The End of Us.
POV: Jeno.
cw tw // cheating
Badai adalah hal yang paling aku takuti.
Bentuk badai yang aku alami kala itu adalah sepi yang menusuk relung hati. Aku mulai kesusahan hidup sendiri di negeri orang, aku mulai merindukan Ayah. Merindukan Mbak Yer dan Mark. Merindukan Amora. Merindukan Hiyu. Merindukan didekap hangat olehnya.
Sudah berhari-hari aku kesusahan tidur di malam hari. Paling lama aku tidak tidur mencapai 50 jam, dan keesokannya hanya tidur selama 4 jam. Aku butuh tidur. Butuh istirahat. Namun pikiran menolak.
Entah dari mana, tidak seperti biasanya, aku mulai kesusahan sendiri.
Padahal aku selalu suka sepi, suka melakukan segalanya dengan tenang. Suka suasana damai dan tidak ribut.
Aku rindu Hiyu. Aku rindu ketika tangannya nggak melepas tanganku, aku rindu tatapan matanya, aku rindu menyentuhnya, aku rindu gurauan konyolnya, aku merindukan segalanya dari Hiyu.
Namun aku adalah seorang pengecut.
Terlalu kewalahan dengan segala rintangan di negeri orang, sampai-sampai, sewaktu aku bertemu teman lama, aku langsung berhambur pada pelukannya.
Lalu jatuh pada lubang yang tak seharusnya ia pijak.
Aku mengkhianatinya yang jauh di sana dengan berbuat sesuatu yang seharusnya nggak pernah terjadi.
Aku adalah manusia paling pengecut di dunia ini karena selalu merasa sulit untuk jujur dan lebih memilih diam.
Aku adalah manusia paling brengsek karena mengkhianati orang baik yang selalu memprioritaskan diriku.
Aku adalah orang paling tidak bersyukur.
Kala itu, aku hendak membeli suplemen tidur di apotik dekat kampus. Area bawah mataku sudah mulai menghitam. Namun, tanpa sengaja, aku bertabrakkan dengannya ketika ia membeli obat flu di apotik sekitar kampus.
Doyoung.
Aku berpapasan dengannya, namun karena aku memakai kacamata hitam dan masker, sepertinya dia tidak mengenali.
Ia menepuk pundakku. “Excuse me, I'm new here so I don't know much about European meds, if you don't mind, would you help me to find the best one? I have to meet my friend tomorrow and I'm affraid that I will pass this cold to him.“
Aku tersenyum lalu melepas kacamataku. Ia mengernyitkan kedua alisnya. Lalu ketika aku melepas masker, kedua telapaknya menutup mulutnya yang terbuka lebar.
“What are YOU doing here…?!” Katanya tak percaya, sedetik selanjutnya ia berhambur pada pelukanku setelah aku mengedikkan bahu.
Aku bergumam dalam peluknya. “What do you mean by 'What are YOU doing here'? Didn't I've told you about London?“
Ia masih tertawa dan belum melepas pelukanku. Punggungku ia usap lalu rambutku jadi sasaran berikutnya.
“Uhm… sorry to interrupt you, but you said that you have to meet your friend tomorrow? And you just hug me… high chance that you pass your cold to me, sir.“
Doyoung langsung melepas pelukannya, ia mundur beberapa langkah sambil kedua tangannya mengudara seperti sedang ditodong pistol. “Refleks…”
“Temen yang aku maksud tadi itu kamu, Jeno. Cuman aku tiba-tiba flu, kayaknya sih kaget karena di sini dingin banget. Eh malah ketemu duluan, mana pas banget lagi.”
Aku bergumam lalu menepuk kecil pundaknya karena ini sangat tiba-tiba. Dibilang takdir pun, rasanya cukup benar. Karena aku senang, akhirnya ada yang bisa mengajakku bicara tanpa mengangkat topik materi kuliah.
Singkat cerita, setelah beberapa bulan aku tinggal di sini, aku belum juga mendapat teman yang bisa dijadikan sahabat. Rata-rata dari mereka sangat individualis, berbincang hanya untuk kepentingan mata kuliah semata.
Lebih dari itu, belum ada yang melihatku sebagai seorang sahabat. Padahal aku selalu berusaha yang terbaik untuk berteman dengan mereka. Seperti mengajak makan, beli kopi di pagi dan sore hari, atahu sekadar keliling kota dengan bus.
Sebenarnya, anak dari teman Ayah cukup baik. Kami sesekali pergi makan di restoran Indonesia yang buka di ujung kota, lalu bertukar cerita mengenai culture-shock dan lain hal. Hanya saja, Yangyang (anak teman Ayah) kuliah di daerah Elm Park, sedangkan aku di South Kensington yang menyebabkan kami jarang bertemu.
