Paper Rings.
POV: Donghyuck
Kalau waktu itu kami makan sate padang di malam hampir larut, hari ini kami makan lagi di siang yang terik.
Sate padang depan swalayan ini rasanya nggak pernah berubah, cocok dimakan di segala suasana dan cuaca. Gue dan keluarga juga udah langganan. Bisa catering juga kalo lo mau coba. Waktu nikahan sepupu, si amang ini juga dateng.
Sobat gitu lah, ceritanya mah.
Jeno melahap satu demi satu sate tanpa lontong. Sate padang memang sedikit tiap tusuknya, cuman ada tiga atau empat potongan kalau gue gak salah ngitung. Tapi di situ nikmatnya, makannya jadi praktis dan gak ribet.
“Lontongnya dimakan juga dong.”
Lontong di piringnya malah di kepinggirkan. “Sama kamu aja deh… ini aku udah banyak banget lontongnya.”
Gue mengambil beberapa potongan lontong yang ada di piringnya lalu gue pindahkan ke piring gue. Setelah habis makanan kami, kami langsung siap-siap lagi menuju destinasi permintaannya, yaitu Kebun Raya Bogor.
Sesaat sampai di sana, Jeno langsung menarik tangan gue ke barisan sepeda yang terlihat. “Gimana caranya sewa sepeda? Aku mau!”
Gue menghampiri stand penyewaan sepeda dan skuter, setelah bayar dan meninggalkan identitas diri, gue dan Jeno keliling Kebun Raya menggunakan sepeda.
“Aku kayaknya udah lama gak ke sini.” Gue membunyikan krincing asal.
“Kamu kan tinggal di Bogor, masa jarang?”
“Terakhir tuh waktu nganterin si Ibun senam, tapi aku nggak masuk juga. Males aja.”
Jeno mendekatkan jarak sepedanya dengan gue. “Kalau sekarang? Masih males?”
“Kalau sekarang gak boleh males,”
“Kan udah janji mau temenin kamu ke mana pun.”
Jeno terkekeh lalu menggoes sepedanya cepat. “Kenapa aku ditinggal?!”
Yang dipanggil malah makin menjauh. Katanya, “Suruh siapa bikin maluuuu!” Seru Jeno ketika gue menyusulnya.
Waktu selalu berjalan lebih cepat ketika gue bersamanya. Karena capek gowes sepeda kesana kesini nggak ada henti, kami memutuskan untuk berhenti dan duduk di lapang rumput yang luas.
Karena tidak direncanakan, kami mengenakan kemeja untuk dijadikan sebagai alas duduk. Biasanya orang-orang piknik di sini, mungkin lain kali gue akan mengajaknya.
Gue melebarkan kemeja di rumput. “Sok kamu duduk,”
“Terus kamu di mana?”
“Kamu aja dulu.”
Jeno duduk di atas kemeja yang barusan gue gelar di atas rumput. Sewaktu ia duduk, gue merebahkan diri di atas rumput, lalu menjadikan paha Jeno sebagai bantalan kepala. “Oh… gantian ceritanya?” Tanyanya.
Gue terkekeh sambil mengangguk, “Iya dong, sekarang giliran aku yang boboan di paha kamu.”
Pemandangan yang gue dapat kali ini, sungguh gila. Kalaupun bisa diuangkan, sepertinya gue akan menjadi manusia paling banyak utang demi pemandangan ini. Dari sini, wajah Jeno terlihat seratus kali lebih indah. Cantiknya. Tampannya. Ditambah langit dan rimbunan pohon yang melengkapi. Sumpah, pesona dia jadi berkali-kali lipat luar biasa.
Bahkan kekayaan pohon dan tanaman yang sekarang ada di depan mata gue pun, kalah menariknya dengan seorang lelaki yang sekarang sedang menengadahkan kepalanya ke atas. Matanya ia tutup, senyumnya mengatup.
Dan jantung gue seakan meletup bagai berondong jagung.
