku hilang. Ponselku dibawa lari. Kakiku sakit. Tanganku sangat sulit digerakkan.

Tidak lama setelah kami duduk dan berbincang singkat, sinar dari cahaya mobil terlihat sangat terang. Ahenk langsung bangun dan menghampiri Yangyang. Ia memberitahunya apa yang baru saja terjadi, aku dibopong oleh mereka hingga ke dalam mobil.

Aku menjelaskan keseluruhan kronologi pada mereka. Kun, kekasih Yangyang itu ternyata punya beberapa kenalan yang pernah dirampas juga. Kun bilang, aku tidak perlu terlalu khawatir, selama di daerahku ada cctv yang terpasang, penjahat itu pasti ditangkap. Barang-barang mungkin hilang, tapi pihak yang berwajib pasti membantu.

Aku belum memikirkan sampai sana. Selama Kun menjelaskan, aku hanya diam menatap jalanan.

Apakah ini balasan dari mengkhianati Hiyu?

Apakah ini ganjaran yang aku terima?

Aku sampai di rumah sakit dan langsung dilarikan ke Emergency Room. Perawat-perawat menghampiriku, bertanya apa yang terjadi, apa yang dirasa dan bagian mana saja yang terasa sakit. Aku menjelaskan semuanya sejelas-jelasnya. Mereka membersihkan luka luarku, aku baru menyadari ternyata bibir serta hidungku mengeluarkan darah.

Ketika dokter datang, beliau memeriksaku lalu menginstruksikan perawat agar aku dilakukan pemeriksaan X-ray. Ahenk bersamaku di sini. Ia juga ikut mendengarkan.

Aku baru ingat janjiku dengan Doyoung.

Setelah dokter pamit, aku buru-buru minta tolong Ahenk untuk menghubungi Doyoung. Ia mengetik sesuatu cepat pada ponselnya, lalu memperlihatkan padaku.

Ahenk: doy jeno masuk rumah sakit emergency dirampok kata jeno dia ga bisa makan pizza lo pulang aja pizzanya bungkus buat gw plis (sebelum lo tanya, iya gw di london sekarang) (makanya cek instastory gw)

“Lo kenal Doyoung? Kok punya nomornya?”

“Pernah garap bareng beberapa lagu dia. Gue sering ke tempatnya, doi juga sering ke studio kan?” Jawabnya.

Aku manggut-manggut lalu memjamkan mata. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Dirampok.

Ditodong.

Lalu dikejutkan oleh kedatangan Ahenk.

Lalu aku teringat Hiyu.

Lalu aku teringat aku mengkhianatinya.

Aku belum siap kehilangannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keseharianku nanti tanpa pesan dan panggilan Hiyu.

Tidak.

Aku tidak mau meninggalkannya.

Aku mau ia di sini. Merengkuhku di masa-masa sulit. Aku mau Hiyu memelukku. Aku mau tangannya bermain di kepalaku. Memainkan rambutku. Lalu membubuhkan kecup.

Aku mau Hiyu.

Dadaku sesak.

Aku tidak seharusnya terbawa suasana.

Aku benci perasaan campur aduk seperti ini.

Aku benci diriku sendiri.

Aku benci.

Sangat benci.


Lima hari berlalu, lengan kananku yang patah harus menggunakan gips untuk beberapa waktu ke depan. Ponsel dan dompet lamaku tidak selamat. Namun berkat bantuan Yangyang serta kekasihnya, juga Ahenk dan Doyoung, aku mendapatkan ponsel baru. Kartu-kartu penting beserta segala yang harus diurus, diringankan oleh bantuan Kun.

Aku bersyukur memiliki teman-teman yang tulus membantu.

Selama lima hari, aku sama sekali belum mengabari keluarga maupun Hiyu. Aku tidak memberi tahu Ayah kalau ponselku dirampas.

Ahenk sempat menanyakan tentang ini, awalnya ia hendak memberi tahu Mbak Yer serta Mark. Namun aku tolak karena takut mereka bereaksi berlebih. Aku tidak mau merepotkan dan mengganggu waktu mereka yang sedang dinikmati untuk melihat pertumbuhan Dedek.

Butuh beberapa rayuan untuk meyakinkan Ahenk agar tidak memberi tahu mereka. Seperti pizza, misalnya.

Begitulah.

Doyoung, aku juga memperingatinya. Aku bilang padanya, biar aku saja yang memberi tahu mereka nanti jika aku sudah mendapatkan ponsel baru. Doyoung juga sempat bertanya, mengapa aku tidak menggunakan gadget lain seperti iPad atau Laptop.

Aku menjawab, aku hanya… sepertinya butuh waktu.

Butuh waktu untuk siap, membuka aplikasi pesan lalu melihat banyaknya notifikasi dari Hiyu. Panggilan tak terjawab. Serta segala mention-nya di twitter. Hiyu suka mengirimi aku tweets lucu. Walau kadang, aku tidak menemukan letak lucunya di mana. Namun aku senang, karena itu berarti dirinya mengingatku. Karena berarti, Hiyu ingin aku tertawa.

Hiyu hanya ingin aku senang.

Namun aku… pecundang satu ini, malah menusukkan pisau dari belakang. Dan ia sadar… aku tahu Hiyu tahu jika ada pisau yang ku tancapkan. Alih-alih menjauh dan melepaskan, ia malah mengeratkan pelukan.

Dadaku sakit lagi.

Aku ingin menampar diriku sendiri.

Aku benci diriku.

Aku benci diriku, sungguh.

Setelah keluar dari rumah sakit, hari-harri hanya ku habiskan dengan istirahat. Aku sempat takut untuk keluar. Aku hanya diam di kamar.

Keesokan harinya, aku akhirnya mendapat ponsel baru yang syukurlah kontak bisa diselamatkan.

Sesuai perkiraan, ratusan pesan masuk dari Hiyu. Beberapa panggilan tak terjawab, panggilan video yang tidak terangkat, juga mention di twitter, DM instagram, atau di platform lain.

Aku menarik napas dalam.

Lalu mengembuskannya kasar.

Yang pertama aku lakukan adalah menjawab pesan Ayah. Aku bilang padanya bahwa aku baik-baik saja. Ada Yangyang, Doyoung, Ahenk, Kun, yang menemaniku. Aku juga bilang aku sehat. Aku baik-baik saja.

Tentu, bohong.

Yang kedua aku lakukan adalah membuka ruang pesan Hiyu.

Aku membacanya satu persatu.

Hatiku seperti disayat oleh belati, melihat dirinya yang selalu antusias jika sudah menyangkut kami. Hiyu cerita banyak. Mulai dari baking bersama adik-adik, restoran favoritnya tutup, menemukan restoran baru, atau mengajak Adis ke museum zoologi.

Mataku memanas. Aku ingin menangis.

Aku menekan tombol telepon, baru beberapa dengung sambungan telepon bunyi, aku sudah mendengar suaranya.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengangkat teleponku, namun butuh waktu lama bagiku untuk sekadar menghubungi atau membalas pesannya.

Ini tidak adil.

Hiyu tidak pantas mendapatkan ini.

Aku jahat.

“Ejen… Ya ampun akhirnya… aku sampe mikir kamu ikutan seleksi jadi asistennya Kate Middleton karena nggak bales-bales chat aku tahu nggak? Tapi untungnya sekarang kamu telepon aku. Itu artinya apa coba? Hayooo apaaaaaa?”

Aku disambut oleh antusiasnya yang menyenangkan.

Lengang.

Sambungan telepon kami lengang untuk beberapa saat.

Mataku memanas.

“Ejen sayang?”

Air mataku turun.

“Ganteng? Waduh pulsa aku abis apa, ya?”

“Artinya…” Aku menjaga suara agar tangisku tidak pecah.

“Apa coba artinya?” Ia bertanya lagi.

Aku masih diam. Menutup mulut dengan tanganku. Suara Hiyu dari speaker telepon sangat terasa nyata. Aku makin merindukannya. Aku makin merasa bersalah. Aku makin benci diriku.

“Artinya… kamu masih jadi pacarnya si Hiyu!” Katanya.

I can't hold it anymore.

My tears are falling down.

I betrayed you, Hiyu. I did something I shouldn't have done.

Aku terkekeh dan berkata iya. Hiyu lanjut menanyakan kabarku, aku menjawab baik-baik saja. Aku bohong lagi. Aku menipunya, lagi.

Percakapan kami mulai serius ketika ia menyinggung soal Ibun serta pernikahan. Hiyu cerita, ia dikenalkan Ibun oleh seorang wanita. Raya namanya. Aku menyimak dengan berat hati. Mengingat posisiku akan segera terganti. Namun itu yang terbaik untuknya.

Ia pantas mendapatkan seseorang yang akan mencintainya dan membagi porsi bahagianya. Ia pantas mendapat waktu suka yang tidak ia dapatkan selama bersamaku.

Satu tahun beberapa bulan, kami menjalani hubungan ini tanpa tahu arahnya ke mana. Aku sangat labil, namun ia begitu sabar.

Pada saat perayaan kami untuk tahun pertama menjadi sepasang kekasih, sepanjang hari aku mengerjakan tugas. Aku ingat. Aku ingat pada saat itu adalah hari yang cukup penting bagi kami. Hiyu mengirimkan aku sweater serta syal rajut beberapa hari sebelumnya.

Dalam box paket yang ia kirim, ia menuliskan, Aku belajar ngerajut sama nenek buat bikinin kamu syal. Nanti dipake ya, sayang. Aku lihat di berita cuaca London hampir minus derajat. Semangat dan jangan lupa makan enak. Aku bakal selalu jadi Hiyunya Ejen, Hiyu sayang Ejen.

Hatiku bagai dihantam palu.

Panggilan telepon selesai, aku merenung di beranda luar. Memikirkan tentang kami. Memikirkan tentang aku yang jahat dan Hiyu yang selalu sabar.

Tempatku saat itu kosong. Doyoung masih sibuk dengan label record, Ahenk menginap di tempat Yangyang.

Tidak baik jika aku terus menjalani ini ketika aku tahu apa yang telah aku lakukan padanya. Aku terus menyakitinya, dengan dan tanpa disadari. Aku akan terus membohonginya, memutar balikan fakta hingga ia percaya.

Jika hubungan kami berlanjut, aku akan menjadi toxic.

Menjadi egois.

Menjadi makin jahat.

Maka ku hentikan sekarang.