Kejutan Doyoung akan kedatangannya membuatku senang juga lelah dalam satu waktu. Senang karena ada yang menemaniku di sini, mengajak ngobrol, bertukar cerita, jalan-jalan ke tempat yang belum pernah aku datangi karena aku terlalu sibuk kuliah. Lelah karena sisa waktuku untuk istirahat dipakai oleh bepergian ke destinasi yang sudah Doyoung siapkan. Namun aku menyukainya, aku tidak lagi merasa sepi setelah kedatangannya.
Suatu hari, kira-kira sudah seminggu ia di sini, kami sedang melahap es krim saat itu, aku bertanya padanya, “Kamu gak ada jadwal emangnya?”
“Ada. Waktu kamu kuliah, aku ketemu sama temennya Johnny, dia punya record label dan rencananya aku mau kontrak dengan label ini.” Ia menjawab sembari melahap es krimnya.
Aku menatapnya dari samping. “Serius? Kok Bang Jo gak kasih tahu aku?”
“Mungkin dia ngira kamu mau fokus kuliah dulu? Oh, bukannya kamu juga masih ada upcoming project ya, nanti?” Tanya Doyoung.
Aku membuang tisu yang melapisi cone es krim pada tempat sampah di samping bangku tempat kami memakan es krim. “Hm… iya juga sih. Tapi itu masih lama.”
“Kalau mau, ikut aja. Nanti kita ngobrol di sana. Aku juga masih santai, belum yang serius banget karena rencana tur masih lama.”
“Rencana tur?”
Ia mengangguk, melahap es krim terakhirnya lalu membuang cup itu pada tempat sampah tadi. “World tour.” Lalu mengusap es krim yang tertinggal pada sudut bibirnya menggunakan jari telunjuknya.
“SERIUS?” Tanyaku enggan percaya.
“Iya, planning-nya London jadi kota pertama di Europe.”
Aku tercengang lalu tertawa setelahnya. Ia ikut beri kekehan karena aku tak kunjung berhenti menepuk pundaknya. “Kereeeeeren!” Seruku. masih dengan menepuk pundaknya karena terkesima akan fakta bahwa ia akan mengadakan tur dunia.
Beberapa hari setelahnya, kami makin dekat.
Doyoung aku ajak untuk menetap di tempatku, tentu dengan persetujuan yang memiliki gedung karena ada peraturan aku harus izin lebih dulu jika ada yang hendak menginap untuk berhari-hari.
Aku makin nyaman karena ada Doyoung, hari beratku menjadi ringan karena setiap pulang kelas, aku akan menceritakan langsung padanya sembari tangannya merengkuh tanganku.
Ia selalu antusias mendengar cerita tentang mata kuliah yang aku pelajari setiap harinya, pengalaman atau kejadian yang terjadi pada hari itu, selalu kami ceritakan dan bahas sebelum tidur.
Tempat tinggalku di sini memang lebih kecil dari apartemen yang aku tinggali di Jakarta. Namun, penempatan sofa serta dapur kecil yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga ruangan ini mengundang kesan nyaman tidak membosankan.
Dan kesalahanku, ternyata dimulai sejak aku tidak jujur pada Hiyu ketika pertama kali Doyoung hadir di sini.
Memang, Doyoung tidak serta-merta mengunjungiku. Ia mempunyai urusan lain dan rencananya yang lain adalah liburan untuk beberapa waktu sebelum tur dimulai.
Awalnya, aku kira aku nggak perlu memberi tahu Hiyu soal Doyoung, toh ia hanya sekadar teman? Kami nggak melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh seorang teman.
Namun ternyata aku terlalu percaya pada diriku dan dirinya.
Waktu itu, kami mabuk.
Tidak, tidak ada yang terjadi ketika kami mabuk.
Kami hanya rindu rasanya, adrenalin yang menjalar di sekujur tubuh kami, serta hendak melupakan sulitnya persoalan kami masing-masing.
Sebelum kami memutuskan untuk minum, hari sebelumnya adalah waktu terakhir pengumpulan tugas.
Aku sudah mengumpulkan lebih awal satu hari sebelum tenggat, namun ada beberapa hal yang membuat tugasku tidak diterima oleh dosen.
Beliau bilang, tugasku cukup mirip dengan tugas temanku yang mengumpulkan lebih dulu. Namun sungguh, aku tidak pernah mendengar sampel musik mahasiswa lain.
Bukan bermaksud buruk sangka, tapi aku teringat dengan beberapa hari yang lalu, temanku bertanya tugas musikku sudah sampai mana. Aku katakan bahwa aku sudah sampai tahap final, tinggal kirim saja. Namun, aku belum sempat karena waktu selanjutnya ada kuis.
Temanku meminta untuk mendengarkan sampel musik yang telah ku buat, tetapi ketika aku menyerahkan sebelah earbuds, ia menolaknya, ia malah meminta untuk aku putar saja lewat ponsel. Nggak perlu pakai earbuds.
Aku tidak mau berburuk sangka, namun samar aku melihat, layar ponselnya menunjukkan bahwa ia sedang merekam suara.