Jeno masih sibuk merasakan euforia yang ia rindukan sewaktu gue memelintir tiket masuk tadi menjadi seperti lidi, lalu gue kaitkan ujung satunya dengan ujung yang lain, membentuk cincin yang dibuat dari kertas.
Gue bangun, lalu duduk menghadapnya. Manik kita saling tatap, lalu gue raih jarinya untuk gue pasangkan cincin alakadarnya pada jari manisnya.
“Apa?” Ucapnya sewaktu gue memasangkan cincin.
Ia pegang cincin yang sudah terpasang pada jarinya, “Cincin?”
Gue mangangguk, lalu untuk sentuhan akhir yang kelewat manis (faktor gue sering dipaksa Adis ikut nonton film romantis) gue kecup punggung tangannya.
Bukan eropa dan segalanya yang romantis, bukan Romeo dan Juliet apalagi Layla dan Majnun. Bukan kisah cinta remaja yang hujan-hujanan di motor.
Hanya Bogor. Hanya dua lelaki di bawah pohon rindang, di hamparan rumput yang luas, ditemani burung yang berkicau, dan waktu yang selalu terasa lambat karena gue terpaku pada tawanya. Karena gue terpukau akan parasnya. Karena waktu seakan berhenti, ketika puncak bibir kami bersatu.
Karena dunia ini milik kami.
Dan gue gak akan mengizinkan siapapun untuk menghuni.
Selain Ejen.
Selain kami.
“Hiyu… lucu banget.”
Dan gue, tidak akan muak. Mau sebanyak apapun dia meronta ketika gue rengkuh, memanggil gue dengan nada manja, bergayut pada lengan gue, atau tiba-tiba menjadi manusia paling haus afeksi dan afirmasi, gue tidak akan muak.
Selagi itu Ejen, selagi itu adalah dia yang memperlihatkan sisinya yang paling manis, gue gak masalah.
Kaki kami saling timpa satu sama lain. Pandangan kami saling kunci satu sama lain. Dan hati kami, “Ejen,”
“Hiyu.”
Gue merapikan tatanan poninya yang berantakan. “Hiyu sayang Ejen.”
Tangan gue diraih, lalu digenggam oleh tangannya yang terpasang cincin kertas tadi. “Ejen…”
Hati kami一
“Ejen juga,”
Hati kami juga...
“Ejen juga sayang Hiyu.”
… saling mengunci.
Memang, tidak ada kalimat yang menyatakan kami resmi dalam status yang sama sekarang. Namun gue percaya, hati kami yang mengunci dan anggukan dia ketika gue yakinkan satu kali lagi sewaktu di mobil一hendak pulang ke rumah, adalah tanda bahwa kami akan berjalan di jalan yang sama.
Dan kecupan gue, tidak lagi menjadi singkat. Kecupan gue, menjadi intens ketika tangannya menjamah dada. Ketika tangan yang satunya dibawa turun untuk menyentuh, mengelus kepunyaan gue secara sensual, kecupan kami menjadi lumatan panjang.
Tapi sayang, itu semua harus tertunda karena kami belum tiba di rumah. Dan itu semua tertangguh, karena kami masih berada di parkiran Kebun Raya.
Dan jika setibanya di rumah nanti Jeno tiba-tiba berubah pikiran, enggan melakukannya atau belum siap, gue sama sekali nggak masalah.
Karena gue cinta padanya bukan atas ingin tidur dengannya dan mencicipi bagian tubuhnya, bukan juga sebatas penggemar pada idolanya.
Karena ketika tangannya tidak melepas genggaman gue一bahkan ketika gue menyetir, gue sadar; bahwa detakan jantung yang cepat ini bukan karena si penggemar bertemu si idola.
Namun karena gue telah menemukan Jeno.
Jeno yang berhasil membuka pintu.
Dan hati gue yang dengan senang hati mempersilahkan masuk.
part selanjutnya jorok. heavy sexual content. please do skip this if you're uncomfortable. basically porn!! (with feelings) strictly no minors. 🔞
“Aku-”
“Ah!” Jeno terangah ketika Donghyuck terlalu keras memperlakukan lehernya.
