asel yang selalu ada dan hamzi yang selalu sedia

“Sel, kemarin aku mimpi Ibu.”

Penggunaan aku-kamu dalam hubungan kami bisa dibilang tidak terlalu sering. Biasanya, kami lebih sering menggunakan gua-elu atau panggilan nama.

Tapi ada beberapa waktu di mana salah satu diantara kami, akan menggunakan aku-kamu layaknya pasangan remaja yang sedang berada di puncak asmara. Atau kadang-kadang, emang lagi pengen aja, sih.

Setelah bertahun-tahun menjadi seorang kekasih dari lelaki yang relasinya seluas lautan, Hamzi semakin bisa terbuka dengan emosi-emosi yang dia rasakan.

Dulu dirinya hanya bisa melantur gak jelas, tiba-tiba mabok, atau diam sepanjang hari dan memilih untuk nggak menghubungiku.

Sekarang, Hamzi yang menyimpan segalanya sendiri itu sudah berubah menjadi Hamzi yang menceritakan segala hal bahkan sampai hal terkecil seperti ia diberikan kembalian dengan dua buah permen.

Saat ini kami sedang berada di rumah Ibu Hamzi. Setelah mendengar perkataan Hamzi tadi, aku langsung menghentikan permainan online yang sedang aku mainkan, menutup aplikasinya lalu mengunci layar ponsel. Atensiku kini ku arahkan penuh pada dirinya yang terlihat murung di meja makan. Tadi, dia sedang melahap bubur ayam.

Sedikit cerita, kemarin sore Hamzi bilang tubuhnya demam. Dia pusing, kalau bangun serasa melayang, serta pilek yang sakitnya terasa sampai leher itu begitu menyiksanya hingga kesusahan untuk melakukan aktivitas. Dia menghubungiku, menelpon dengan suara gemetar kedinginan.

“Aku sakit.” Katanya, suaranya terdengar parau.

Aku yang ketika itu masih di kampus, langsung keluar dan mencari angkutan umum.

“Aku di bis. Tunggu, ya. Mau makan apa?” Jawabku sambil lari.

Ada jeda beberapa menit pada panggilan kami.

“Sel.”

Aku berhenti sejenak di pinggir jalan. “Iya, Hamzi?”

“Anterin ke makam Ibu.”

Kemarin ketika di makam Ibu, hujan turun sewaktu aku dan Hamzi duduk di pinggiran pusara Ibu. Aku sudah jaga-jaga bawa payung; aku tahu akan turun hujan dan Hamzi pasti nggak akan mau menepi sebentar ke tempat yang teduh.

Kalau kata Hamzi, aku ini orangnya memang penuh inisiatif.

Meskipun memakai payung, punggung belakang kami serta bagian bawah yang tidak ikut tertutup payung itu turut kebasahan juga. Hamzi menyenderkan kepalanya pada pundakku, ia terus memandangi pusara Ibu.

“Dulu ya, sel. Waktu masih SMP, Ibu seneng banget banggain gua karena gua ganteng.”

Aku terkekeh. “Ah masa ganteng?”

Dia memeluk lengan sebelahku. “Iya lah. Lu liat aja ini, ganteng kan gua sekarang? Malah tambah ganteng gak sih setelah kumisan?”

Aku tidak balas iya ataupun tidak. Aku hanya balas dengan gelak tawa yang semakin menjadi. Hamzi seakan tahu jawaban pasti ku apa karena tiba-tiba dia menyatukan tangan kami. Jari-jari kami saling taut; saling ikat emosi-emosi yang kami rasakan sekarang.

“Dulu tuh… keluarga besar Ibu kalau ngumpul suka banggain prestasi anak-anaknya. Lu tau gua gimana kan sel? Bangor parah lah pokoknya. Waktu SMP, gua naik kelas aja udah alhamdulillah.”

Dengan seksama aku mendengar cerita Hamzi sambil mengelus tangannya menggunakan jempol.

“Waktu Ibu ditanya sama Nenek dan tante apa kelebihan aku, Ibu selalu jawab kalau Hamzi kelebihan gantengnya.”

Cerita demi cerita tentang mendiang Ibunya terus mengalir bersama hujan yang seakan mendukung perasaan Hamzi kala itu, aku mendengarkan sampai habis-sampai hujan berhenti. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk pulang sebelum matahari tenggelam.

Kembali ke saat ini, Hamzi menundukkan kepalanya seraya mengaduk-aduk bubur yang mulai mencair. Bubur itu sudah aku siapkan dari satu jam yang lalu, namun baru ia makan sekitar lima belas menit yang lalu. Itu pun, sepertinya hanya ia aduk-aduk hingga tekstur kental bubur itu hilang.

Aku menarik bangku di sebelahnya, menemaninya duduk di meja makan lalu meraih tangannya untuk ku genggam. “Seneng nggak, mimpinya?” tanyaku.

Hamzi menyandarkan tubuhnya pada senderan kursi, matanya menatap ke seluruh sudut rumah ini. Pandangannya menyapu habis apa yang bisa netranya tangkap terhadap isi rumah ratunya. Hamzi, saat ini seakan sedang memutar ulang kenangan bersama keluarganya dulu. Ia tersenyum, lalu sendu setelahnya. Selanjutnya tertawa sambil mengatakan, “si Ami dulu pernah makan garem dua sendok terus langsung muntah.” namun setelah itu alisnya menyerngit.

Aku tersenyum sendu memperhatikannya. Elusanku pada genggaman tangannya tidak berhenti satu detik pun. Aku ingin Hamzi tahu dan sadar bahwa aku ada dan aku akan selalu siap menemaninya bagaimana pun kondisinya.

Hamzi menoleh kepadaku, kepalanya tiba-tiba ia sandarkan pada pundakku. “Ada kamu.” Katanya.

“Sekarang ada kamu.” Katanya lagi.

Rasanya aku seperti sedang mendengar sumpah resmi. Perkataannya membuat hatiku hangat. Presensiku di sini rasanya sangat diapresiasi, dan aku bersyukur karena Hamzi seakan megizinkanku untuk turut hadir dalam segala fase pada dirinya.

Aku mau, aku siap, dan aku akan bersungguh-sungguh.

Untuk melihatnya rapuh, lalu tumbuh lagi menjadi seorang lelaki yang utuh. Untuk melihatnya hancur, lalu bangkit lagi menjadi seorang ksatria gagah. Untuk melihat sukanya, menyaksikan tawanya, serta menemaninya sampai nanti–sampai waktu yang memisahkan kita, sampai bumi hancur.

Karena yang ku dambakan saat ini bukan lagi nilai tinggi pada mata kuliah, atau peringkat satu dalam kompetisi.

Yang ku dambakan saat ini adalah semoga dirinya selalu disiram dengan hal-hal baik. Yang ku dambakan saat ini adalah indahnya taman kecil di belakang rumah kami nanti–ketika aku dan Hamzi sudah keriput, ketika kami akhirnya membuktikan sumpah kami masing-masing.

Bahwa aku akan selalu ada.

Bahwa dia akan selalu sedia.