Karena masalah itu, aku diperintahkan untuk membuat tugas baru. Ini pun, karena negosiasi yang telah ku lakukan, karena jika tidak bernegosiasi, pertaruhannya nilai dan aku harus mengulang.
Dosen ku memerintahkan untuk membuat sampel musik baru dengan durasi yang lebih lama. Beruntung ada Doyoung di sini, aku meminta bantuannya, dan syukurlah, berkatnya dan kenalannya di sini, aku bisa menyelesaikan sampel kurang dari 24 jam.
Ketika aku baru pulang kuliah dan baru saja sampai di tempatku, Doyoung sudah minum lebih dulu. Aku menaruh tas, menggantung jaket, melepas sepatu lalu bergabung dengannya di meja makan kecil.
Saat Doyoung melihatku, ia langsung menuangkan minumannya pada gelas yang tersedia di meja makan. Aku tidak punya gelas khusus untuk minum by the way, dia menuangkannya pada mug yang biasa dipakai untuk buat coklat panas.
Mungkin, aku akan membelinya nanti.
Doyoung meneguk sisa terakhir di gelasnya. “Tadi aku ngobrol sama orang label, katanya mereka bakal seneng kalo kau mau mampir ke sana.”
Aku menatap matanya yang mulai menuangkan minumannya lagi. “Wah? Serius?”
Ia bawa punggungnya untuk menyender pada bangku, tangannya meneguk minumannya lagi. “Kalau kamu mau, nanti kita ke sana.”
Aku tersenyum. Doyoung menuangkan minuman itu lagi pada gelasku. Teguk. Telan habis. Tuang lagi. Teguk lagi. Lalu dituang sampai tak ada sisa.
Ia bangkit dari meja makan, lalu pindah untuk duduk di sofa yang berada di tengah ruangan. Tangannya melebar, mengajakku untuk bergabung di sana.
Aku mengikuti kemauannya.
Aku mengikuti arah yang ia tunjuk.
Ia bawa pundakku untuk menyender di bahunya, ia mengelus lembut lenganku lalu merengkuh tubuhku dengan gemas.
Aku terlarut akan sentuhannya. Kami menertawakan yang tidak berarti untuk diberi tawa. Ia duduk menghadapku, menyilangkan kakinya di sofa, lalu memajukan wajahnya sampai dekat sekali dengan hidungku.
Doyoung menyatuhkan dahi kami, tangan Doyoung bergerak mengusap halus pipi kananku. Aku memejamkan mata, menikmatinya. Hidung kami bersentuhan, ia memajukan wajahnya sembari pasang senyum sumringah. “Cantik.”
Seakan sadar akan sepatah kata yang ia keluarkan, aku menolehkan kepala. Menjauh dari pandangannya, membuat tangannya lepas dari pipiku.
Aku tiba-tiba terpikir oleh Hiyu.
Ini semua mulai salah.
Ini semua mulai mengarah pada arah yang tidak seharusnya aku ikuti.
Tidak ada sesuatu yang terjadi malam itu, baik aku maupun Doyoung, kami langsung diam canggung. Seingatku, aku langsung masuk kamar dan menguncinya. Ia tidur di sofa.
Namun keesokan harinya, aku bangun dengan kepalaku yang terasa sedikit berat. Dan Doyoung ada di sana, menyuap sebuah sup yang aku nggak tahu ia dapat darimana. Ia menuangkan sup dari panci kecil pada mangkuk, lalu menyajikannya di meja makan dan mengajakku makan.
Tidak ada yang berubah. Doyoung masih seperti awal dulu, menanyakan apakah tidurku nyenyak, apakah aku mengalami mimpi buruk, atau apakah kasurku nyaman.
Aku menjawabnya santai. Seperti biasanya.
Sampai pada satu waktu, ketika aku sedang membersihkan bekas makanan kami, sesuatu yang seharusnya tidak pernah kami lakukan, terjadi.
Saat itu Doyoung sedang mandi, aku menunggunya selesai seraya menyiapkan baju. Tadi, selagi makan, ia mengajakku untuk pergi ke label rekaman.
Oh, Ahenk juga bilang padaku akan mampir dekat-dekat ini karena dirinya sedang liburan ke sini untuk beberapa hari. Mengunjungi pamannya sekalian tentunya, karena ternyata, Yangyang adalah sepupunya Ahenk.
Dunia begitu sempit.
Ketika aku sedang memilih baju mana yang akan ku pakai, menjejerkannya pada kasur, Doyoung menampilkan setengah dirinya di pintu. “Jen, ada gunting?”
Handuknya masih bertengger di pinggangnya, aku meliriknya dari kasur, lalu bangun dan mengambil gunting di laci nakas. “Buat apa?”
Doyoung menerima gunting yang aku beri. “Poni kayaknya rada berantakan, mau rapihin sedikit.”
Aku menaikkan pundak. “Oke.” Lalu detik berikutnya, adalah detik di mana aku seharusnya mundur, membiarkan ia sibuk dengan halnya. Namun aku malah maju, menawarkannya bantuan untuk memotong poni. Yang tentu saja, lucu dan tidak berguna.