Aku ingin ia selalu menjadi anak baiknya Ibun. Aku ingin ia bahagia dengan orang tulus yang bisa membaginya suka dalam waktu lama. Aku ingin… ingin sekali ia dicintai sebanyak dirinya mencintai aku yang jahat ini.

Ini adalah pilihan sulit yang menyesakkan.

Ini adalah pilihan terbaik yang memilukan.

Aku mengetik pesan dengan satu tangan, tangan sebelahku masih di gips. Sembari air mata terus turun, dadaku terasa berat.

Sakit.

Sakit sekali ketika melihat bukan Ejen lagi yang ia sebut.

Sakit sekali ketika ia bilang jangan pernah lagi menghubunginya.

Sakit.

Hatiku sangat sakit.

Namun aku pantas mendapatkan ini.

Aku pantas tidak dihubungi lagi. Tidak dicintai lagi. Tidak dikasihi lagi.

Tepat setelah ia menyebutkan bahwa ia akan menungguku pulang.

Padahal baru saja tadi kami bertukar rindu. Padahal baru saja ia bilang ia sangat mencintaiku, padahal baru saja ia bilang, “aku nggak pernah khawatir soal jarak karena aku selalu percaya kamu.”

Aku duduk di lantai. Seluruh badanku sangat terasa lemas ketika sadar tidak ada lagi balasan darinya setelah aku membalas 'Donghyuck'.

Tangisku makin menjadi-jadi.

Mengingat waktu bahagia kami aku hancurkan dalam satu kalimat. Aku tidur sama Doyoung. Tidak butuh alasan lain. Tidak ada kalimat lain darinya. Tidak ada lagi yang bisa dimaklumi.

Aku ditinggalkan.

Aku harus ditinggalkan.

Namun namanya akan selalu ku ingat.

Akan selalu ku kenal.

Selalu ku kenang.

Sekarang, berbahagialah, Hiyu.

Karena ini cara terakhirku untuk menunjukan bahwa aku cinta kamu. Ini cara terbaik, supaya kamu tetap senang. Nantinya. Tentu. Bukan denganku.

Jujur Hiyu, jujur aku nggak mau berpisah. Tapi aku akan menjadi orang paling egois kalau itu terjadi. Tetapi nantinya… nantinya pun, semoga, kita akan saling melupakan. Kamu akan melanjutkan hidup, membesarkan anak yang lucu-lucu, juga membangun panti asuhan seperti yang kamu selalu ceritakan.

Dan aku,

aku akan tetap mencintai kamu.

Aku akan menyesali diri.

Sampai waktunya tiba,

sampai aku merasa aku sudah berbaikan dengan diriku sendiri.

Dan ketika waktu itu tiba,

aku harap aku bisa melihatmu lagi. Datang ke kafe yang baru kamu bangun, membawa pisang bolen sebagai cenderamata, atau sate padang untuk makan siang.

Untuk terakhir kali, jika aku boleh memohon satu permintaan darimu saat ini juga, aku ingin kamu bahagia. Seterusnya. Selamanya.

Berbahagialah, Donghyuck.

Berbahagialah…

…Hiyu.

Arjena sayangnya Kakak,

Jam segini memang waktunya banyak pikiran, semoga apa yang aku tulis di sini bisa buat kamu tenang dan langsung bobo, ya.

Kalau kamu minta lebih pun, Kakak gak masalah buat tulis lagi.

Uca bilang, kamu nggak keluar kamar dari pagi, ya?

Aku nggak mau ganggu dan usik kamu sebelum kamu cerita duluan ke aku. Wajar sayang, waktu-waktu kayak gini memang selalu ada. Dan nggak papa, dirasain dan dinikmati aja. Nanti juga berlalu, dan aku tau kamu keren karena selalu melewatinya.

Kakak nggak minta kamu cepet-cepet membaik. Kakak cuman minta, itu sate ayam yang Uca taro di depan pintu kamar, tolong dimakan. Ada puyo kesukaan kamu juga, ada gulu-gulu kesukaan kamu juga.

Kakak selalu sayang kamu, Kakak bakal jadi Kak Hecinya Arjena terus.

Jadi, ini jawaban Kakak atas pertanyaan kamu;

  1. Karena kamu selalu nyempetin kasih makan kucing di kantin bahkan sebelum kamu sentuh makanan kamu.
  2. Karena kamu selalu bantu orang terdekat kamu. Mau kecil atau besar, kamu selalu mau bantu.
  3. Karena kamu nggak pernah nggak sopan sama tukang jualan, ibu kantin, tukang bersih-bersih taman sekolah, dll.
  4. Kamu selalu menghargai yang lebih tua maupun yang lebih muda.
  5. Kamu selalu tau kondisi, menempatkan guyonan tepat pada tempatnya.
  6. Karena kamu selalu punya seribu satu topik untuk dibicarakan.
  7. Karena kamu sederhana.
  8. Karena kamu nggak berusaha sempurna, namun berusaha sebaik dan sebisanya. Dan menurutku itu cukup.
  9. Karena kamu selalu mau mencoba.
  10. Karena kamu bawain aku kukubima energi instead of teh anget waktu aku sakit di UKS.
  11. Karena kamu sayang binatang.
  12. Karena kamu cinta alam.
  13. Karena ketertarikan kamu pada astronomi.
  14. Karena kamu bawel (cute.)
  15. Karena kamu selalu tatap lawan bicara kamu setiap lagi ngobrol.
  16. Karena antusias kamu setiap ceritain sesuatu.
  17. Karena cara kamu genggam tanganku.
  18. Karena senyum kamu selalu bikin tenang.
  19. Karena kamu asik.
  20. Karena kamu nggak pernah membosankan.
  21. Karena kamu unik.
  22. Karena kamu satu dimataku.
  23. Karena kamu cemerlang.
  24. Karena kamu gemilang.
  25. Karena kamu bersinar.
  26. Karena kamu cerah.
  27. Karena kamu seperti bintang.
  28. Karena kamu selalu buat senang.
  29. Karena kamu selalu mengubur duka.
  30. Karena kamu selalu menciptakan asa.
  31. Karena kamu selalu memancarkan positif.
  32. Karena kamu layaknya kain putih bersih.
  33. Karena kamu layaknya bunga lily yang bawa damai.
  34. Karena kamu menghalau badai.
  35. Karena kamu harum seperti madu.
  36. Karena kamu kasih bantalan paling empuk.
  37. Karena paha kamu tempat pelarianku.
  38. Karena tangan kamu ajaib.
  39. Karena kamu lawak.
  40. Karena kamu jago hibur aku.
  41. Karena kamu bisa buat aku senyum lagi kalau aku marah.
  42. Karena kamu selalu tau cara menghadapi emosi-emosi aku.
  43. Karena kamu pernah makan pelet ikan.
  44. Karena kamu nggak sengaja pernah nginjek tai burung.
  45. Karena kamu kalau makan donat selalu pilih the glazed one.
  46. Karena kamu punya banyak rekomendasi date ideas.
  47. Karena kamu sabar.
  48. Karena kamu gemas.
  49. Karena kamu bisa bedain kertas HVS 80gsm dan 100gsm.
  50. Karena kamu hebat.
  51. Karena kamu nggak pernah nuntut apa-apa (selain jadwal kita ke mie gacoan setiap minggu)
  52. Karena kamu informatif.
  53. Karena kamu baik sama driver gojek.
  54. Karena kamu baik sama staf atau karyawan atau pelayan restoran.
  55. Karena kamu bisa menunggu.
  56. Karena kamu suka pelangi.
  57. Karena kamu selalu melihat dari sisi baiknya.
  58. Karena kamu pernah kecebur kolam ikan.
  59. Karena kamu pernah ngajakin aku terapi dan refleksi pijat.
  60. Karena kamu paham tentang sex-education.
  61. Karena kamu concern tentang mental health.
  62. Karena kamu selalu ingat teman-teman kamu.
  63. Karena kamu selalu apresiasi aku dalam segala hal.
  64. Karena kamu bilang aku ganteng.
  65. Karena kamu teriak “PUTRI DUYUNG GAK BISA MAKAN CILOK” waktu upacara.
  66. Karena aku lihat kamu dihukum Bu Nanik.
  67. Karena Bu Nanik bilang, “Walau aneh sedikit, Arjena itu sopan dan pintar.”
  68. Karena kamu… One of a kind.
  69. Karena kamu selalu memaafkan.
  70. Karena kamu bukan seorang pendendam.
  71. Karena kamu selalu tau style keren.
  72. Karena kamu selalu koreksi aku kalau aku salah.
  73. Karena kamu buat aku semangat.
  74. Karena kamu gigih.
  75. Karena kamu buat aku bangga dengan status “Pacar Arjena.”
  76. Karena tahi lalat samping mata kamu.
  77. Karena kamu tahu racikan enak tiap makan bakso.
  78. Karena kamu jago buat indomie kreasi.
  79. Karena kamu ngajarin aku untuk cinta sama segala hal. Not in a romantic way, tapi cinta dengan benda sekali pun.
  80. Karena kamu tulus.
  81. Karena kamu cantik.
  82. Karena kamu indah.
  83. Karena kamu makan mulu.
  84. Karena kamu gampang ketawa.
  85. Karena kamu gampang ngambek.
  86. Karena kamu selalu dengerin aku.
  87. Karena kamu sabar ngadepin aku.
  88. Karena kamu baik sama temen-temenku.
  89. Karena kamu dikenal dengan sisi baiknya oleh orang-orang.
  90. Karena kamu suka menyusun lego.
  91. Karena kamu suka main game.
  92. Karena kamu sayang semua orang di dunia.
  93. Karena kamu buat aku jatuh cinta seribu kali setiap aku lihat kamu.
  94. Karena kamu alesan aku semangat setiap hari.
  95. Karena kamu selalu susun rencana seru setiap kita main.
  96. Karena kamu selalu berdoa serta bersyukur sebelum dan sesudah bangun tidur.
  97. Karena kamu sayang aku, dan aku sayang kamu.
  98. Karena kamu cinta aku, dan aku cinta kamu.
  99. Karena kamu dunianya Hekal Chievero.
  100. Karena kamu alasan aku jatuh cinta.
  101. Karena kamu Arjena.

Hubungi aku lagi kalau kamu udah rada enakan ya, sayang?

Kakak di sini. Kamu nggak sendiri.

Hekal Chievero, yang selalu sayang Arjena.

Putih yang murni.

POV: Mark

Halo.

Perkenalkan, ini Mark.

