Putih yang murni.
POV: Mark
Halo.
Perkenalkan, ini Mark.
Sebelumnya, gue izin mengambil alih cerita untuk sementara karena ada beberapa yang perlu disampaikan.
Pertama, perihal Om Donghae.
Ketika gue pertama kali melihat amplop bertuliskan nama Om Donghae, lalu menemukan box berisi surat yang bisa terbilang banyak, gue langsung meminta Ibu untuk menjelaskan semuanya. Namun seperti yang sudah kalian tahu, Ibu menolak untuk menjelaskan; alasannya, “Kamu gak akan ngerti rasanya ditinggal saudara sendiri, ngeliat hidupnya jadi susah ketika menikah dengan lelaki pilihannya. Kamu gak akan ngerti, lebih baik diam dan jangan ganggu.”
Nenek dikaruniai 3 putri yang cantik-cantik. Pertama adalah Ibu, yang kedua Tante Elsa, dan yang terakhir adalah Tante Elia, Ibunda dari artis kesayangan kita semua, Lee Jeno.
Tante Elia adalah pribadi yang lebih dari kata baik. Beliau dermawan, pintar, cantik, selalu bisa diandalkan, menarik, kreatif, serta memiliki hati yang tulus. Sepupu yang selalu dijadikan bahan perbandingan dengan anak-anak Oma—Kakaknya Nenek, Tante Elia nggak pernah sekalipun menentang atau melawan perintah Ibunya.
Sampai suatu ketika, datanglah hari di mana Om Donghae mampir ke rumah Oma untuk meminta restu dan izin, beliau mau jadikan Tante Elia sebagai cinta sejatinya.
Setelah diceritakan oleh Tante Elsa, beliau bilang, kala itu Oma maupun Nenek sama sekali nggak beri izin untuk mereka. Restu yang dipinta oleh kedua insan tersebut ditepis langsung dengan perkataan kakek yang membuat tangis Tante Elia turun. Kakek, suami kesayangan Nenek itu berkata, “Kamu ini kerjaannya cuman PNS. Meskipun gaji stabil, namun terlalu kecil untuk menghidupi anak saya. Latar belakang keluargamu juga gak pantas bersanding dengan kami yang hampir seluruhnya berkecimpung di dunia medis. Kerja apa orang tuamu tadi? Punya restoran? Halaaaaaaaaaah, kalo bangkrut gimana? Mau dikasih makan apa anak saya? Kasian dia, sudah indah hidupnya sedari kecil, gak perlu lah kamu buat susah.” Kejadian ini disaksikan langsung oleh saudara-saudara dari Tante Elia. Mereka pun, mengangguk setuju dengan argumen sang kepala keluarga itu.
Om Donghae, dengan tangguh dan tekad yang pasti, nggak berhenti sampai situ ketika Ayah mertuanya mencabik hatinya dengan perkataan setajam belati. Ia terus berusaha, datang dengan suguhan lalu pulang dengan cacian. Terus menerus bolak-balik Jakarta-Bogor dengan orang tuanya padahal ongkos pas-pasan, hanya untuk minta restu dari keluarga sang tercinta.
Sampai suatu ketika, hal yang membuat Om Donghae bersujud syukur dan mencium kedua kaki orang tuanya tiba juga. Keluarga besar Tante Elia, datang ke Bogor dan menerima restu Om Donghae. Kakek, Nenek, maupun saudara-saudaranya hadir menyaksikan. Om Donghae yang kala itu senangnya di atas langit, nggak terpikir sama sekali mengapa tiba-tiba keluarga kasihnya itu menyetujui untuk melakukan pernikahan.
Namun setelah mereka berbincang mengenai segala yang berhubungan tentang pernikahan; catering, tempat, kapan, dan adat, Ibu dari kekasihnya itu berkata, “Kamu harus tanggung jawab atas perbuatanmu pada anak saya.”
Yang di mana, setelah air mata Nenek turun, Om Donghae baru menyadari bahwa Tante Elia berbohong akan kehamilannya. Tante Elia, untuk pertama kalinya, melawan keluarganya sendiri. Dan beliau melakukan itu untuk bersama dengan Om Donghae.
Hanya untuk hidup dengan kekasihnya.
Lelaki pilihannya.
Cerita Tante Elsa tentang kisah Tante Elia dan Om Donghae membuat gue nggak pulang ke rumah selama 3 hari. Rasanya, untuk melihat anggota keluarga setelah mendengar cerita asli dibalik sikap manisnya mereka, somehow ngebuat gue muak. Gue nginep di rumah Yerim, dan langsung menjelaskan semuanya.
