Stuck In The Moment.
POV: Ejen.
Kalian pasti tahu lingkaran, 'kan?
Sewaktu aku masih di bangku sekolah dasar, aku sebut lingkaran sebagai angka 0. Walau sebenarnya angka 0 lebih mirip oval, sih.
Namun biarlah aku mendefinisikan lingkaran dengan arti yang lain, dengan versiku sendiri; lingkaran itu bagai hidup yang ku jalani.
Berputar terus dari titik satu ke titik lainnya, tidak memiliki sudut untuk jadi persimpangan ketika lelah berlari. Setiap hari aku mengitari lingkaran yang ujungnya adalah titik mulai lagi.
Membosankan.
Sepi.
Tidak menyenangkan.
Aku mulai muak dengan kehidupan seperti ini, aku ingin sesuatu baru yang membuat hatiku rasanya akan meledak karena perasaan bungah. Aku ingin merasakan cinta. Aku ingin dicinta.
Keinginanku yang hanya diketahui oleh hati dan pikiranku kala itu, dengan cara yang begitu unik, Tuhan menghadirkan seseorang yang kini sangat bangga untuk aku sebut namanya.
Seseorang yang saat ini sedang memasangkan syal pada leherku. Syal rajut yang ia buat sendiri khusus untukku. Dengan bubuhan jahitan pada ujung syal itu. 'For eternity and beyond.'
Nggak. Bukan syalnya yang untuk selamanya, tetapi kami.
Syal itu hadiah pemberiannya untuk hari jadi kami yang ke-3 tahun. Dia punya juga, bertuliskan 'H&E'.
Yang berarti, jika disambungkan; Hiyu & Ejen for eternity and beyond.
Aku sangat menyukainya. Aku selalu bawa dan pakai syal itu kemanapun aku pergi. Syal itu bagai jimat yang membuatku semangat untuk menjalani hari. Karena hanya melihat tulisan jahitannya, sedih serta sendu yang hendak mampir rasanya seperti ditangkis.
Cuaca London sedang tidak sedingin biasanya. Namun tetap, jika tidak berpakaian hangat, cepat atau lambat dingin pasti akan menusuk.
Hiyu baru saja datang kemarin dengan bawaan oleh-oleh yang banyak sekali. Dia sampai bawa dua koper; satu untuk pakaiannya, satu untuk oleh-oleh.
Kebiasaan Hiyu selalu seperti itu setiap mengunjungiku di sini. Aku selalu antusias ketika waktunya unpacking bawaan dia dari Indonesia, dia akan mengabsen satu-satu benda atau makanan; dari siapa, untuk apa, bagaimana kegunaannya, dan hal lain yang ia sampaikan dengan menyenangkan.
Titipan itu tidak hanya dari keluargaku dan keluarganya. Namun juga dari anak-anak panti. Kata Hiyu, sebelum dirinya ke sini, dia pamit pada anak-anak panti dan memohon maaf untuk berhalang hadir minggu ini. Saat mereka tahu bahwa Hiyu akan mengunjungiku, mereka langsung membuat surat yang dihias menggunakan karton dan kertas warna.
Surat-surat itu ditulis dengan spidol warna-warni, ditambah juga dengan ilustrasi aku yang memegang mikrofon, ada juga yang menggambar menara Big Ben.
Sangat sederhana, murni, dan tulus.
Sederhana namun bermakna.
Saat ini kami sedang di jalan pulang menuju kediamanku. Kami tadi baru saja bertemu dengan Yangyang dan Kun di restoran yang sedang ramai diperbincangkan.
Tangan kananku memeluk lengan kirinya selama kami berjalan. Kami memelankan langkah, melihat ke arah manapun yang bisa mata kami tangkap.
“Ejen, liat tuh bagus.” Ia menunjuk pada salah satu payung yang sedang dipegang orang.
“Payung?”
Dia mengangguk. “Iya, payung. Kamu tau nggak, payung?”
Aku tidak heran lagi akan pertanyaan random darinya, aku selalu suka setiap Hiyu melakukan ini.
“Nggak tau. Emang payung itu apa? Kenapa kamu bilang payung orang bagus?” Tanyaku sok polos.
“Payung itu alat buat melindungi hujan, dek.”
Oh… there he goes again.
Memanggil aku dengan sebutan 'dek' setiap kali dia menjelaskan atau mengarahkan sesuatu, seperti mentor berpengalaman handal.
Aku tertawa mendengar penjelasannya. Hiyu ini… kadang nggak jelas. Tapi sudah aku bilang, bukan?
Aku ini sangat mencintainya… sangat cinta pada lelaki ini sampai ingin menjadi bodoh karenanya. Menjadi bodoh bersamanya.
“Oh… aku baru tau fungsi payung. Terus kenapa kamu suka payung orang?”
Kami berhenti melangkah. Hiyu memandangi payung orang itu sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Soalnya payung di London gede. Ibun suka payung yang gede dan lebar, supaya belanjaannya nggak ikut keujanan.”
Si dia yang sekarang janggutnya ia biarkan tumbuh itu mengatakannya dengan sangat serius. Aku nggak bisa menahan tawa ketika matanya terlihat sungguh-sungguh menyukai payung milik orang.
“Nanti kita beliin buat Ibun, ya…”
Hiyu pasang tampak terkejut, lalu tangannya ia kepal dan entakan ke bawah. “Yes! Ibun punya payung baru.”
Aku tidak perlu bertanya mengapa ia sesenang itu hanya karena payung. Aku sudah tau jawabannya; dia suka melihat orang tersayangnya bahagia, atau bisa juga, dia memang sedang ingin jadi dirinya sendiri.