Sebelumnya, gue izin mengambil alih cerita untuk sementara karena ada beberapa yang perlu disampaikan.

Pertama, perihal Om Donghae.

Ketika gue pertama kali melihat amplop bertuliskan nama Om Donghae, lalu menemukan box berisi surat yang bisa terbilang banyak, gue langsung meminta Ibu untuk menjelaskan semuanya. Namun seperti yang sudah kalian tahu, Ibu menolak untuk menjelaskan; alasannya, “Kamu gak akan ngerti rasanya ditinggal saudara sendiri, ngeliat hidupnya jadi susah ketika menikah dengan lelaki pilihannya. Kamu gak akan ngerti, lebih baik diam dan jangan ganggu.”

Nenek dikaruniai 3 putri yang cantik-cantik. Pertama adalah Ibu, yang kedua Tante Elsa, dan yang terakhir adalah Tante Elia, Ibunda dari artis kesayangan kita semua, Lee Jeno.

Tante Elia adalah pribadi yang lebih dari kata baik. Beliau dermawan, pintar, cantik, selalu bisa diandalkan, menarik, kreatif, serta memiliki hati yang tulus. Sepupu yang selalu dijadikan bahan perbandingan dengan anak-anak Oma—Kakaknya Nenek, Tante Elia nggak pernah sekalipun menentang atau melawan perintah Ibunya.

Sampai suatu ketika, datanglah hari di mana Om Donghae mampir ke rumah Oma untuk meminta restu dan izin, beliau mau jadikan Tante Elia sebagai cinta sejatinya.

Setelah diceritakan oleh Tante Elsa, beliau bilang, kala itu Oma maupun Nenek sama sekali nggak beri izin untuk mereka. Restu yang dipinta oleh kedua insan tersebut ditepis langsung dengan perkataan kakek yang membuat tangis Tante Elia turun. Kakek, suami kesayangan Nenek itu berkata, “Kamu ini kerjaannya cuman PNS. Meskipun gaji stabil, namun terlalu kecil untuk menghidupi anak saya. Latar belakang keluargamu juga gak pantas bersanding dengan kami yang hampir seluruhnya berkecimpung di dunia medis. Kerja apa orang tuamu tadi? Punya restoran? Halaaaaaaaaaah, kalo bangkrut gimana? Mau dikasih makan apa anak saya? Kasian dia, sudah indah hidupnya sedari kecil, gak perlu lah kamu buat susah.” Kejadian ini disaksikan langsung oleh saudara-saudara dari Tante Elia. Mereka pun, mengangguk setuju dengan argumen sang kepala keluarga itu.

Om Donghae, dengan tangguh dan tekad yang pasti, nggak berhenti sampai situ ketika Ayah mertuanya mencabik hatinya dengan perkataan setajam belati. Ia terus berusaha, datang dengan suguhan lalu pulang dengan cacian. Terus menerus bolak-balik Jakarta-Bogor dengan orang tuanya padahal ongkos pas-pasan, hanya untuk minta restu dari keluarga sang tercinta.

Sampai suatu ketika, hal yang membuat Om Donghae bersujud syukur dan mencium kedua kaki orang tuanya tiba juga. Keluarga besar Tante Elia, datang ke Bogor dan menerima restu Om Donghae. Kakek, Nenek, maupun saudara-saudaranya hadir menyaksikan. Om Donghae yang kala itu senangnya di atas langit, nggak terpikir sama sekali mengapa tiba-tiba keluarga kasihnya itu menyetujui untuk melakukan pernikahan.

Namun setelah mereka berbincang mengenai segala yang berhubungan tentang pernikahan; catering, tempat, kapan, dan adat, Ibu dari kekasihnya itu berkata, “Kamu harus tanggung jawab atas perbuatanmu pada anak saya.”

Yang di mana, setelah air mata Nenek turun, Om Donghae baru menyadari bahwa Tante Elia berbohong akan kehamilannya. Tante Elia, untuk pertama kalinya, melawan keluarganya sendiri. Dan beliau melakukan itu untuk bersama dengan Om Donghae.

Hanya untuk hidup dengan kekasihnya.

Lelaki pilihannya.

Cerita Tante Elsa tentang kisah Tante Elia dan Om Donghae membuat gue nggak pulang ke rumah selama 3 hari. Rasanya, untuk melihat anggota keluarga setelah mendengar cerita asli dibalik sikap manisnya mereka, somehow ngebuat gue muak. Gue nginep di rumah Yerim, dan langsung menjelaskan semuanya.

Kedua, perihal hari ini yang menjadi hari di mana sang Ayah dan sang anak dipertemukan kembali setelah belasan tahun.

Acara dimulai dengan Jeno yang menyanyi dari pintu ballroom sampai di panggung kecil, mengiringi Amora hingga tiba di sana. Sebelum ini, Jeno sudah bertemu duluan dengan Amora untuk briefing kecil yang dipandu oleh tim pesta ulang tahunnya. Pada saat pertama Jeno melihatnya, gue bisa lihat banyaknya rasa sakit di matanya. Dan ketika Amora melihat Jeno, semua atensi yang harus ia dengar dari tim diabaikan. Nggak sedetik pun ia lengah pada yang lain, matanya terus menatap sosok Kakak yang ia rindukan selama ini.

Gue dan Yerim terus memantau mereka, terus melihat pergerakan dan mendengar perbincangan mereka. Hingga untuk pertama kalinya, bulu kuduk gue berdiri karena perkataan Amora. “Kakak, makasih udah dateng ke pestanya Ola.”

Lalu sosok Kakak yang si adik rindukan membalas, “Kakak memang harus hadir di pesta ulang tahun adiknya.”

Yerim menitikkan air mata lalu menghapusnya dengan cepat. Gue merangkulnya kemudian, ia menyandarkan kepalanya pada bahu gue. “So heart warming… I'm happy for both of them.

Gue mengangguk, menyetujui perkataannya dengan elusan pada belakang punggungnya.

Jeno belum melihat Om Donghae ketika ia mengiringi Amora masuk dalam ruangan, Om Donghae pun, belum memunculkan presensinya di sana.

Semua orang yang ada di ruangan ini, ketika melihat Jeno menggandeng tangan Amora berteriak histeris. Apalagi satu remaja perempuan yang langsung mengeluarkan handphonenya untuk merekam, padahal sesuai acara, semua yang datang diharapkan memegang bunga yang telah diberi oleh staf di sini.

Dari sudut ruangan, gue dan Yerim membagi tugas untuk memantau satu sama lain. Oh, Donghyuck juga datang. Ia terus menatap Jeno tanpa henti. Dia berdiri di seberang kami, sesekali mengedipkan matanya pada gue atau Yerim, lalu dibalas dengan jari tengah dan pelototan mata oleh Yerim.

Setelah menyanyi, Jeno memberikan pidato singkat kepada para tamu, tidak memberi tahu secara gamblang bahwa ia hadir di sini sebagai Kakak, namun pidatonya mengundang air mata Yerim datang lagi.

“Pada hari ini, belasan tahun yang lalu, seorang perempuan cantik lahir dan merubah dunia jadi warna yang lengkap. Jika disandingkan dengan pelangi, mungkin merah akan melambangkan tekadnya yang tangguh dan berani, jingga untuk daya tariknya yang menarik, kuning melambangkan keceriaan, hijau untuk antusias dan perhatiannya akan alam semesta, biru sebagai hamparan permadani biru yang biasa disebut laut, hatinya luas bagaikan laut. Nila… warna ini biasa dilambangkan dengan ketulusan hati. Dan ungu, menurut saya sendiri, ungu adalah warna yang misterius… mungkin sisi 'ungu' nya Amora hanya dikenal oleh orang terdekatnya yang ia percaya. Namun menurut saya sendiri, Amora adalah putih yang keseluruhannya bersih. Putih suci. Putih tulus. Putih murni. Putih yang beri keseimbangan pada segala aspek. Amora adalah putih, putih yang beri kebahagiaan, kedamaian, serta kenyamanan bagi orang terdekatnya. Bagi saya juga, Amora adalah putih yang membawa keberuntungan. Karena dengan menyadari bahwa presensinya di bumi utuh, saya sungguh merasa tenang. Selamat ulang tahun, Amora Lee. Semoga terus benderang dan cemerlang.”

Sambutan dari Jeno, menghasilkan riuh tepuk tangan oleh para tamu yang hadir. Ia tersenyum lalu menghampiri Amora untuk memeluknya. Yerim mencubit pinggang gue, jari telunjuknya menunjuk pada pintu ballroom.

Om Donghae ada di sana.

Matanya penuh air mata.

Tangan istrinya berada di lengannya.

Gue otomatis melihat ke arah Jeno di depan, lalu ketika gue menyadari bahwa pandangan mereka bertemu, jantung gue berpacu lebih cepat.

Namun Yerim terus membisikkan, “He'll be fine. They will be fine. Hari ini semuanya beres.” Lalu tangannya menggenggam tangan gue yang basah karena keringat.

Jeno tersenyum simpul lalu turun dari panggung, ia jalan menuju pintu.

Jantung gue semakin berpacu.

Di seberang, pandangan Donghyuck juga terus mengikuti arah langkah Jeno. Ke manakah ia bawa kakinya, di mana ia akan berhenti…

Dan ternyata, kakinya tidak lagi menggerakan langkah ketika ia tepat berada di depan Om Donghae. Kedua tangannya mengepal erat di samping kanan dan kiri celananya, gue mendekat ke tempat mereka karena Yerim menarik gue ke sana.

Belum ada kalimat yang keluar dari mulut Om Donghae, Jeno sudah mencelos keluar ballroom tanpa sepatah kata.

Om Donghae dan istrinya bingung, hendak keluar untuk mengejar Jeno namun buru-buru Yerim tahan. “Kalau dia keluar tandanya masih ragu, Om. Maaf ya, tolong dimaklumi.”

Om Donghae tersenyum. “Saya masih harus banyak belajar tentang anak saya ya, Yerim?”

“Jeno kayaknya cuman bingung harus bersikap kaya gimana, Om.” Yerim menambahkan.

Gue ikut tersenyum, lalu segera mengirim pesan pada Jeno. Setelah menunggu beberapa menit, ia membalas.