Kedua, perihal hari ini yang menjadi hari di mana sang Ayah dan sang anak dipertemukan kembali setelah belasan tahun.
Acara dimulai dengan Jeno yang menyanyi dari pintu ballroom sampai di panggung kecil, mengiringi Amora hingga tiba di sana. Sebelum ini, Jeno sudah bertemu duluan dengan Amora untuk briefing kecil yang dipandu oleh tim pesta ulang tahunnya. Pada saat pertama Jeno melihatnya, gue bisa lihat banyaknya rasa sakit di matanya. Dan ketika Amora melihat Jeno, semua atensi yang harus ia dengar dari tim diabaikan. Nggak sedetik pun ia lengah pada yang lain, matanya terus menatap sosok Kakak yang ia rindukan selama ini.
Gue dan Yerim terus memantau mereka, terus melihat pergerakan dan mendengar perbincangan mereka. Hingga untuk pertama kalinya, bulu kuduk gue berdiri karena perkataan Amora. “Kakak, makasih udah dateng ke pestanya Ola.”
Lalu sosok Kakak yang si adik rindukan membalas, “Kakak memang harus hadir di pesta ulang tahun adiknya.”
Yerim menitikkan air mata lalu menghapusnya dengan cepat. Gue merangkulnya kemudian, ia menyandarkan kepalanya pada bahu gue. “So heart warming… I'm happy for both of them.“
Gue mengangguk, menyetujui perkataannya dengan elusan pada belakang punggungnya.
Jeno belum melihat Om Donghae ketika ia mengiringi Amora masuk dalam ruangan, Om Donghae pun, belum memunculkan presensinya di sana.
Semua orang yang ada di ruangan ini, ketika melihat Jeno menggandeng tangan Amora berteriak histeris. Apalagi satu remaja perempuan yang langsung mengeluarkan handphonenya untuk merekam, padahal sesuai acara, semua yang datang diharapkan memegang bunga yang telah diberi oleh staf di sini.
Dari sudut ruangan, gue dan Yerim membagi tugas untuk memantau satu sama lain. Oh, Donghyuck juga datang. Ia terus menatap Jeno tanpa henti. Dia berdiri di seberang kami, sesekali mengedipkan matanya pada gue atau Yerim, lalu dibalas dengan jari tengah dan pelototan mata oleh Yerim.
Setelah menyanyi, Jeno memberikan pidato singkat kepada para tamu, tidak memberi tahu secara gamblang bahwa ia hadir di sini sebagai Kakak, namun pidatonya mengundang air mata Yerim datang lagi.
“Pada hari ini, belasan tahun yang lalu, seorang perempuan cantik lahir dan merubah dunia jadi warna yang lengkap. Jika disandingkan dengan pelangi, mungkin merah akan melambangkan tekadnya yang tangguh dan berani, jingga untuk daya tariknya yang menarik, kuning melambangkan keceriaan, hijau untuk antusias dan perhatiannya akan alam semesta, biru sebagai hamparan permadani biru yang biasa disebut laut, hatinya luas bagaikan laut. Nila… warna ini biasa dilambangkan dengan ketulusan hati. Dan ungu, menurut saya sendiri, ungu adalah warna yang misterius… mungkin sisi 'ungu' nya Amora hanya dikenal oleh orang terdekatnya yang ia percaya. Namun menurut saya sendiri, Amora adalah putih yang keseluruhannya bersih. Putih suci. Putih tulus. Putih murni. Putih yang beri keseimbangan pada segala aspek. Amora adalah putih, putih yang beri kebahagiaan, kedamaian, serta kenyamanan bagi orang terdekatnya. Bagi saya juga, Amora adalah putih yang membawa keberuntungan. Karena dengan menyadari bahwa presensinya di bumi utuh, saya sungguh merasa tenang. Selamat ulang tahun, Amora Lee. Semoga terus benderang dan cemerlang.”
Sambutan dari Jeno, menghasilkan riuh tepuk tangan oleh para tamu yang hadir. Ia tersenyum lalu menghampiri Amora untuk memeluknya. Yerim mencubit pinggang gue, jari telunjuknya menunjuk pada pintu ballroom.
Om Donghae ada di sana.
Matanya penuh air mata.
Tangan istrinya berada di lengannya.
Gue otomatis melihat ke arah Jeno di depan, lalu ketika gue menyadari bahwa pandangan mereka bertemu, jantung gue berpacu lebih cepat.
Namun Yerim terus membisikkan, “He'll be fine. They will be fine. Hari ini semuanya beres.” Lalu tangannya menggenggam tangan gue yang basah karena keringat.