Aku bersamanya di kamar mandi. Di depan wastafel. Ia duduk sejajar dengan cermin, aku menggunting bagian bawah poninya seraya menanyakannya apakah cukup. Lalu ia mengarahkan tanganku, mengira-ngira akan sepanjang apa yang akan dipotong.
Doyoung menggelitik pinggangku, tangannya nggak bisa diam meski matanya dipejamkan. Aku merasa geli, aku hentikan sesi potong poni dan menaruh gunting di laci samping wastafel. Aku balas menggelitik Doyoung, kami malah saling jail dan melupakan rambutnya yang masih berantakan.
Nggak tahu bagaimana caranya, Doyoung memelukku dari belakang. Ia masih duduk di bangku, aku duduk dipangkuannya menghadap cermin. Ia arahkan tangannya ke poniku, lalu wajahku, turun lagi sampai bibirku.
Aku tidak bodoh untuk menyadari bagian bawah Doyoung yang hanya dilapisi handuk itu mulai mengeras.
Doyoung mainkan bibirku, lalu tangannya membuat wajahku menoleh padanya.
Doyoung mencium bibirku.
Aku diam. Tidak bergerak. Tidak menggubris.
Doyoung memutar badanku, sehingga posisiku menghadap ia sepenuhnya. Ia mengeratkan tangannya di pinggangku, lidahnya seakan meminta izin untuk masuk ke dalam mulutku.
Dan aku larut.
Selanjutnya kalian tahu apa yang terjadi. Kelanjutannya tidak akan aku ceritakan secara rinci. Kelanjutannya… aku mulai menikmatinya.
Aku mulai lupa bahwa aku telah memiliki seseorang.
Aku mulai lupa akan hati yang harus aku jaga.
Aku mulai lupa akan janji yang ku katakan padanya.
Aku mulai lupa akan Hiyu.
Aku melupakan Hiyu.
Setelah kami melakukannya, aku tertidur lagi dan begitupun Doyoung. Ketika bangun, Doyoung tidur menyamping menghadapku. Aku memperhatikan wajahnya yang tenang dalam tidur.
Bayangan tentang Hiyu mulai menghantui.
Rambut ikal Hiyu, wajahnya yang terlihat sangat polos ketika sedang tidur, ekspresi gemasnya ketika aku jauh dari jangkauannya karena setiap kami tidur bersama, ia selalu memelukku.
Atau bibirnya yang mengerucut ketika aku berhenti menciumnya.
Aku beranjak dari kasur, lalu segera mandi dan memakai pakaian setelahnya. Menyadari aku belum membuka ponsel hari ini, langsung ku raih ponselku yang masih berada di meja nakas samping kasur.
Rasa bersalah datang berhambur dengan rasa takut.
Hiyu cerita tentang bagaimana harinya berjalan. Katanya, ia dan teman-temannya hari ini mau mengunjungi panti. Hiyu juga cerita bahwa ia akan membangun cabang baru kafe katumbiri. Hiyu cerita banyak, Hiyu selalu mengabari apapun yang ia akan, sedang, dan telah lakukan. Hiyu selalu merespon dengan cepat walau aku membalasnya lambat.
Hiyu selalu mengutamakan, sedangkan aku selalu menyepelekan.
Aku membalasnya, lalu mengangkat teleponnya ketika sempat ragu untuk menggeser tombol merah.
Hiyu banyak ucap kata rindu. Hiyu bilang, “Bogor jadi makin dingin semenjak kamu pergi.”
Aku melihat orang berlalu lalang dari beranda kecil di samping ruang tengah. “Kok bisa gitu…”
“Ya karena mataharinya pindah ke London.” Tuhan. Tawa dan suara dalamnya makin mengiris hatiku.
Aku terkekeh pelan. Hatiku rasanya dihantam oleh batu, kanan-kiriku seakan ada yang meneriakkan Jahat! Kamu jahat, Jeno!
Hiyu bertanya lagi. “Suara kamu kenapa? Capek, ya?”
Aku berdehem pelan. “Tadi pagi…” aku diam beberapa detik untuk mencari alasan. “...abis virtual practice sama Kak Anggun.”
Aku berbohong.
Aku berbohong, lagi.
Tidak ada latihan hari ini.
Hiyu adalah orang dengan segudang ide yang akan buat kamu selalu senang. “Wah iya kah? Kapan-kapan kita virtual dinner mau? Atau virtual practice? Nanti kamu nyanyi aku yang bagian nari. Sounds fun, right?”
Aku mengangguk. Mataku melihat ke bawah bangunan. “Yeah…“
Waktu Telepon kita tidak lama, Hiyu bilang ia harus segera berangkat untuk bertemu orang konstruksi bersama teman-temannya. Hiyu pamit dengan memberiku sebuah kecupan yang aku yakin ia sampai mengecup layar ponselnya karena suaranya sangat jelas.
Aku tersenyum.
Lalu tersadar lagi.