Jeno: Mark, gue di toilet. Kalo udah waktunya gue tampil lagi tolong samper. Abis tampil gue balik kamar atau toilet lagi. Atau rooftop. Gak tau. Gue bingung harus bersikap kaya gimana depan ayah soalnya gue sekarang lagi nangis mark ya tuhan ayah ngga berubah ya tuhan amora cantik banget ya tuhan… ini beneran gak sih ini semua nyata gak sih mark gimana ya ah mbak yer tolongin gue dong semoga lo tetap sehat selalu ya mbak

Gue memperlihatkan chat dari Jeno ke Om Donghae. Beliau dan istrinya tertawa renyah sembari menghapus air mata menggunakan sapu tangan. Lantas mereka mempersilahkan kami untuk menikmati acara ini. Beliau juga memerintahkan salah satu staf untuk mengajak kami mencicipi beberapa makanan yang tersedia. Padahal, kami sudah diberi tempat di sudut ruangan yang bertuliskan TAMU VIP.

Ketika sudah waktunya lagi Jeno tampil, ia membawakan 'selamat' serta 'Newborn' sesuai request dari Amora dan Om Donghae. Ia datang bersama Donghyuck di sebelahnya dari pintu yang lain. Setelah selesai, Jeno menghilang lagi bersama Donghyuck. Entah ke mana, biarlah ia menyendiri bersama orang yang dia rasa nyaman.

Acara closing tiba, Jeno membawakan satu lagu terakhir 'I Know Love' yang cocok diperuntukkan pada remaja yang sedang tumbuh dewasa. Bahwa remaja pun, bisa merasakan cinta. Aku sudah dewasa, tolong jangan larang aku untuk merasa, romansa di dada sungguh luar biasa, serasa terbang ke luar angkasa.

Itu potongan lirik I Know Love.

Sehabis acara selesai dan mc sudah menutup seluruh rangkaian acara, beberapa ada yang masih berfoto dan beberapa langsung keluar ruangan. Amora, segera menghampiri Jeno yang buru-buru keluar ditemani Donghyuck.

“Kakak!”

Jeno membalikkan tubuhnya. “Iya?”

Ketika Amora hendak mengucap sepatah kata, Om Donghae serta istrinya datang menghampiri mereka. Mata Yerim menangkap netra Jeno yang sedikit bengkak, meyakinkannya untuk tidak keluar. Pesan tersirat Yerim sampai dengan baik, anggukan Jeno adalah jawaban yang membuat kami semua lega.

“Ayah mau ngobrol sama Ejen.”


Gue, Yerim, dan Donghyuck menunggu di smoking area ketika Om Donghae dan keluarganya berbincang di restoran.

“Coba tebak, sayur sayur apa yang bisa nyanyi?”

Yerim menghembuskan asap rokoknya. “Lo bisa diem gak?”

Donghyuck menghisap sigaret di antara kedua jarinya itu, lalu menghembuskannya seraya menyandarkan kepalanya pada tembok. “Santai aja ngapa mbak, feeling gue bagus nih. Pasti Ejen sama Ayahnya baikan.”

Kami sedang disiram cemas, bingung dan penasaran akan permasalahan yang dialami orang yang kami sayang. Lalu kami memutuskan untuk memadamkan cemas dengan cerutu. Ini semua ide Donghyuck.

Setelah batang rokok gue habis, gue menjawab tebak-tebakan Donghyuck tadi. “Kol.”

Donghyuck terkesima, ia tertawa lalu batuk-batuk setelahnya. Ya salah sendiri, lagi ngisep rokok malah ketawa.

“Kol? Kenapa kol? Aneh!” Yerim terkekeh renyah.

Gue jawab lagi seraya mematikan api sigaret, “Kol. Kolplay.”

Donghyuck tertawa puas akan jawaban yang gue jawab benar. “Gila Mark! Kok lo tau-tauan aja si becandaan ginian?”

Yerim memutar bola matanya malas. Ia melanjutkan sesi hisap hembusnya tanpa mempedulikan Donghyuck maupun gue.

Tak lama dari itu, ponsel kami masing-masing berdering. Menandakan notifikasi pesan dari orang yang sama.

Hal yang ia sebutkan membuat kami menghembuskan napas lega. Dan tanpa sangka, Yerim memeluk gue serta Donghyuck berbarengan.

Tangisnya jatuh berhambur dalam pelukkan kami.


Yang Ayah sampaikan pada Jeno di restoran:

“Sebelumnya, Ejen boleh benci Ayah. Ejen boleh marahin Ayah sepuasnya, Ejen boleh minta apapun sama Ayah. Ayah bakal kasih semuanya untuk anak kesayangan Ayah. Tapi Ayah minta tolong, tolong dengerin Ayah jelasin semuanya dulu ya, sayang? Karena untuk Ayah pun, ini semua sama sekali bukan jalan yang mudah. Banyak rintangan, belokan, tanjakan, maupun turunan yang mengantarkan Ayah pada hari ini. Tepat 6 bulan Ayah kerja di Kalimantan, HP Ayah dirampas orang. Ayah kebingungan gimana caranya hubungi keluarga di Bogor, saat itu uang Ayah belum cukup untuk sekedar beli Hp baru karena biaya hidup di sana ternyata cukup menguras dompet. 2 bulan kemudian, Ayah sudah beli Hp baru, langsung Ayah hubungi Nenek untuk tanya kabar Ejen. Namun Nenek malah jawab, jangan hubungi keluarga kami maupun Jeno sebelum kamu lunasi utang utangmu. Ayah berutang pada mereka dengan jumlah yang bisa dibilang banyak, nak. Dulu… ketika persalinan kamu, tabungan Ayah belum cukup. Tabungan Mama pun, sudah habis dipakai beli perabotan dan pakaian untuk kamu. Awalnya Nenek bilang, sudah semestinya keluarga saling bantu. Ketika biaya administrasi rumah sakit beliau yang bayarkan. Namun setelah Mama kamu pergi, mereka jadi berbanding terbalik. Hari-hari kemudian, Ayah terus gigih bekerja dan menyisihkan separuh uang Ayah untuk dikirim ke Nenek. Ayah pernah sekali pulang ke Bogor, tapi ternyata kamu sama Nenek pindah ke Jakarta. Ayah langsung ke Jakarta hari itu juga, namun mereka malah usir Ayah. Oma dan Kakek nggak sudi menerima Ayah di rumahnya. Akhirnya, mereka buat perjanjian untuk Ayah agar tidak menghubungi kamu sampai utang Ayah lunas.”

“Ayah kirim surat, kirim foto Ayah. Kirim uang buat kamu, juga pada mereka sebagai bayaran utang.”

“Tapi taun ke taun setiap Ayah kunjungin kamu ke Jakarta, Ayah selalu di usir.”

“Sampai akhirnya Ayah bertemu teman lama yang punya banyak relasi di bidang kuliner. Leeteuk, teman Ayah itu, membantu restoran orang tua Ayah jadi ramai lagi. Dia juga beri pinjaman modal untuk buat cabang baru. Strategi penjualan, serta hal lainnya yang Ayah belum kuasai, semuanya ia ajarkan dan bantu. Hasilnya adalah, restoran milik Abah dan Ibu di Bogor ramai. Cabang restoran kami pun, sekarang sudah di mana-mana. Dengan hasil kerja keras kami, akhirnya setelah 10 tahun utang Ayah lunas terbalaskan, nak. Akhirnya juga Ayah bisa undang artis papan atas Indonesia, undang kamu untuk ulang tahunnya Amora. Yang ternyata kamu ngga mau dibayar, kamu mau datang kemari sebagai Ejen. Ayah bersyukur dan senang sekali...”

“Sekarang Ayah nggak perlu kirim kamu surat lagi, Amora bisa reach out kamu lewat pesan.”

“Kakak…”

“Kakak mau terima Ola sama Bunda?”

“Mau, Ola.”

Asel, dan perubahan mood-nya yang buat Hamzi pusing.

POV: Hamzi.

Read at your own risk. Your choice your responsibility. Decided not to put any tags, but this fic is basically a porn (with feelings of course)
Ditulis dalam point of view Hamzi, alias sudut pandang orang pertama. Berhenti di sini jika kurang nyaman dengan konten seksual.


Pulang kelas tadi, Asel mukanya udah gak ngenakin banget. Gua jemput telat karena harus ngurusin urusan sekolah Hasmi. Bayar SPP dan beli buku paket penunjang pembelajarannya.

Kata maaf dan kalimat yang membuktikan bahwa gua tidak sepenuhnya salah, hanya dijawab gumaman oleh Asel. Selama di motor pun, yang gua dengar hanyalah helaan napasnya yang berat. Tangannya tidak mengerat pada jaket gua seperti biasa, pundak gua juga tidak dijadikan tempat istirahat sejenaknya sampai tujuan.

Asel hari ini aneh, dan gua kurang nyaman jika ia lebih memilih diam dibanding menceritakan keluhannya.

Setelah gua beres mandi, Asel masih nyemil depan TV. Acara yang sedang tayang itu ia acuhkan, matanya kosong melompong. Gua yakin, pikirannya lagi nggak baik-baik aja.

“Gak bosen tu bibir maju mulu? Sekalian ajalah ikut balap lari.” Gua mengambil bagian kosong sofa rumah Ibu, duduk di sebelah Asel.

Jawabannya hening.

Gua ngambil serauk basreng di toples yang berada di pangkuan Asel. “Bisa kali dijawab.”

Jawabannya masih hening.

Asel bangun dan pergi ke kamar mandi. Gua menunggunya di sini sambil mencari acara yang cukup layak untuk memanjakan mata. Acara jaman sekarang… perlu dipertanyakan. Karena itu, gua lebih pilih buat buka netflix.

Selagi gua sibuk dengan tontonan, Asel keluar dengan rambut yang basah dan berantakan. Kayaknya ini anak baru keramas, wangi dari kamar mandi juga bisa gua cium.

Ia keluar dengan handuk yang melingkari bagian bawahnya, lalu masuk ke kamar gua, kayaknya sih mau ngambil baju, tapi tumben gak izin atau bilang dulu.

Biasanya, setiap kali Asel mau minjem baju atau apapun, dia setidaknya bakal bilang. Namun kali ini, teriakkan dari atas kamar gue tidak gua dengar seperti biasa. Gua di lantai bawah makin mempertanyakan, Asel sebenernya kenapa sih hari ini?

Nggak bisa dibiarin, penasaran yang menggebu ini harus dapet jawaban. Emang sih, biasanya Asel kalo lagi badmood bakal diem begini, tapi sebelumnya dia bakal kasih warning.

Kayak waktu itu,

Hamzi, gua lagi bt banget. Jangan diajak ngobrol, please. Nanti kalo udah enakan gua pasti bilang.