“Maaf, Ejen sayang. Sakit, ya? Di mana?”
Yang ditanya menggeleng lemah. Lehernya sudah penuh tanda, tangannya menahan bahu yang lebih tua untuk berhenti sebentar. Sepertinya ada yang mau dikatakan.
“Aku bawa kondom sama lubrikan.”
Donghyuck terperangah mendengarnya. Ia hendak tertawa, namun ditahan karena paras yang lebih muda sungguh menggemaskan menahan malu.
“Jangan ketawain aku…”
Jeno menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Donghyuck, “Jaga-jaga aja tau…” Ucapnya.
Namun bukanlah Donghyuck jika tidak usil. Bukanlah Donghyuck jika tidak penuh goda. “Jaga-jaga atau udah planning?”
“Jaga-jaga… tapi kalo kamu nggak mau gak apa.”
Donghyuck menarik badan Jeno agar lebih dekat, jarak mereka makin erat. “Mau.” Katanya.
Kening Jeno ia beri kecup singkat. “Mau.”
Kiss you once 'cause I know you had a long night.
Lalu turun pada pipi kanan dan kirinya. “Mau, Ejen sayang.”
Kiss you twice 'cause It's gonna be alright.
Ranum merahnya ia tempatkan terakhir, sembari mengelus pipi merona yang lebih muda. “Asal kamu yang minta.”
Three times 'cause you waited your whole life.
Jeno mengangguk pasrah, lumatan yang sempat ditangguhkan itu makin menjadi-jadi setelah Jeno membisikkan, “Please, please do me.“
Dan Donghyuck bukanlah lelaki yang suka merelakan kesempatan.
Maka dengan itu, ia bangun dan menggendong Jeno, masih dengan tautan yang tidak terlepas. Lalu merebahkan yang tersayang ke kasur.
Jeno melepas sendiri kaos yang dikenakannya, lalu ia rentangkan tangan Donghyuck ke atas untuk melepas kaos lelaki itu. Donghyuck sekonyong-konyong diam ketika Jeno senantiasa melepas celana dan dalamannya sendiri.
Dan pandangannya kali ini, lebih indah dari yang di Kebun Raya tadi.
Donghyuck merunduk, meraba dan mencium perut Jeno. “Kamu sering olahraga?” Tanyanya.
Jeno mengangguk. Tangannya ia bawa untuk meremas rambut Donghyuck.
“Badan kamu bagus.”
Usap lagi. Raba lagi. Jilat lagi.
“Indah, Ejen. Kamu indah.”
Beri tanda lagi. Cium lagi.
Ketika ciuman Donghyuck sampai pada kedua puting Jeno, geraman-geraman mulai datang seraya bagian bawah mereka bergesekan.
Yang satu keras, yang satu terus maju-mundur cari friksi.
Atmosfir ruangan ini makin panas ketika Jeno bangun, hendak membuka kaitan sabuk Donghyuck. Tangannya terburu-buru, Donghyuck memperhatikannya dengan lamat. Jeno yang biasanya tenang, Jeno yang ia kenal dengan tingkahnya yang pelan, yang hadir kali ini adalah Jeno yang haus.
Jeno yang makin haus akan afeksi, Jeno yang selalu haus akan elusan, dan sekarang, ia seakan berada di level paling tinggi dari haus. Karena Jeno yang dilihatnya sekarang, sudah nggak tahan untuk digagahi. Nggak tahan untuk dimasuki.
Nggak tahan diberi aksi.
Aksi yang akan membuatnya terbang tinggi. Melayang, lalu terbang. Dan ketika sabuk itu terbuka, semua kemungkinan di otak Donghyuck itu seperti nyata.
Jeno yang nggak tahan lagi.
Dalaman Donghyuck dilepas sendiri olehnya, Jeno kembali membaringkan tubuhnya di kasur.
Donghyuck merunduk, beri cium lagi pada Jeno yang kali ini polanya makin berantakan. Makin nggak beraturan. Apa yang ia lihat, ia jilat. Apa yang ia tangkap, ia kecup. Lalu ketika bagian bawah mereka bergesekan tanpa helaian benang, desahan yang muda makin membuat yang tua resah.