Aku tidak bisa terus-terusan seperti ini.
Membohonginya, menipunya, bertingkah seolah aku hanya berteman saja dengan Doyoung.
Aku salah, jahat, dan tidak bertanggung jawab atas komitmen yang telah kami sepakati.
Aku tidak bisa memaksakan diri untuk terus merengkuhnya ketika aku telah melepaskannya tanpa ku sadari.
Aku terlalu egois. Aku ingin Hiyu terus di sisiku, mengabariku, melakukan yang ku mau, memberikan seluruh cintanya padaku, mempercayaiku, sabar akan tingkahku, juga memelukku erat padahal aku dipenuhi duri yang buatnya perih.
Aku harus melepaskannya.
Aku memang jahat. Jahat sekali. Tapi aku akan lebih jahat jika aku terus bersamanya.
Aku akan mengakhirinya besok.
Aku akan mengakhiri hubungan kami.
Namun takdir sepertinya berkata lain.
Waktu itu siang tidak turun hujan, tetapi pada malam hari, hujan besar mengguyur kota.
Sepulangnya dari kampus sore tadi, Doyoung mengajakku makan pizza di restoran yang jaraknya cukup jauh dari kampus. Aku memutuskan untuk pulang dulu, mengganti baju dengan pakaian yang lebih hangat.
Jalanan menuju tempat tinggalku melewati gang, dan sialnya, kala itu lampu yang menerangi gang padam. Jarang terjadi seperti ini.
Aku jalan menggunakan senter ponsel yang aku arahkan ke bawah jalan. Aku merasa diikuti, sepertinya di belakangku ada orang. Awalnya, ku pikir tetangga sebelahku karena beberapa kali kami pulang pada waktu yang sama.
Maka ku balikkan badanku, mengajaknya untuk jalan bersama. Namun karena jalanan gelap, penglihatanku hanya hitam disertai sinar dari ponsel. Ia merangkulku, merangkul sampai mencekik leherku. Aku otomatis memukul tangannya yang melingkar di leherku, lalu ia merebut ponselku yang menjadi pencahayaan satu-satunya.
Saat itu ponselku tidak dalam keadaan terkunci, aku melihat ia mematikan flashlight. Dan pada sedetik kemudian, ia hendak merebut tas ku. Aku menepisnya dan berteriak, “Who are you? What do you want?” Kendati ia terus menarik dan tangannya merogoh ke dalam tas yang masih berada di lenganku.
Aku memakai tote bag tanpa resleting, memudahkan dia untuk menjangkau segala yang di dalamnya. Salahku memang, tidak memakai tas yang lebih safety.
Aku mendorong pundaknya ke belakang, lalu dia menarik kerah leherku asal. Aku dibuat maju, lalu bisa ku rasakan ada yang memukul kepalaku dengan sesuatu yang keras. Aku tidak refleks melihat belakang, aku memegang belakang kepalaku dan berteriak lalu bertanya apa mau mereka.
Kondisinya, tas aku peluk erat. Aku tidak bisa melihat apa apa. Jantungku berdegup cepat. Ada jeda beberapa saat setelah aku berteriak, aku bisa mendengar deru napasku dan kekehan orang ini bersamaan.
Letak tepatnya aku nggak tahu.
Tetapi, ketika satu hingga beberapa pukulan yang aku rasakan pada samping kanan-kiri lenganku, yang mengakibatkan tanganku lemas dan eratan tasku melemah, orang misterius ini menyunggingkan senyum, sembari flashlight menyinari wajahnya dari bawah dagu.
“I'll give you two options…” Jarinya menari-nari di wajahku, tangan sebelahnya menekan daguku. Membuat aku mau tidak mau balas menatapnya.
Mulutnya bau alkohol.
Asumsi ku yakin, mereka adalah gerombolan gangster yang senang mencuri.
“Run now. Leave your things here. Or… I'll take out your organs and sell them to KFC.”
“KFC DON'T SELL HUMAN ORGANS!! GIVE THEM BACK THEIR THINGS YOU FUCKING IDIOT!!“
Tunggu.
Aku mengenal suara ini.
Si penjahat ini otomatis celingak-celinguk ke arah lain, mencari sumber suara yang baru saja ia dengar. Aku mundur beberapa langkah, namun belum memutuskan pergi karena tasku masih berada di sana.
“JENO? JENO KAN INI?” Sinar yang ku yakin dari flashlight ponsel itu mengarah ke wajahku. Aku tidak bisa melihat siapa yang baru saja memanggilku tadi, namun si penjahat tadi melayangkan tinju terakhir di pipi kananku, dan satu temannya menendang tanganku keras sebelum mereka pergi. Mereka membawa tasku, meninggalkan aku yang tidak berdaya di sini.
Aku jatuh terduduk. Kakiku lemas. Tanganku ngilu jika digerakkan. Orang yang memanggil namaku tadi menghampiriku, ikut jongkok lalu memegang pundakku.
“TADI SIAPA? LO KENAL?”