Atau kala itu,

Hamzi, kucing gua si cimol mati. Lagi mau sendiri dulu. Jangan chat atau telepon, ya. Nanti pasti gua kabarin.

Sekarang, gak ada Asel yang selalu menomor satukan komunikasi diantara lainnya. Sekarang, hanya Asel yang meninggalkan gua dengan seribu misteri.

Setelah memastikan kunci pintu depan dan belakang terkunci, mematikan TV dan cek dapur apakah kompor nyala一gua menuju lantai atas, menuju Asel yang sepertinya sedang kalut.

Yang dapat disimpulkan dari apa yang gue lihat di depan pintu adalah, mood-nya benar-benar kacau. Rambutnya ia biarkan basah, juga belum memakai sehelai pakaian. Handuk yang tadi masih berada di pinggang ketika keluar dari kamar mandi lantai bawah, ternyata masih bertengger di pingganggnya.

Asel merebahkan dirinya di kasur, pandangannya lurus ke atas menatap lampu dan poster iron man yang sengaja gua tempel di atas dekat lampu.

Gua menyisir ke belakang rambutnya yang basah. “Mau ketoprak gak?”

Gua terkejut dengan tepisan tangan Asel. “Jangan pegang-pegang gua.”

Aduh, gak beres nih.

Gua berjalan ke lemari dan mengambilkan baju serta celana, lalu gua beri padanya yang masih enggan bangun. “Pake baju dulu. Dingin.”

Ia menepis lagi pemberian gua. “Ck. Bisa diem dulu gak sih?”

Fine. Kalau dia gak mau pake baju, gua naikin temperatur AC supaya dia gak ngerasa terlalu dingin.

Dia merebut remote AC ketika pandangannya mengarah gua. “Banyak tingkah.” Lalu menurunkan lagi temperatur yang baru saja dinaikkan.

Nggak terima akan perlakuannya, gua memaksa Asel memakai baju. Biar saja dikata kasar atau gak sopan, gua gak mau besok mendengar Asel nyalahin dirinya sendiri karena sakit. Karena masuk angin, karena pilek, karena gak pake baju dan kurang memperhatikan diri sendiri sampai gak ikut kelas. Gua akan sangat benci jika Asel sudah memukul kepalanya sendiri.

Sisi Asel yang baru gue kenal sejak masuk dunia perkuliahan adalah sisinya yang tidak menerima bahwa dia tidak melakukan yang terbaik pada salah satu mata kuliah. Jika ada nilai yang menurutnya kurang memuaskan, dia bales dendam dengan belajar seharian dan mematikan ponsel. Mengabaikan gua juga, tentunya.

Kadang, gua masih kesusahan untuk berkawan dengan sisinya yang ini.

Asel berontak ketika gua memasukkan lubang kepala baju padanya. Ia melempar kaos itu sembarang arah. “Anjing, Zi. Sumpah anjing bisa jangan ganggu gua gak?”

Matanya merah.

Rahangnya mengeras.

Tangannya dikepal.

Yang bisa gua rasa, emosinya bentar lagi keluar. Emosi yang jarang ia ekspresikan, bentar lagi datang.

Asel, kalau marah pasti nangis.

Dan gua benci, jika bulir air matanya itu turun karena gua.

Karena gua pernah melihatnya hancur sebelum ini. Karena alasan dibalik itu adalah diri gua sendiri.

Maka yang gua lakukan sekarang adalah diam. Menatapnya bersusah diri menahan segala emosi yang akan meluap, melihat napasnya yang menggebu-gebu.

Dan sial, gua harus lihat lagi tangisnya turun.

“Pake baju.” Gua berkata.

“Seenggaknya pake baju supaya gak kedinginan. Baru boleh nangis.”

Asel menatap gua remeh. “Really, Zi? Yang lu peduliin disaat gua kayak gini cuman baju?”

“Lu gak bisa kedinginan, gua inget kata Bunda, lu ada alergi dingin. Jadi tolong pake baju.”

Matanya makin memerah, tangannya menggenggam satu sama lain, mengepal dan bergetar. “Tolol.” Umpatnya.

“Lu bahkan gak peduli disaat gua begini.”

“Gua peduli, makanya nyuruh lu pake baju.”

Air matanya turun makin cepat. “Maksa banget, anjing.” Ucapnya.

“Pengen nonjok lu, sumpah. Gak suka banget kalo lu udah maksa.” Ucapnya lagi.

Gua meraih tangannya yang sedari tadi mengepal menahan gerakan, “tonjok aja.”

“Tonjok gua kalo itu bisa buat lu lega.”

Ketika gua bawa tangannya pada pipi, ia melepaskannya kasar dan menghapus tangis yang turun dengan cepat.

Ia menatap gua lamat, “Hamzi, marahin gua aja please.”

Gua memiringkan kepala, bertanya-tanya kenapa hari ini Asel grumpy banget. “Apa alesan kuat yang mengharuskan gua buat marahin lu?”

Ia menundukkan kepalanya. Menatap kakinya di bawah. “Semester ini nilai matkul gua ada yang B.”

Ya Allah.

Kadang gua pengeeeeeen banget teriak kalo nilai bukan segalanya. Nggak harus dibawa pusing jika perbandingannya cuman 2:1. Nggak papa, lu tuh udah ngelakuin yang terbaik, Sel. Cuman sifat perfeksionis yang elu alamin tuh kadang yang ngebuat lu sendiri sedih dan uring-uringan.

“Nggak papa. Lu masih bisa ngelakuin lebih baik lagi di semester depan.” Gua mendekat padanya, merangkul pundaknya sembari mengelus-elus bahunya.

“Gua mau belajar sekarang.” Ia hendak beranjak dari kasur menuju meja di ujung kamar, sebelum gua tarik dirinya dan memangku badannya di atas paha.

“Nanti. Sekarang istirahat dulu.”

Ia menggeleng, “lu tuh gak ngerti, Zi. Gak pernah ngerti apa yang gua rasain kalo nilai turun.”

Gua menahan tubuhnya agar tetap berada di posisi ini. “Ngerti. Gua ngerti lu pasti kesel sama diri sendiri. Tapi biarin hari ini istirahat dulu, tidur dulu, makan enak, atau lakuin apa aja yang bisa seenggaknya ngebuat lu lega.

Tangisnya berubah jadi isak ketika berontaknya nggak membuahkan hasil; gua masih enggan melihatnya makin pusing jika ia memilih untuk memperdalam ilmu disaat pikirannya kalut.

Karena menurut gua, ada saatnya kita memberi koma pada setiap fase. Ketika hal yang nggak sesuai ekspektasi datang, ngebuat capek dan menguras energi, ada baiknya istirahat dan merilekskan pikiran sampai dirasa yakin untuk mengulang lagi. Untuk memulai lagi. Karena nggak ada salahnya untuk istirahat satu kali pada perjuangan yang lu kerjakan seribu kali.

Dan gua mau Asel dapat memahami itu.

“Hamzi, lepasin please,”

Gua menggeleng, mengelus punggungnya yang belum dilapisi sehelai benang pun. Ini kalau gua nggak salah rasa, gua bisa ngerasain banget kepunyaan Asel menyundul lewat handuk.

Tahan, Hamzi.

Nggak ketika Asel sedang begini.

“Gua mau belajar. Lepasin anjing!

Ia mendorong dada gua ke belakang sehingga gua terbaring di kasur. Tangan gua kalah cepat dengannya yang langsung bangun untuk memakai pakaian yang tadi gua beri namun ia tolak.

Gua menghembuskan napas kasar melihatnya membuka tas dan mengeluarkan iPad, mengulang rekaman dosen yang selalu ia rekam setiap kelas. Lalu ia catat kembali, ia pelajari lagi dengan tangannya yang terus memukul kepalanya ketika dirasa materi itu belum masuk ke otaknya.

This is beyond frustrating.

Namun biarlah, dia kadang emang susah dikasih tau. Ini adalah bagian dari Asel yang perlu gua ngertiin lebih dalam一bagian yang masih perlu gua pelajari bagaimana cara terbaik untuk meladeninya.

Maka biarlah, biarlah ia berkutat dengan materi itu semua. Gua akan menontonnya belajar dari sini, sampai ia merasa bosan sendiri.

Empat puluh menit berlalu, sudah terhitung ini adalah pukulan ke-3 yang ia pukul pada kepalanya sendiri. Gua nggak tahan banget, soalnya dia mulai meracau kasar dan menyalahi dirinya.

This really break my heart.

Gua menarik kursi kosong di sebelah, lalu mendekat padanya dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. “Udah, Sel. Nanti lagi.”

“Hamzi… kenapa gua gak ngerti-ngerti.”

Gua memeluk Asel dari samping. “Bisa, cuman untuk sekarang jangan dipaksa. Istirahat dulu, sayang. Jangan terlalu diforsir.”

Mungkin, ia sudah terlalu lemah ketika gua rengkuh tubuhnya. Karena kali ini dia nggak berontak.

“Tidur… mau tidur.” Ucapnya.

Gue meng-iyakan dan segera menggendongnya ke tempat tidur.

Setelah menyelimuti dan mengecup keningnya, ia perlahan memejamkan mata. Menggunakan lengan gua sebagai bantalan, juga kepalanya yang sejajar dengan dada, gua sangat berharap hal sekecil ini bisa mengobati perihal yang tadi membuatnya stres.

Hari ini panjang, baik Asel maupun gua, kami berdua pantas mendapatkan tidur yang nyaman.


Anjing.

Yang gua rasain sekarang anjing.

Pemandangan yang gua tangkap juga anjing.

Bagian bawah gua anjing.

Dan yang paling anjing adalah, di luar hujan. Menambah sensasi sensual yang gua rasakan. Nafsu gua makin tinggi, makin haus dan pengan tuntun Asel supaya nyepongnya gak kena gigi.

Udah ketebak, 'kan? Kira-kira apa yang gua rasa dan lihat sewaktu gua bangun一ah, kebangun.

Celana gua sudah entah ke mana perginya. Dalaman gua juga nggak ada. Yang ada adalah Asel yang duduk di samping dengan terus memaju mundurkan penis gua pada mulutnya.

“Ngapain?”

Ia terkejut melihat gua bangun, Asel langsung melepaskan penis gua pada mulutnya. “Udah bangun?” Tanyanya setelah berdehem kecil.

Gua mengangguk dengan masih posisi baring. “Lu ngapain?”