Resah, ingin segera sampai.
Resah, karena tidak mau berhenti.
Jeno terus meraba tangan Donghyuck ketika ia menjilati putingnya. Geraman yang ia keluarkan, ditanggapi oleh lidah yang lebih tua untuk dibalas.
Dibalas lewat lidah.
Dibalas dengan lidah mereka yang menari-nari di dalam rongga yang lebih muda. Dan pukulan di dada Donghyuck menandakan bahwa oksigen yang Jeno hirup makin sempit. Harus dilepas. Namun nafsu Donghyuck, sudah kelewat batas.
Ia memainkan penis Jeno, diraba dengan jempolnya sembari terus memandang wajahnya. “Please,” Rintih yang lebih muda.
“Jangan dikocok, nanti aku keluar.”
Dan Donghyuck menuruti perkataannya.
Namun bukanlah Donghyuck jika ia tidak rakus, bukan?
Donghyuck bangun, mengambil backpack Jeno yang ditaruh di sofa dekat pintu kamarnya. “Ejen sayang, maaf aku buka tasnya.” Meskipun rakus, meskipun Donghyuck serakah, ia selalu melakukan pesan yang Ibun sampaikan; selalu minta izin jika menyangkut kepunyaan orang.
Buktinya adalah, ketika pengaman itu telah terpasang, ketika ia mengoleskan pelumas pada penisnya sendiri, ketika ia hendak memasukkan jarinya pada lubang kasihnya itu, ia masih tetap meminta izin. “Ejen sayang, boleh lubangnya aku masukin jari?”
Dan ketika yang lebih muda mengangguk lemah, mengizinkannya walau sembari mengeluarkan lenguhan, Donghyuck masih tetap menjadi anak baik kesayangan Ibun. “Maaf, Ejen sayang. Sakit, ya? Udahan mau? Maaf, maaf, maaf.” Donghyuck mengecup punggung tangannya berkali-kali.
Jarinya ia keluarkan lagi ketika Jeno mengerutkan alisnya. Maksud yang Donghyuck tangkap adalah Jeno tidak nyaman, namun yang Jeno rasakan adalah ini sungguh nikmat. Bagaimana pelannya jari Donghyuck masuk, bagaimana jari itu membuat gerakan guntingan yang terasa sangat nyaman, bagaimana Donghyuck memperlakukan dirinya seperti sebuah kapas.
Karena level haus yang tinggi, maka Jeno masukkan kembali jari Donghyuck pada lubangnya, menyuruh yang lebih tua untuk melakukannya lagi.
Karena menurut Jeno, ini nikmat.
Karena ia menginginkannya lagi.
Maka ketika dirasa cukup, ketika ia merasa siap, dengkulnya ia gerakkan sampai mengenai penis Donghyuck. “Udah,” lenguhnya.
“Udah boleh diganti jarinya.”
Donghyuck akan selalu menjadi anak baik Ibun, walau pada hal seperti ini pun, “Aku boleh masuk?”
Anggukan dari Jeno membuat nafsu Donghyuck ikut meninggi. Penisnya sudah keras walau daritadi yang ia lakukan cuman menstimulasi kasihnya. Meskipun begitu, hanya dengan mendengar lenguhannya, melihat ia lemas di bawahnya sudah cukup baginya.
Sudah cukup untuk membuat keras.
Untuk siap.
“Ah! Hiyu, sebentar一”
Donghyuck akan selalu menuruti apapun perintah Jeno. “Kenapa, Ejen sayang? Nggak nyaman, ya? Mau berhenti?”
“Ngh… nggak, bukan. Cuman kamu tuh一”
Donghyuck akan selalu menjadi rakus. Ia hentakan lagi penisnya, lalu meraih bibir Jeno untuk dikecup. “Besar. Kamu一ah!“
“Hiyu, punyamu besar. Tolong pelan-pelan.” Donghyuck menyeringai kecil ketika Jeno mengeluhkan bahwa kepunyaannya besar, entah bangga karena besar atau bangga karena bisa membuat Jeno enak.