”...Ahenk?”
“Jen, astaga, sumpah! Gak papa? Sumpah lo… kacau banget!” Ahenk menangkup dua pipiku, menolehkan kepalaku ke kanan dan kiri seraya meringis pelan.
“Tolongin gue…”
“Iya! Pasti! Gue panik, sumpah! Awalnya dateng ke sini mau surprise-in lo tapi malah gue yang kena surprise! Anjir…!”
Aku menghela napas berat. Tangan Ahenk masih terus mengidentifikasi luka-luka di sekitar wajahku. “Bisa bantuin minggir gak… di tengah jalan gini kurang enak.”
“Oh! Iya deng! Kita masih di tengah jalan, ya!”
Ahenk membantuku berdiri, lalu duduk di tangga depan rumah orang. Aku meluruskan kakiku dan menyender pada pagar. “Duduk di sini sebentar, tadi sebelum ke sini Yangyang mau ke tempat pacarnya dulu. Nanti kita ke rumah sakit pake mobil pacarnya.”
“Yangyang? Kenapa lo duluan kalo akhirnya bareng?”
Ia mengedikkan bahu. “Kan surprise…?”
Aku mendecih, lalu terdiam lagi. Tasku hilang. Ponselku dibawa lari. Kakiku sakit. Tanganku sangat sulit digerakkan.
Tidak lama setelah kami duduk dan berbincang singkat, sinar dari cahaya mobil terlihat sangat terang. Ahenk langsung bangun dan menghampiri Yangyang. Ia memberitahunya apa yang baru saja terjadi, aku dibopong oleh mereka hingga ke dalam mobil.
Aku menjelaskan keseluruhan kronologi pada mereka. Kun, kekasih Yangyang itu ternyata punya beberapa kenalan yang pernah dirampas juga. Kun bilang, aku tidak perlu terlalu khawatir, selama di daerahku ada cctv yang terpasang, penjahat itu pasti ditangkap. Barang-barang mungkin hilang, tapi pihak yang berwajib pasti membantu.
Aku belum memikirkan sampai sana. Selama Kun menjelaskan, aku hanya diam menatap jalanan.
Apakah ini balasan dari mengkhianati Hiyu?
Apakah ini ganjaran yang aku terima?
Aku sampai di rumah sakit dan langsung dilarikan ke Emergency Room. Perawat-perawat menghampiriku, bertanya apa yang terjadi, apa yang dirasa dan bagian mana saja yang terasa sakit. Aku menjelaskan semuanya sejelas-jelasnya. Mereka membersihkan luka luarku, aku baru menyadari ternyata bibir serta hidungku mengeluarkan darah.
Ketika dokter datang, beliau memeriksaku lalu menginstruksikan perawat agar aku dilakukan pemeriksaan X-ray. Ahenk bersamaku di sini. Ia juga ikut mendengarkan.
Aku baru ingat janjiku dengan Doyoung.
Setelah dokter pamit, aku buru-buru minta tolong Ahenk untuk menghubungi Doyoung. Ia mengetik sesuatu cepat pada ponselnya, lalu memperlihatkan padaku.
Ahenk:
doy
jeno masuk rumah sakit
emergency
dirampok
kata jeno dia ga bisa makan pizza
lo pulang aja
pizzanya bungkus buat gw plis
(sebelum lo tanya, iya gw di london sekarang)
(makanya cek instastory gw)
“Lo kenal Doyoung? Kok punya nomornya?”
“Pernah garap bareng beberapa lagu dia. Gue sering ke tempatnya, doi juga sering ke studio kan?” Jawabnya.
Aku manggut-manggut lalu memjamkan mata. Mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Dirampok.
Ditodong.
Lalu dikejutkan oleh kedatangan Ahenk.
Lalu aku teringat Hiyu.
Lalu aku teringat aku mengkhianatinya.
Aku belum siap kehilangannya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana keseharianku nanti tanpa pesan dan panggilan Hiyu.
Tidak.
Aku tidak mau meninggalkannya.
Aku mau ia di sini. Merengkuhku di masa-masa sulit. Aku mau Hiyu memelukku. Aku mau tangannya bermain di kepalaku. Memainkan rambutku. Lalu membubuhkan kecup.
Aku mau Hiyu.
Dadaku sesak.
Aku tidak seharusnya terbawa suasana.
Aku benci perasaan campur aduk seperti ini.
Aku benci diriku sendiri.
Aku benci.
Sangat benci.
Lima hari berlalu, lengan kananku yang patah harus menggunakan gips untuk beberapa waktu ke depan. Ponsel dan dompet lamaku tidak selamat. Namun berkat bantuan Yangyang serta kekasihnya, juga Ahenk dan Doyoung, aku mendapatkan ponsel baru. Kartu-kartu penting beserta segala yang harus diurus, diringankan oleh bantuan Kun.
Aku bersyukur memiliki teman-teman yang tulus membantu.