“Tadi pas kebangun, gak sengaja senggol punya lu. Terus keras. Ya udah gua inisiatif.”

Inisiatif katanya jiiiiiirrrrrrr.

“Gak suka, ya?” Tangannya menggerakan penis gua ke atas dan ke bawah. Gua melihat jam, ternyata masih pukul sebelas malam.

“Suka. Tapi jangan kena gigi.”

Asel tersenyum remeh. “Meragukan gua?”

Gua balas menyeringai, “kalo bisa yang lebih enak lagi kenapa nggak?”

And, damn. Fuck.

Penis gua makin dikocok dengan ritme cepat. Ritme yang buat gua mau gak mau harus mengeluarkan erangan sial.

Sial. Sial. Sial.

Nggak ngerti sama mood Asel yang bisa berubah 180° ini. Padahal tadi sore marah dan nangis. Sekarang malah nantangin ngebuat sange.

Ini kalo dia makin nantangin, gua gak bisa buat bersikap lembut, sih. Sumpah nggak bisa. Gua bakal minta maaf sebelumnya, karena sialnya, kepunyaan gua yang lemah itu, jika sudah diberi aksi oleh Asel akan dengan cepat keluar.

Pre-cum gua sudah keluar.

Dan SIAL lagi, Asel malah menjilati setiap bagian dari penis gua. Setiap yang keluar, ia jilat, ia kecup, shiiiiiiit kenapa sekarang malah disedot?

Ia mengelap pinggiran bibirnya kasar, “Cepet banget sih keluarnya.” lalu merunduk untuk mencium bibir gua.

“Anjing ya lu,” Gua bangun, membalikkan posisi dengan Asel yang sekarang berada pada kungkuhan gua. Ia menyeringai, mengecup bibir gua lalu melumatnya. “Tuh, sperma lu gua jilat. Gimana rasanya sperma sendiri? Enak nggak?”

Bangsat.

“Belajar darimana ngomong gitu?” Gua menekan dagunya, menatap lamat matanya yang terus meneriakkan goda.

Shit, Asel seksi banget kalo begini.

“Ya dari lu lah, sama siapa lagi gua ngewe kalo bukan sama lu?”

Jawaban darinya tidak gua balas dengan kalimat lagi. Gua langsung melepaskan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya. Setelah kami telanjang bulat, Asel merebahkan dirinya di kasur, dilanjut dengan gua yang menunduk untuk menyapu bagian samping telinganya dengan lidah. Lalu gua bisikkan, “Maaf. Lu seksi banget. Maaf kalau abis ini gua kasar.”

Asel menangkup pipi gua, lalu balas bisik tepat di telinga kiri. “Gak masalah.”

Ia beri tampang menggoda, jarinya memelintir salah satu puting gua. Mengendus leher, lalu menggigitnya dan disapu dengan lidah.

Gua langsung menelusupkan lidah pada mulutnya, meredam semua lenguhan yang ia keluarkan. Kakinya bergerak kesana kemari. Penisnya sudah keras, lantas gua beri sentuh serta memainkannya pelan.

Ciuman gua turun menuju tulang selangkanya yang cantik. Gua nggak pernah absen untuk meninggalkan tanda di bagian ini, karena gua sangat suka jika bagian ini sudah dibubuhi seni yang diciptakan oleh gigi dan lidah.

Putingnya gua jilat, gua kecup, gua gigit一lagu gua tarik pelan. Ketika gua melakukannya berulang kali, Asel menepuk punggung gua, jangan ditarik ih! Nanti copot!

Gua terkekeh dan langsung pindah menuju perut bagian bawahnya. Bulu-bulu yang tumbuh sebelum menuju penisnya membuat gue sedikit geli ketika mengecupnya. Asel menggeliat ketika gua duduk diantara kedua pahanya seraya menjilat jari tengah untuk dimasukkan pada lubangnya.

“Zi, kalo pake ludah doang terlalu kering. Sakit.” Kata Asel, ketika gua hendak memasukan jari pada lubangnya.

“Ambilin. Di laci sebelah.” Tanpa diberi tahu harus ambil apa, ia langsung bangun dan merangkak menuju laci sebelah kasur untuk mengambil pengaman dan pelumas. Melihat pantatnya dan caranya mengambil barang itu tanpa bangun sepenuhnya, ngebuat nafsu gue makin besar.

“Pakein kondomnya.” Asel langsung memasang kondom di kepunyaan gua. Dan setelah kondom terpasang dengan benar, gua makin sadar kalau Asel ini orangnya penuh inisiatif.

Ia menumpahkan lubrikan pada telapaknya, lalu dioleskan pada kepunyaan gua yang tadi ia beri aksi. Tangannya telaten mengoles sembari menatap gua yang sudah diburu-buru oleh nafsu. Pergerakannya malah diperlambat di sana, gua makin pusing dan nggak tahan lagi.

Asel juga, sepertinya paham dengan lenguhan yang keluar dari mulut gua. Ia merebahkan lagi dirinya di kasur, lalu melebarkan kakinya; memperlihatkan kemaluannya pada gua; seakan minta digagahi.

Ini kalo lubangnya bisa ngomong, pasti udah bilang Selamat datang, silahkan masuk! kayak pegawai mini market.

Anjiiiingggggggggg emang dasar manusia penuh inisiatif. Belom disuruh aja udah langsung ngangkang.

Tidak perlu berlama-lama, gua menuangkan lubrikan pada tangan dan melumuri jari sebasah mungkin. Sudah lama sejak seks terakhir kami, gua takut Asel meringis kesakitan jika terlalu kering.

Satu jari, Hamzi, boleh tambah.

Dua jari, lagi, zi.

Tiga jari, Hamzi, masukin punya kamu.

Dan ketika ia merasa cukup, sewaktu gua menggesekan kepunyaan gua dengan lubangnya, ia menekan perut bagian bawahnya sambil melenguh.

Perlahan gua memasukkan penis sambil genggam kedua tangannya yang pasrah di samping kanan dan kiri. Netra kami saling tangkap, desahannya secara langsung gua saksikan di depan gua sendiri. Bibirnya terbuka, lidah gua langsung menelusup dan menari-nari pada rongga mulutnya. Lidah kami saling bertempuran dengan pola yang jauh dari kata teratur. Persatuan kami di bawah sana sudah sepenuhnya masuk.

Tinggal tunggu, siapa yang duluan inisiatif untuk beri friksi?

Soalnya gua gak mau. Biar Asel si juara provinsi aja yang duluan beri aksi.

“Anjing, Hamzi. Gerakin cepeeeeet.” Ia merengek disela ciuman kami. Gua masih belum mau bergerak, mau lihat dulu bagaimana jika dia yang memimpin permainan ini.

“Sekali-kali kamu.” Gua membalikkan posisi menjadi Asel yang di atas. Badan gua, gua senderkan pada headboard kasur, ia melenguh kencang ketika secara tiba-tiba gua menukar posisi.

“Zi… kerasa banget.” Ia menopang badannya dengan menekan dada gua.

Gua mendukung pergerakannya yang masih malu-malu dengan meremas pantatnya. Kadang juga, ketika gua lihat wajahnya yang memberi sinyal nikmat, gua tampar pantatnya bergantian.

“Sel,”

Melihat Asel yang kewalahan, gua bantu bergerak dengan mengeratkan tangan pada pinggangnya dan menaikkan tubuh Asel ke atas dan ke bawah.

Posisi ini adalah posisi yang pertama kali kami coba. Namun entah darimana ia bisa menahan ini, Asel selalu jago jika menyangkut menutupi rasa sakit dalam hal sesksual. Padahal, gua tahu ia sangat ngilu ketika penis gua mengenai titik kenikamatannya. Karena posisi ini, lubangnya pasti sangat ngilu ketika penis gua terasa mentok di sana.

Asel pun, pasti tahu dan merasa demikian. Namun ia menunjukannya dengan menarik tangan gua untuk memelintir putingnya.

Ini adalah waktu yang akan gua rekam dan gua putar setiap kali gua coli nanti.

Damn, gila sumpah, Asel makin ngebuat gua semangat buat cepetin genjotan.

Badannya mulai dirasa lemas, ia menenggelamkan kepalanya di antara perpotongan leher gua. Lengannya juga ikut dikunci di sana. “Hamzi… kamu gantian gerak, please.”

Gua mengambil alih pergerakan dengan menaik-turunkan tubuhnya lebih cepat. Tangan gua berada pada pinggangnya yang ramping一pinggang yang paling pas untuk dierat dan diremas saat aktivitas seperti ini.

Tangannya memainkan penisnya sendiri, beri stimulasi lebih agar nikmat menguasai. Sebentar lagi, kami sampai pada puncak putih yang orang-orang namakan klimaks, Asel maupun gua, makin cepat beri aksi pada bagian masing-masing.

Melihat kami yang sibuk menuju pelepasan, membuat gua makin semangat menggempurnya一makin erat genggaman tangan pada pinggang Asel, pantatnya gua tampar lagi untuk tambah sensasi pada rasa luar biasa yang bentar lagi beri presensi.

Suara dari aktivitas seksual kami memenuhi ruangan. Ruangan yang jadi saksi bisu akan perlakuan mesum kami, ruangan yang jadi saksi akan kisah gua dan Asel selama bertahun-tahun.

Gua menggenjotnya cepat-cepat ketika dirasa kepunyaan gua sudah membesar mau mengeluarkan cairan, Asel juga sepertinya udah gak tahan, gue merasakan penis yang makin dijepit oleh lubangnya yang mengetat. Kami sama-sama udah gak kuat.

“Aku mau keluar! Ah! Hamzi!”

Gua menghentakkan sekali lagi, “Keluar sayang.”

Pada hentakan yang terakhir, akhirnya kami mencapai pelepasan masing-masing, Asel mendesah kencang seraya gua membaringkannya lagi di kasur.

Ah..., Sel, sumpah.”

Deru napas kami saling adu. Gua melepas kondom, lalu membuangnya pada tempat sampah di bawah nakas setelah mengikatnya asal.

Melihat Asel yang masih mengatur napas sembari memejamkan mata. Kadang, membuat gua ingin lagi.

Seksi, coy.

Tapi, gua nggak setega itu untuk menggempurnya tepat setelah pelepasannya. Nggak sekarang.

Gua memiringkan tubuh menatapnya, mengecup pipinya dan merapihkan rambutnya yang dibasahi keringat. “Kamu lagi kenapa, sih? Tumben nakal banget.”