Atau kata lainnya, dia sedang tidak jelas.
Tangan kirinya sekarang bertengger di pinggangku. Kami jalan lagi dan aku dengan nyaman bersandar di pundaknya.
“Ejen mau payung juga gak? Aku punya banyak loh, hadiah dari event-event.“
“Nggak mau. Aku gak suka payung.”
“Loh? Terus kalau ujan kamu gimana?”
“Ada kamu…”
“Tapi aku gak bisa lindungin kamu dari air hujan?”
“Gak mau pake payung… lebih suka ujan-ujanan sama kamu.”
Sebut aku menjijikan. Sebut aku apa saja yang kalian ingin sebut. Aku tidak akan menangkalnya, karena aku benar-benar ingin melakukannya.
“Kalo ujan-ujanan ntar masuk angin dong? Bahaya ah. Di London gak ada tolak angin soalnya.”
Aku dibuat tertawa lagi.
“Ibun kan bawain aku tolak angin sampe dua pak.”
Hiyu menepuk dahinya. “Lah! Bener yak. Ya udah, tuan Ejen mau ujan-ujanan kapan?”
Aku memasang raut berpikir. “Hmm… nanti aja deh pas di Indonesia.”
Dia mengangguk seraya terkekeh. “Bener. London kalo abis ujan bukannya adem malah jadi es batu ntar kita.”
Kami berdua larut dalam tawa sepanjang jalan. Menertawakan apa yang tidak perlu ditertawakan, mengomentari hal yang tidak masuk akal, lalu tertawa lagi karena tersadar akan hal-hal yang kami lakukan.
Saat sampai di depan pintu unit apartemenku, Hiyu menahan tanganku untuk membuka kunci. Aku terheran, matanya kini mendadak terlihat sendu. Kedua tangannya berada di pundakku; memposisikan diriku agar terfokus hanya padanya.
Hampir dua menit ia memandangku tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menghela napas, lalu menghembuskannya kasar.
“Hiyu, kamu ken—”
Dia memelukku.
Erat sekali.
“Kenapa, Hiyu?”
Bukan peluk yang biasanya ia lakukan. Pelukan ini terasa nyaman namun sedih dalam satu waktu.
“Ujan-ujanannya sama aku aja.” Ucapnya di sela perpotongan leherku.
“Kenapa sih?” Kami masih di depan pintu kediamanku.
“Aku nggak masalah kamu peluk aku. Cuman lanjut di dalem aja, please. Emangnya kamu nggak kedinginan?” Lanjutku.
Akhirnya Hiyu mau lepaskan pelukannya. Namun kedua tangannya itu masih berada di pundakku. “Tapi ujan-ujanannya tetep sama aku, ya?”
Aku semakin heran dan mulai agak kesal. Kesal karena dia tak kunjung menjelaskan maksud di balik kalimatnya tadi.
“Kenapa sih kamu?” Intonasi perkataanku mulai sedikit naik.
Dia menggaruk pelipisnya. “Itu.. semalem.”
“Semalem kenapa? Hiyu… kamu sekarang kayak anak umur 3 tahun tau.”
Dia hembuskan lagi napasnya, kali ini terdengar seperti putus asa. “Semalem aku mimpi kamu jalan sama orang lain. Dia nginep di tempat kamu, dia buatin kamu bubur, dia payungin kamu waktu ujan, dia sebut nama kamu waktu dia dapet penghargaan.”
Dia melanjutkan kalimat selanjutnya sambil mengelus pipiku. “Semalem aku mimpi kamu bahagia dan bukan sama aku. Aku nggak bisa apa-apa... aku cuman bisa liatin kamu dari jauh. Aku bahkan gak pernah ke London di mimpi itu.”
Ya Tuhan.
Aku sangat, sangat, sangat mencintai lelaki ini.
Aku sungguh akan mencintainya seumur hidupku.
Aku berjanji, aku berteguh hati akan selalu menjadi Ejennya hingga akhir waktu.
“Hiyu…” Aku meraih pipinya, mengelusnya lalu merapikan pinggiran rambutnya yang tambah panjang.
“Iya aku kayak balita. Tapi kamu janji dulu jangan ujan-ujanan sama orang lain, please…?“
Ya Tuhan… untuk memikirkannya saja aku nggak sanggup hati.
Aku mengecup bibirnya singkat. “Iya. Sama kamu doang. Apapun sama kamu, pokoknya selalu sama kamu.”
Si dia yang mendengar jawabanku itu langsung senyum dan mengecup keningku.
“Nanti sebelum bobo aku baca doanya lebih lama deh.” Katanya setelah mengecup keningku.
“Biasanya juga kamu baca doanya lama.”
“Kali ini harus lebih lama.”
“Emang mau doa apalagi? Satu dunia kamu doain, ya?”
“Berdoa supaya gak dapet mimpi kayak semalem lagi.”
Aku tersenyum. “Iya. Nanti aku juga doa yang banyak.”
“Banyak? Apa aja tuh? Aku boleh tau gak?”
“Semoga kamu yang tetep jalan sama aku, kamu yang tetep nginep di tempatku, kamu yang buatin aku bubur, semoga nama aku yang kamu sebut gimana pun kondisinya. Semoga aku bahagianya terus sama kamu.”
“Ujan-ujanannya mana?” Ternyata umur hanya angka. Tingkah laku Hiyu sekarang persis balita yang dijanjikan mainan kalau makannya lahap.
“Iya, sayang. Sama kamu juga ujan-ujanannya.”
“For eternity and beyond?“
“For eternity and beyond.“