Selama lima hari, aku sama sekali belum mengabari keluarga maupun Hiyu. Aku tidak memberi tahu Ayah kalau ponselku dirampas.
Ahenk sempat menanyakan tentang ini, awalnya ia hendak memberi tahu Mbak Yer serta Mark. Namun aku tolak karena takut mereka bereaksi berlebih. Aku tidak mau merepotkan dan mengganggu waktu mereka yang sedang dinikmati untuk melihat pertumbuhan Dedek.
Butuh beberapa rayuan untuk meyakinkan Ahenk agar tidak memberi tahu mereka. Seperti pizza, misalnya.
Begitulah.
Doyoung, aku juga memperingatinya. Aku bilang padanya, biar aku saja yang memberi tahu mereka nanti jika aku sudah mendapatkan ponsel baru. Doyoung juga sempat bertanya, mengapa aku tidak menggunakan gadget lain seperti iPad atau Laptop.
Aku menjawab, aku hanya… sepertinya butuh waktu.
Butuh waktu untuk siap, membuka aplikasi pesan lalu melihat banyaknya notifikasi dari Hiyu. Panggilan tak terjawab. Serta segala mention-nya di twitter. Hiyu suka mengirimi aku tweets lucu. Walau kadang, aku tidak menemukan letak lucunya di mana. Namun aku senang, karena itu berarti dirinya mengingatku. Karena berarti, Hiyu ingin aku tertawa.
Hiyu hanya ingin aku senang.
Namun aku… pecundang satu ini, malah menusukkan pisau dari belakang. Dan ia sadar… aku tahu Hiyu tahu jika ada pisau yang ku tancapkan. Alih-alih menjauh dan melepaskan, ia malah mengeratkan pelukan.
Dadaku sakit lagi.
Aku ingin menampar diriku sendiri.
Aku benci diriku.
Aku benci diriku, sungguh.
Setelah keluar dari rumah sakit, hari-harri hanya ku habiskan dengan istirahat. Aku sempat takut untuk keluar. Aku hanya diam di kamar.
Keesokan harinya, aku akhirnya mendapat ponsel baru yang syukurlah kontak bisa diselamatkan.
Sesuai perkiraan, ratusan pesan masuk dari Hiyu. Beberapa panggilan tak terjawab, panggilan video yang tidak terangkat, juga mention di twitter, DM instagram, atau di platform lain.
Aku menarik napas dalam.
Lalu mengembuskannya kasar.
Yang pertama aku lakukan adalah menjawab pesan Ayah. Aku bilang padanya bahwa aku baik-baik saja. Ada Yangyang, Doyoung, Ahenk, Kun, yang menemaniku. Aku juga bilang aku sehat. Aku baik-baik saja.
Tentu, bohong.
Yang kedua aku lakukan adalah membuka ruang pesan Hiyu.
Aku membacanya satu persatu.
Hatiku seperti disayat oleh belati, melihat dirinya yang selalu antusias jika sudah menyangkut kami. Hiyu cerita banyak. Mulai dari baking bersama adik-adik, restoran favoritnya tutup, menemukan restoran baru, atau mengajak Adis ke museum zoologi.
Mataku memanas. Aku ingin menangis.
Aku menekan tombol telepon, baru beberapa dengung sambungan telepon bunyi, aku sudah mendengar suaranya.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengangkat teleponku, namun butuh waktu lama bagiku untuk sekadar menghubungi atau membalas pesannya.
Ini tidak adil.
Hiyu tidak pantas mendapatkan ini.
Aku jahat.
“Ejen… Ya ampun akhirnya… aku sampe mikir kamu ikutan seleksi jadi asistennya Kate Middleton karena nggak bales-bales chat aku tahu nggak? Tapi untungnya sekarang kamu telepon aku. Itu artinya apa coba? Hayooo apaaaaaa?”
Aku disambut oleh antusiasnya yang menyenangkan.
Lengang.
Sambungan telepon kami lengang untuk beberapa saat.
Mataku memanas.
“Ejen sayang?”
Air mataku turun.
“Ganteng? Waduh pulsa aku abis apa, ya?”
“Artinya…” Aku menjaga suara agar tangisku tidak pecah.
“Apa coba artinya?” Ia bertanya lagi.
Aku masih diam. Menutup mulut dengan tanganku. Suara Hiyu dari speaker telepon sangat terasa nyata. Aku makin merindukannya. Aku makin merasa bersalah. Aku makin benci diriku.
“Artinya… kamu masih jadi pacarnya si Hiyu!” Katanya.
I can't hold it anymore.
My tears are falling down.
I betrayed you, Hiyu. I did something I shouldn't have done.
Aku terkekeh dan berkata iya. Hiyu lanjut menanyakan kabarku, aku menjawab baik-baik saja. Aku bohong lagi. Aku menipunya, lagi.
Percakapan kami mulai serius ketika ia menyinggung soal Ibun serta pernikahan. Hiyu cerita, ia dikenalkan Ibun oleh seorang wanita. Raya namanya. Aku menyimak dengan berat hati. Mengingat posisiku akan segera terganti. Namun itu yang terbaik untuknya.