“Ngelakuin apa yang tadi sore kamu bilang.” Tangannya ikut bermain pada bibir gua, ia cubit kecil, lalu dikecup. Ia usap-usap, lalu tersenyum sendiri.

“Emang apa yang tadi sore aku bilang? Aku sendiri aja lupa.”

Asel pasang senyum paling nakal, lalu menirukan intonasi suara gua. “Lakuin apa aja yang bisa seenggaknya ngebuat lu lega?”

Gua terkekeh akan pernyataan atau pertanyaan yang barusan ia lontarkan. Gua menariknya sehingga jarak tidak lagi ada dalam kamus kami, mendekap hangat tubuhnya dengan dibalut selimut yang gua tarik.

“Udah lega sekarang?”

Ia mengangguk. “Makasih, Hamzi.” lalu senyum lagi sampai kedua matanya membentuk bulan sabit.

“Jangan gemes-gemes elah, ntar gua pengen lagi.”

“Gak masalah, kalo lu mau lagi. Ayo?”

Emang yang namanya Asel, hobinya bikin pusing seribu keliling.

Paper Rings.

POV: Donghyuck

Kalau waktu itu kami makan sate padang di malam hampir larut, hari ini kami makan lagi di siang yang terik.

Sate padang depan swalayan ini rasanya nggak pernah berubah, cocok dimakan di segala suasana dan cuaca. Gue dan keluarga juga udah langganan. Bisa catering juga kalo lo mau coba. Waktu nikahan sepupu, si amang ini juga dateng.

Sobat gitu lah, ceritanya mah.

Jeno melahap satu demi satu sate tanpa lontong. Sate padang memang sedikit tiap tusuknya, cuman ada tiga atau empat potongan kalau gue gak salah ngitung. Tapi di situ nikmatnya, makannya jadi praktis dan gak ribet.

“Lontongnya dimakan juga dong.”

Lontong di piringnya malah di kepinggirkan. “Sama kamu aja deh… ini aku udah banyak banget lontongnya.”

Gue mengambil beberapa potongan lontong yang ada di piringnya lalu gue pindahkan ke piring gue. Setelah habis makanan kami, kami langsung siap-siap lagi menuju destinasi permintaannya, yaitu Kebun Raya Bogor.

Sesaat sampai di sana, Jeno langsung menarik tangan gue ke barisan sepeda yang terlihat. “Gimana caranya sewa sepeda? Aku mau!”

Gue menghampiri stand penyewaan sepeda dan skuter, setelah bayar dan meninggalkan identitas diri, gue dan Jeno keliling Kebun Raya menggunakan sepeda.

“Aku kayaknya udah lama gak ke sini.” Gue membunyikan krincing asal.

“Kamu kan tinggal di Bogor, masa jarang?”

“Terakhir tuh waktu nganterin si Ibun senam, tapi aku nggak masuk juga. Males aja.”

Jeno mendekatkan jarak sepedanya dengan gue. “Kalau sekarang? Masih males?”

“Kalau sekarang gak boleh males,”

“Kan udah janji mau temenin kamu ke mana pun.”

Jeno terkekeh lalu menggoes sepedanya cepat. “Kenapa aku ditinggal?!”

Yang dipanggil malah makin menjauh. Katanya, “Suruh siapa bikin maluuuu!” Seru Jeno ketika gue menyusulnya.

Waktu selalu berjalan lebih cepat ketika gue bersamanya. Karena capek gowes sepeda kesana kesini nggak ada henti, kami memutuskan untuk berhenti dan duduk di lapang rumput yang luas.

Karena tidak direncanakan, kami mengenakan kemeja untuk dijadikan sebagai alas duduk. Biasanya orang-orang piknik di sini, mungkin lain kali gue akan mengajaknya.

Gue melebarkan kemeja di rumput. “Sok kamu duduk,”

“Terus kamu di mana?”

“Kamu aja dulu.”

Jeno duduk di atas kemeja yang barusan gue gelar di atas rumput. Sewaktu ia duduk, gue merebahkan diri di atas rumput, lalu menjadikan paha Jeno sebagai bantalan kepala. “Oh… gantian ceritanya?” Tanyanya.

Gue terkekeh sambil mengangguk, “Iya dong, sekarang giliran aku yang boboan di paha kamu.”

Pemandangan yang gue dapat kali ini, sungguh gila. Kalaupun bisa diuangkan, sepertinya gue akan menjadi manusia paling banyak utang demi pemandangan ini. Dari sini, wajah Jeno terlihat seratus kali lebih indah. Cantiknya. Tampannya. Ditambah langit dan rimbunan pohon yang melengkapi. Sumpah, pesona dia jadi berkali-kali lipat luar biasa.

Bahkan kekayaan pohon dan tanaman yang sekarang ada di depan mata gue pun, kalah menariknya dengan seorang lelaki yang sekarang sedang menengadahkan kepalanya ke atas. Matanya ia tutup, senyumnya mengatup.

Dan jantung gue seakan meletup bagai berondong jagung.

Jeno masih sibuk merasakan euforia yang ia rindukan sewaktu gue memelintir tiket masuk tadi menjadi seperti lidi, lalu gue kaitkan ujung satunya dengan ujung yang lain, membentuk cincin yang dibuat dari kertas.

Gue bangun, lalu duduk menghadapnya. Manik kita saling tatap, lalu gue raih jarinya untuk gue pasangkan cincin alakadarnya pada jari manisnya.

“Apa?” Ucapnya sewaktu gue memasangkan cincin.

Ia pegang cincin yang sudah terpasang pada jarinya, “Cincin?”

Gue mangangguk, lalu untuk sentuhan akhir yang kelewat manis (faktor gue sering dipaksa Adis ikut nonton film romantis) gue kecup punggung tangannya.

Bukan eropa dan segalanya yang romantis, bukan Romeo dan Juliet apalagi Layla dan Majnun. Bukan kisah cinta remaja yang hujan-hujanan di motor.

Hanya Bogor. Hanya dua lelaki di bawah pohon rindang, di hamparan rumput yang luas, ditemani burung yang berkicau, dan waktu yang selalu terasa lambat karena gue terpaku pada tawanya. Karena gue terpukau akan parasnya. Karena waktu seakan berhenti, ketika puncak bibir kami bersatu.

Karena dunia ini milik kami.

Dan gue gak akan mengizinkan siapapun untuk menghuni.

Selain Ejen.

Selain kami.

“Hiyu… lucu banget.”

Dan gue, tidak akan muak. Mau sebanyak apapun dia meronta ketika gue rengkuh, memanggil gue dengan nada manja, bergayut pada lengan gue, atau tiba-tiba menjadi manusia paling haus afeksi dan afirmasi, gue tidak akan muak.

Selagi itu Ejen, selagi itu adalah dia yang memperlihatkan sisinya yang paling manis, gue gak masalah.

Kaki kami saling timpa satu sama lain. Pandangan kami saling kunci satu sama lain. Dan hati kami, “Ejen,”

“Hiyu.”

Gue merapikan tatanan poninya yang berantakan. “Hiyu sayang Ejen.”

Tangan gue diraih, lalu digenggam oleh tangannya yang terpasang cincin kertas tadi. “Ejen…”

Hati kami一

“Ejen juga,”

Hati kami juga...

“Ejen juga sayang Hiyu.”

… saling mengunci.

Memang, tidak ada kalimat yang menyatakan kami resmi dalam status yang sama sekarang. Namun gue percaya, hati kami yang mengunci dan anggukan dia ketika gue yakinkan satu kali lagi sewaktu di mobil一hendak pulang ke rumah, adalah tanda bahwa kami akan berjalan di jalan yang sama.

Dan kecupan gue, tidak lagi menjadi singkat. Kecupan gue, menjadi intens ketika tangannya menjamah dada. Ketika tangan yang satunya dibawa turun untuk menyentuh, mengelus kepunyaan gue secara sensual, kecupan kami menjadi lumatan panjang.

Tapi sayang, itu semua harus tertunda karena kami belum tiba di rumah. Dan itu semua tertangguh, karena kami masih berada di parkiran Kebun Raya.

Dan jika setibanya di rumah nanti Jeno tiba-tiba berubah pikiran, enggan melakukannya atau belum siap, gue sama sekali nggak masalah.

Karena gue cinta padanya bukan atas ingin tidur dengannya dan mencicipi bagian tubuhnya, bukan juga sebatas penggemar pada idolanya.

Karena ketika tangannya tidak melepas genggaman gue一bahkan ketika gue menyetir, gue sadar; bahwa detakan jantung yang cepat ini bukan karena si penggemar bertemu si idola.

Namun karena gue telah menemukan Jeno.

Jeno yang berhasil membuka pintu.

Dan hati gue yang dengan senang hati mempersilahkan masuk.

part selanjutnya jorok. heavy sexual content. please do skip this if you're uncomfortable. basically porn!! (with feelings) strictly no minors. 🔞


“Aku-”

Ah!” Jeno terangah ketika Donghyuck terlalu keras memperlakukan lehernya.

“Maaf, Ejen sayang. Sakit, ya? Di mana?”

Yang ditanya menggeleng lemah. Lehernya sudah penuh tanda, tangannya menahan bahu yang lebih tua untuk berhenti sebentar. Sepertinya ada yang mau dikatakan.

“Aku bawa kondom sama lubrikan.”

Donghyuck terperangah mendengarnya. Ia hendak tertawa, namun ditahan karena paras yang lebih muda sungguh menggemaskan menahan malu.

“Jangan ketawain aku…”

Jeno menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Donghyuck, “Jaga-jaga aja tau…” Ucapnya.

Namun bukanlah Donghyuck jika tidak usil. Bukanlah Donghyuck jika tidak penuh goda. “Jaga-jaga atau udah planning?”

“Jaga-jaga… tapi kalo kamu nggak mau gak apa.”

Donghyuck menarik badan Jeno agar lebih dekat, jarak mereka makin erat. “Mau.” Katanya.

Kening Jeno ia beri kecup singkat. “Mau.”

Kiss you once 'cause I know you had a long night.

Lalu turun pada pipi kanan dan kirinya. “Mau, Ejen sayang.”

Kiss you twice 'cause It's gonna be alright.

Ranum merahnya ia tempatkan terakhir, sembari mengelus pipi merona yang lebih muda. “Asal kamu yang minta.”

Three times 'cause you waited your whole life.