Atau mungkin keduanya.
Donghyuck berhenti memasukkannya lebih dalam, lalu diam sebentar sampai sekiranya Jeno sudah siap lagi. “Kalau udah enak, bilang, ya.” lalu ia kecup berkali-kali bagian wajah yang bisa ia tangkap.
Jeno meringis, walaupun preparation tadi sudah cukup, namun ketika Donghyuck bergerak, perihnya datang lagi.
“Gerak, Hiyu.”
Maka Donghyuck menggerakan lagi penisnya, melebarkan kaki Jeno, membuat si manis makin mengangkang, lalu memasukkan penisnya lebih dalam.
Kaki Jeno mengerat pada punggung Donghyuck, kedua tangannya bersimpuh pada bahu Donghyuck.
“Ejen sayang一”
“Tolong panggil aku Kak Donghyuck.”
Jeno melihat peluh di wajah Donghyuck. Matanya teduh, namun makin sayu disiram nafsu. Dengan bibir yang terbuka, ia turuti kemauan Donghyuck. “Kak Donghyuck,”
“Ah!“
Jeno merasa nikmat setelahnya. Genjotan Donghyuck makin cepat, makin dalam, makin keras. Ia juga menghantam titik yang tepat一titik yang nikmat sampai Jeno mendongakkan lehernya.
Eksaltasi yang dirasakan ketika semua perih berubah menjadi nikmat membuat Jeno terus menggoda Donghyuck.
Karena entah, Jeno suka melihat Donghyuck memperlihatkan aura dominannya ketika seperti ini. Jeno suka melihat Donghyuck mengeram ketika ia sengaja menyempitkan lubangnya.
Karena Jeno menjadi makin dekat.
“Lagi, Kak Donghyuck.”
“Ejen sayang,”
Lagi. Dorong lagi.
“Kamu,”
Gerak. Makin dekat.
“Cantik. Fuck! Ah! Bentar lagi.”
Jeno ikut memainkan penisnya sendiri ketika Donghyuck mempercepat gerakannya. Ketika Donghyuck melihat itu, ia mengambil alih dan mengocoknya hingga lelaki yang lebih muda meneriakkan namanya lagi.
“Kak Donghyuck, I'm gonna,“
Jepitan di bawah sana semakin kencang. Penis Donghyuck bagai diurut oleh lubang Jeno yang ketat ketika bergerak.
Mata Jeno berair, Donghyuck buru-buru menghapus bulirannya sebelum makin turun dengan kecupan di kedua matanya. “Keluarin, Ejen sayang.”
“Ah… Kak Donghyuck…” Ia terisak. Saking enaknya, saking nikmatnya tadi, dan saking gentle nya perlakuan Donghyuck, Jeno ngerasa overwhelmed.
Keduanya diam merasakan pelepasan bersama. Tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya terdengar deru napas satu sama lain. Donghyuck mengeluarkan penisnya dari lubang Jeno, membuang kondom pada tempat sampah di bawah nakas, lalu merebahkan badannya di samping Jeno. Ia tersenyum kecil, sadar bahwa ia baru saja melakukan hal yang baru pertama kali. Sadar bahwa ternyata tontonan porno yang Nana kasih cukup bermanfaat. Sadar bahwa ia melakukannya pertama kali dengan Jeno.
“Thank you,” Dalam deru napas yang berantakan, Jeno memiringkan badannya, lalu mengelus pipi Donghyuck.
Donghyuck memegang tangan Jeno yang sedang mengelus pipinya. “For what?“
Jeno menghapus jarak mereka, ia meringkuk pada dada Donghyuck. “Showing me what heaven feels like.“
Lalu Jeno, Donghyuck hujani kecupan. “Punya Hiyu.” Di bagian mana pun.
Jeno, naik ke kepala Donghyuck, lalu balas kecup di bibirnya. “Ejen punya Hiyu.”
Ejen punya Hiyu.
Selamanya.