Ia pantas mendapatkan seseorang yang akan mencintainya dan membagi porsi bahagianya. Ia pantas mendapat waktu suka yang tidak ia dapatkan selama bersamaku.
Satu tahun beberapa bulan, kami menjalani hubungan ini tanpa tahu arahnya ke mana. Aku sangat labil, namun ia begitu sabar.
Pada saat perayaan kami untuk tahun pertama menjadi sepasang kekasih, sepanjang hari aku mengerjakan tugas. Aku ingat. Aku ingat pada saat itu adalah hari yang cukup penting bagi kami. Hiyu mengirimkan aku sweater serta syal rajut beberapa hari sebelumnya.
Dalam box paket yang ia kirim, ia menuliskan, Aku belajar ngerajut sama nenek buat bikinin kamu syal. Nanti dipake ya, sayang. Aku lihat di berita cuaca London hampir minus derajat. Semangat dan jangan lupa makan enak. Aku bakal selalu jadi Hiyunya Ejen, Hiyu sayang Ejen.
Hatiku bagai dihantam palu.
Panggilan telepon selesai, aku merenung di beranda luar. Memikirkan tentang kami. Memikirkan tentang aku yang jahat dan Hiyu yang selalu sabar.
Tempatku saat itu kosong. Doyoung masih sibuk dengan label record, Ahenk menginap di tempat Yangyang.
Tidak baik jika aku terus menjalani ini ketika aku tahu apa yang telah aku lakukan padanya. Aku terus menyakitinya, dengan dan tanpa disadari. Aku akan terus membohonginya, memutar balikan fakta hingga ia percaya.
Jika hubungan kami berlanjut, aku akan menjadi toxic.
Menjadi egois.
Menjadi makin jahat.
Maka ku hentikan sekarang.
Aku ingin ia selalu menjadi anak baiknya Ibun. Aku ingin ia bahagia dengan orang tulus yang bisa membaginya suka dalam waktu lama. Aku ingin… ingin sekali ia dicintai sebanyak dirinya mencintai aku yang jahat ini.
Ini adalah pilihan sulit yang menyesakkan.
Ini adalah pilihan terbaik yang memilukan.
Aku mengetik pesan dengan satu tangan, tangan sebelahku masih di gips. Sembari air mata terus turun, dadaku terasa berat.
Sakit.
Sakit sekali ketika melihat bukan Ejen lagi yang ia sebut.
Sakit sekali ketika ia bilang jangan pernah lagi menghubunginya.
Sakit.
Hatiku sangat sakit.
Namun aku pantas mendapatkan ini.
Aku pantas tidak dihubungi lagi. Tidak dicintai lagi. Tidak dikasihi lagi.
Tepat setelah ia menyebutkan bahwa ia akan menungguku pulang.
Padahal baru saja tadi kami bertukar rindu. Padahal baru saja ia bilang ia sangat mencintaiku, padahal baru saja ia bilang, “aku nggak pernah khawatir soal jarak karena aku selalu percaya kamu.”
Aku duduk di lantai. Seluruh badanku sangat terasa lemas ketika sadar tidak ada lagi balasan darinya setelah aku membalas 'Donghyuck'.
Tangisku makin menjadi-jadi.
Mengingat waktu bahagia kami aku hancurkan dalam satu kalimat. Aku tidur sama Doyoung. Tidak butuh alasan lain. Tidak ada kalimat lain darinya. Tidak ada lagi yang bisa dimaklumi.
Aku ditinggalkan.
Aku harus ditinggalkan.
Namun namanya akan selalu ku ingat.
Akan selalu ku kenal.
Selalu ku kenang.
Sekarang, berbahagialah, Hiyu.
Karena ini cara terakhirku untuk menunjukan bahwa aku cinta kamu. Ini cara terbaik, supaya kamu tetap senang. Nantinya. Tentu. Bukan denganku.
Jujur Hiyu, jujur aku nggak mau berpisah. Tapi aku akan menjadi orang paling egois kalau itu terjadi. Tetapi nantinya… nantinya pun, semoga, kita akan saling melupakan. Kamu akan melanjutkan hidup, membesarkan anak yang lucu-lucu, juga membangun panti asuhan seperti yang kamu selalu ceritakan.
Dan aku,
aku akan tetap mencintai kamu.
Aku akan menyesali diri.
Sampai waktunya tiba,
sampai aku merasa aku sudah berbaikan dengan diriku sendiri.
Dan ketika waktu itu tiba,
aku harap aku bisa melihatmu lagi. Datang ke kafe yang baru kamu bangun, membawa pisang bolen sebagai cenderamata, atau sate padang untuk makan siang.
Untuk terakhir kali, jika aku boleh memohon satu permintaan darimu saat ini juga, aku ingin kamu bahagia. Seterusnya. Selamanya.
Berbahagialah, Donghyuck.
Berbahagialah…
…Hiyu.