Jeno tersenyum simpul lalu turun dari panggung, ia jalan menuju pintu.
Jantung gue semakin berpacu.
Di seberang, pandangan Donghyuck juga terus mengikuti arah langkah Jeno. Ke manakah ia bawa kakinya, di mana ia akan berhenti…
Dan ternyata, kakinya tidak lagi menggerakan langkah ketika ia tepat berada di depan Om Donghae. Kedua tangannya mengepal erat di samping kanan dan kiri celananya, gue mendekat ke tempat mereka karena Yerim menarik gue ke sana.
Belum ada kalimat yang keluar dari mulut Om Donghae, Jeno sudah mencelos keluar ballroom tanpa sepatah kata.
Om Donghae dan istrinya bingung, hendak keluar untuk mengejar Jeno namun buru-buru Yerim tahan. “Kalau dia keluar tandanya masih ragu, Om. Maaf ya, tolong dimaklumi.”
Om Donghae tersenyum. “Saya masih harus banyak belajar tentang anak saya ya, Yerim?”
“Jeno kayaknya cuman bingung harus bersikap kaya gimana, Om.” Yerim menambahkan.
Gue ikut tersenyum, lalu segera mengirim pesan pada Jeno. Setelah menunggu beberapa menit, ia membalas.
Jeno: Mark, gue di toilet. Kalo udah waktunya gue tampil lagi tolong samper. Abis tampil gue balik kamar atau toilet lagi. Atau rooftop. Gak tau. Gue bingung harus bersikap kaya gimana depan ayah soalnya gue sekarang lagi nangis mark ya tuhan ayah ngga berubah ya tuhan amora cantik banget ya tuhan… ini beneran gak sih ini semua nyata gak sih mark gimana ya ah mbak yer tolongin gue dong semoga lo tetap sehat selalu ya mbak
Gue memperlihatkan chat dari Jeno ke Om Donghae. Beliau dan istrinya tertawa renyah sembari menghapus air mata menggunakan sapu tangan. Lantas mereka mempersilahkan kami untuk menikmati acara ini. Beliau juga memerintahkan salah satu staf untuk mengajak kami mencicipi beberapa makanan yang tersedia. Padahal, kami sudah diberi tempat di sudut ruangan yang bertuliskan TAMU VIP.
Ketika sudah waktunya lagi Jeno tampil, ia membawakan 'selamat' serta 'Newborn' sesuai request dari Amora dan Om Donghae. Ia datang bersama Donghyuck di sebelahnya dari pintu yang lain. Setelah selesai, Jeno menghilang lagi bersama Donghyuck. Entah ke mana, biarlah ia menyendiri bersama orang yang dia rasa nyaman.
Acara closing tiba, Jeno membawakan satu lagu terakhir 'I Know Love' yang cocok diperuntukkan pada remaja yang sedang tumbuh dewasa. Bahwa remaja pun, bisa merasakan cinta. Aku sudah dewasa, tolong jangan larang aku untuk merasa, romansa di dada sungguh luar biasa, serasa terbang ke luar angkasa.
Itu potongan lirik I Know Love.
Sehabis acara selesai dan mc sudah menutup seluruh rangkaian acara, beberapa ada yang masih berfoto dan beberapa langsung keluar ruangan. Amora, segera menghampiri Jeno yang buru-buru keluar ditemani Donghyuck.
“Kakak!”
Jeno membalikkan tubuhnya. “Iya?”
Ketika Amora hendak mengucap sepatah kata, Om Donghae serta istrinya datang menghampiri mereka. Mata Yerim menangkap netra Jeno yang sedikit bengkak, meyakinkannya untuk tidak keluar. Pesan tersirat Yerim sampai dengan baik, anggukan Jeno adalah jawaban yang membuat kami semua lega.
“Ayah mau ngobrol sama Ejen.”
Gue, Yerim, dan Donghyuck menunggu di smoking area ketika Om Donghae dan keluarganya berbincang di restoran.
“Coba tebak, sayur sayur apa yang bisa nyanyi?”
Yerim menghembuskan asap rokoknya. “Lo bisa diem gak?”
Donghyuck menghisap sigaret di antara kedua jarinya itu, lalu menghembuskannya seraya menyandarkan kepalanya pada tembok. “Santai aja ngapa mbak, feeling gue bagus nih. Pasti Ejen sama Ayahnya baikan.”
Kami sedang disiram cemas, bingung dan penasaran akan permasalahan yang dialami orang yang kami sayang. Lalu kami memutuskan untuk memadamkan cemas dengan cerutu. Ini semua ide Donghyuck.
Setelah batang rokok gue habis, gue menjawab tebak-tebakan Donghyuck tadi. “Kol.”