Jeno mengangguk pasrah, lumatan yang sempat ditangguhkan itu makin menjadi-jadi setelah Jeno membisikkan, “Please, please do me.

Dan Donghyuck bukanlah lelaki yang suka merelakan kesempatan.

Maka dengan itu, ia bangun dan menggendong Jeno, masih dengan tautan yang tidak terlepas. Lalu merebahkan yang tersayang ke kasur.

Jeno melepas sendiri kaos yang dikenakannya, lalu ia rentangkan tangan Donghyuck ke atas untuk melepas kaos lelaki itu. Donghyuck sekonyong-konyong diam ketika Jeno senantiasa melepas celana dan dalamannya sendiri.

Dan pandangannya kali ini, lebih indah dari yang di Kebun Raya tadi.

Donghyuck merunduk, meraba dan mencium perut Jeno. “Kamu sering olahraga?” Tanyanya.

Jeno mengangguk. Tangannya ia bawa untuk meremas rambut Donghyuck.

“Badan kamu bagus.”

Usap lagi. Raba lagi. Jilat lagi.

“Indah, Ejen. Kamu indah.”

Beri tanda lagi. Cium lagi.

Ketika ciuman Donghyuck sampai pada kedua puting Jeno, geraman-geraman mulai datang seraya bagian bawah mereka bergesekan.

Yang satu keras, yang satu terus maju-mundur cari friksi.

Atmosfir ruangan ini makin panas ketika Jeno bangun, hendak membuka kaitan sabuk Donghyuck. Tangannya terburu-buru, Donghyuck memperhatikannya dengan lamat. Jeno yang biasanya tenang, Jeno yang ia kenal dengan tingkahnya yang pelan, yang hadir kali ini adalah Jeno yang haus.

Jeno yang makin haus akan afeksi, Jeno yang selalu haus akan elusan, dan sekarang, ia seakan berada di level paling tinggi dari haus. Karena Jeno yang dilihatnya sekarang, sudah nggak tahan untuk digagahi. Nggak tahan untuk dimasuki.

Nggak tahan diberi aksi.

Aksi yang akan membuatnya terbang tinggi. Melayang, lalu terbang. Dan ketika sabuk itu terbuka, semua kemungkinan di otak Donghyuck itu seperti nyata.

Jeno yang nggak tahan lagi.

Dalaman Donghyuck dilepas sendiri olehnya, Jeno kembali membaringkan tubuhnya di kasur.

Donghyuck merunduk, beri cium lagi pada Jeno yang kali ini polanya makin berantakan. Makin nggak beraturan. Apa yang ia lihat, ia jilat. Apa yang ia tangkap, ia kecup. Lalu ketika bagian bawah mereka bergesekan tanpa helaian benang, desahan yang muda makin membuat yang tua resah.

Resah, ingin segera sampai.

Resah, karena tidak mau berhenti.

Jeno terus meraba tangan Donghyuck ketika ia menjilati putingnya. Geraman yang ia keluarkan, ditanggapi oleh lidah yang lebih tua untuk dibalas.

Dibalas lewat lidah.

Dibalas dengan lidah mereka yang menari-nari di dalam rongga yang lebih muda. Dan pukulan di dada Donghyuck menandakan bahwa oksigen yang Jeno hirup makin sempit. Harus dilepas. Namun nafsu Donghyuck, sudah kelewat batas.

Ia memainkan penis Jeno, diraba dengan jempolnya sembari terus memandang wajahnya. “Please,” Rintih yang lebih muda.

“Jangan dikocok, nanti aku keluar.”

Dan Donghyuck menuruti perkataannya.

Namun bukanlah Donghyuck jika ia tidak rakus, bukan?

Donghyuck bangun, mengambil backpack Jeno yang ditaruh di sofa dekat pintu kamarnya. “Ejen sayang, maaf aku buka tasnya.” Meskipun rakus, meskipun Donghyuck serakah, ia selalu melakukan pesan yang Ibun sampaikan; selalu minta izin jika menyangkut kepunyaan orang.

Buktinya adalah, ketika pengaman itu telah terpasang, ketika ia mengoleskan pelumas pada penisnya sendiri, ketika ia hendak memasukkan jarinya pada lubang kasihnya itu, ia masih tetap meminta izin. “Ejen sayang, boleh lubangnya aku masukin jari?”

Dan ketika yang lebih muda mengangguk lemah, mengizinkannya walau sembari mengeluarkan lenguhan, Donghyuck masih tetap menjadi anak baik kesayangan Ibun. “Maaf, Ejen sayang. Sakit, ya? Udahan mau? Maaf, maaf, maaf.” Donghyuck mengecup punggung tangannya berkali-kali.

Jarinya ia keluarkan lagi ketika Jeno mengerutkan alisnya. Maksud yang Donghyuck tangkap adalah Jeno tidak nyaman, namun yang Jeno rasakan adalah ini sungguh nikmat. Bagaimana pelannya jari Donghyuck masuk, bagaimana jari itu membuat gerakan guntingan yang terasa sangat nyaman, bagaimana Donghyuck memperlakukan dirinya seperti sebuah kapas.

Karena level haus yang tinggi, maka Jeno masukkan kembali jari Donghyuck pada lubangnya, menyuruh yang lebih tua untuk melakukannya lagi.

Karena menurut Jeno, ini nikmat.

Karena ia menginginkannya lagi.

Maka ketika dirasa cukup, ketika ia merasa siap, dengkulnya ia gerakkan sampai mengenai penis Donghyuck. “Udah,” lenguhnya.

“Udah boleh diganti jarinya.”

Donghyuck akan selalu menjadi anak baik Ibun, walau pada hal seperti ini pun, “Aku boleh masuk?”

Anggukan dari Jeno membuat nafsu Donghyuck ikut meninggi. Penisnya sudah keras walau daritadi yang ia lakukan cuman menstimulasi kasihnya. Meskipun begitu, hanya dengan mendengar lenguhannya, melihat ia lemas di bawahnya sudah cukup baginya.

Sudah cukup untuk membuat keras.

Untuk siap.

Ah! Hiyu, sebentar一”

Donghyuck akan selalu menuruti apapun perintah Jeno. “Kenapa, Ejen sayang? Nggak nyaman, ya? Mau berhenti?”

Ngh… nggak, bukan. Cuman kamu tuh一”

Donghyuck akan selalu menjadi rakus. Ia hentakan lagi penisnya, lalu meraih bibir Jeno untuk dikecup. “Besar. Kamu一ah!

“Hiyu, punyamu besar. Tolong pelan-pelan.” Donghyuck menyeringai kecil ketika Jeno mengeluhkan bahwa kepunyaannya besar, entah bangga karena besar atau bangga karena bisa membuat Jeno enak.

Atau mungkin keduanya.

Donghyuck berhenti memasukkannya lebih dalam, lalu diam sebentar sampai sekiranya Jeno sudah siap lagi. “Kalau udah enak, bilang, ya.” lalu ia kecup berkali-kali bagian wajah yang bisa ia tangkap.

Jeno meringis, walaupun preparation tadi sudah cukup, namun ketika Donghyuck bergerak, perihnya datang lagi.

“Gerak, Hiyu.”

Maka Donghyuck menggerakan lagi penisnya, melebarkan kaki Jeno, membuat si manis makin mengangkang, lalu memasukkan penisnya lebih dalam.

Kaki Jeno mengerat pada punggung Donghyuck, kedua tangannya bersimpuh pada bahu Donghyuck.

“Ejen sayang一”

“Tolong panggil aku Kak Donghyuck.”

Jeno melihat peluh di wajah Donghyuck. Matanya teduh, namun makin sayu disiram nafsu. Dengan bibir yang terbuka, ia turuti kemauan Donghyuck. “Kak Donghyuck,”

Ah!

Jeno merasa nikmat setelahnya. Genjotan Donghyuck makin cepat, makin dalam, makin keras. Ia juga menghantam titik yang tepat一titik yang nikmat sampai Jeno mendongakkan lehernya.

Eksaltasi yang dirasakan ketika semua perih berubah menjadi nikmat membuat Jeno terus menggoda Donghyuck.

Karena entah, Jeno suka melihat Donghyuck memperlihatkan aura dominannya ketika seperti ini. Jeno suka melihat Donghyuck mengeram ketika ia sengaja menyempitkan lubangnya.

Karena Jeno menjadi makin dekat.

“Lagi, Kak Donghyuck.”

“Ejen sayang,”

Lagi. Dorong lagi.

“Kamu,”

Gerak. Makin dekat.

“Cantik. Fuck! Ah! Bentar lagi.”

Jeno ikut memainkan penisnya sendiri ketika Donghyuck mempercepat gerakannya. Ketika Donghyuck melihat itu, ia mengambil alih dan mengocoknya hingga lelaki yang lebih muda meneriakkan namanya lagi.

“Kak Donghyuck, I'm gonna,

Jepitan di bawah sana semakin kencang. Penis Donghyuck bagai diurut oleh lubang Jeno yang ketat ketika bergerak.

Mata Jeno berair, Donghyuck buru-buru menghapus bulirannya sebelum makin turun dengan kecupan di kedua matanya. “Keluarin, Ejen sayang.”

Ah… Kak Donghyuck…” Ia terisak. Saking enaknya, saking nikmatnya tadi, dan saking gentle nya perlakuan Donghyuck, Jeno ngerasa overwhelmed.

Keduanya diam merasakan pelepasan bersama. Tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya terdengar deru napas satu sama lain. Donghyuck mengeluarkan penisnya dari lubang Jeno, membuang kondom pada tempat sampah di bawah nakas, lalu merebahkan badannya di samping Jeno. Ia tersenyum kecil, sadar bahwa ia baru saja melakukan hal yang baru pertama kali. Sadar bahwa ternyata tontonan porno yang Nana kasih cukup bermanfaat. Sadar bahwa ia melakukannya pertama kali dengan Jeno.

Thank you,” Dalam deru napas yang berantakan, Jeno memiringkan badannya, lalu mengelus pipi Donghyuck.

Donghyuck memegang tangan Jeno yang sedang mengelus pipinya. “For what?

Jeno menghapus jarak mereka, ia meringkuk pada dada Donghyuck. “Showing me what heaven feels like.

Lalu Jeno, Donghyuck hujani kecupan. “Punya Hiyu.” Di bagian mana pun.

Jeno, naik ke kepala Donghyuck, lalu balas kecup di bibirnya. “Ejen punya Hiyu.”

Ejen punya Hiyu.

Selamanya.