Donghyuck terkesima, ia tertawa lalu batuk-batuk setelahnya. Ya salah sendiri, lagi ngisep rokok malah ketawa.
“Kol? Kenapa kol? Aneh!” Yerim terkekeh renyah.
Gue jawab lagi seraya mematikan api sigaret, “Kol. Kolplay.”
Donghyuck tertawa puas akan jawaban yang gue jawab benar. “Gila Mark! Kok lo tau-tauan aja si becandaan ginian?”
Yerim memutar bola matanya malas. Ia melanjutkan sesi hisap hembusnya tanpa mempedulikan Donghyuck maupun gue.
Tak lama dari itu, ponsel kami masing-masing berdering. Menandakan notifikasi pesan dari orang yang sama.
Hal yang ia sebutkan membuat kami menghembuskan napas lega. Dan tanpa sangka, Yerim memeluk gue serta Donghyuck berbarengan.
Tangisnya jatuh berhambur dalam pelukkan kami.
Yang Ayah sampaikan pada Jeno di restoran:
“Sebelumnya, Ejen boleh benci Ayah. Ejen boleh marahin Ayah sepuasnya, Ejen boleh minta apapun sama Ayah. Ayah bakal kasih semuanya untuk anak kesayangan Ayah. Tapi Ayah minta tolong, tolong dengerin Ayah jelasin semuanya dulu ya, sayang? Karena untuk Ayah pun, ini semua sama sekali bukan jalan yang mudah. Banyak rintangan, belokan, tanjakan, maupun turunan yang mengantarkan Ayah pada hari ini. Tepat 6 bulan Ayah kerja di Kalimantan, HP Ayah dirampas orang. Ayah kebingungan gimana caranya hubungi keluarga di Bogor, saat itu uang Ayah belum cukup untuk sekedar beli Hp baru karena biaya hidup di sana ternyata cukup menguras dompet. 2 bulan kemudian, Ayah sudah beli Hp baru, langsung Ayah hubungi Nenek untuk tanya kabar Ejen. Namun Nenek malah jawab, jangan hubungi keluarga kami maupun Jeno sebelum kamu lunasi utang utangmu. Ayah berutang pada mereka dengan jumlah yang bisa dibilang banyak, nak. Dulu… ketika persalinan kamu, tabungan Ayah belum cukup. Tabungan Mama pun, sudah habis dipakai beli perabotan dan pakaian untuk kamu. Awalnya Nenek bilang, sudah semestinya keluarga saling bantu. Ketika biaya administrasi rumah sakit beliau yang bayarkan. Namun setelah Mama kamu pergi, mereka jadi berbanding terbalik. Hari-hari kemudian, Ayah terus gigih bekerja dan menyisihkan separuh uang Ayah untuk dikirim ke Nenek. Ayah pernah sekali pulang ke Bogor, tapi ternyata kamu sama Nenek pindah ke Jakarta. Ayah langsung ke Jakarta hari itu juga, namun mereka malah usir Ayah. Oma dan Kakek nggak sudi menerima Ayah di rumahnya. Akhirnya, mereka buat perjanjian untuk Ayah agar tidak menghubungi kamu sampai utang Ayah lunas.”
“Ayah kirim surat, kirim foto Ayah. Kirim uang buat kamu, juga pada mereka sebagai bayaran utang.”
“Tapi taun ke taun setiap Ayah kunjungin kamu ke Jakarta, Ayah selalu di usir.”
“Sampai akhirnya Ayah bertemu teman lama yang punya banyak relasi di bidang kuliner. Leeteuk, teman Ayah itu, membantu restoran orang tua Ayah jadi ramai lagi. Dia juga beri pinjaman modal untuk buat cabang baru. Strategi penjualan, serta hal lainnya yang Ayah belum kuasai, semuanya ia ajarkan dan bantu. Hasilnya adalah, restoran milik Abah dan Ibu di Bogor ramai. Cabang restoran kami pun, sekarang sudah di mana-mana. Dengan hasil kerja keras kami, akhirnya setelah 10 tahun utang Ayah lunas terbalaskan, nak. Akhirnya juga Ayah bisa undang artis papan atas Indonesia, undang kamu untuk ulang tahunnya Amora. Yang ternyata kamu ngga mau dibayar, kamu mau datang kemari sebagai Ejen. Ayah bersyukur dan senang sekali...”
“Sekarang Ayah nggak perlu kirim kamu surat lagi, Amora bisa reach out kamu lewat pesan.”
“Kakak…”
“Kakak mau terima Ola sama Bunda?”
“Mau, Ola.”