Matahari yang Murah Hati.

POV: Raya.

Mami pernah bilang, orang paling baik adalah orang yang bersinar namun tidak bersinar sendiri.

Saat itu saya sedang menyesap teh bersamanya di taman belakang. Saya bertanya, “tidak bersinar sendiri? Maksudnya gimana, Mi?”

Mami meletakkan buku yang sedang dibaca pada pahanya. Pandangannya kini menoleh ke arah saya. “Dia bagi sinarnya untuk orang lain, Aya. Nanti, ketika kamu sudah mengerti, Mami harap kamu bisa bersama dengan seorang matahari yang murah hati.”

Saya masih di usia tujuh belas kala itu. Teringat jelas dan tersimpan secara rinci di ingatan saya kalimat yang Mami sampaikan. Kami suka menghabiskan dengan membaca buku bersama di taman belakang, dan Mami selalu beri petuah-petuah kehidupan.

Dalam keluarga, saya adalah anak pertama yang berani melawan.

Masa depan anak-anak keluarga Mami, sudah disiapkan rapi oleh Papi. Namun di antara saudara-saudara saya, sayalah orang pertama di keluarga ini yang menentang Papi.

Saya mengundurkan diri dari perkuliahan di tahun kedua. Orang tua saya muak pada saya, akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi tinggal di rumah. Saya cari kos-kosan, dan tinggal di sana sembari saya cari pekerjaan.

Setelah berbagai pekerjaan saya coba, saya diterima di sebuah kafe dekat kampus yang berada di tengah kota. Pekerjaan yang menurut saya sangat mendekati passion saya; berkecimpung di bidang kuliner.

Singkat cerita, hari itu saya memang merasa kurang enak badan. Saya nggak sadar kalau ternyata hari itu adalah jadwal bulanan saya, sampai tiba-tiba, seorang pelanggan dengan baik hati menyampaikannya pada saya.

Keadaannya waktu itu, saya sedang mengantarkan minuman, menyajikannya di meja lalu mengucapkan terima kasih pada pelanggan yang duduk sendirian di lantai atas.

Namun ketika saya berbalik, hendak turun ke lantai bawah dan melanjutkan pekerjaan, pelanggan yang tadi memanggil saya. Saya hampiri dengan senyum lebar walau perut saya terasa seperti ditekan.

Lelaki itu menoleh ke kanan dan kiri; seperti meyakini dirinya bahwa tidak ada yang akan mendengar perkataannya.

“Mbak, saya mohon maaf karena nggak bisa bantu banyak. Ini jaket saya, boleh dipake buat menutupi noda mbak.”

Saya masih bingung dengan perkataan dan pemberian tiba-tiba lelaki itu, namun pada detik selanjutnya, ia mengetik sesuatu pada ponselnya lalu ditunjukkan kepada saya.

Sepertinya Mbak datang bulan?

Saya refleks menutupi bagian belakang saya dengan nampan yang saya pegang. Lelaki yang sekarang saya kenal dengan nama Donghyuck itu menyerahkan lagi jaketnya untuk segera diambil. Saya mendadak linglung, saya merasa sangat malu, saya terbata-bata mengucapkan terima kasih sambil menerima jaketnya.

Lelaki yang sekarang sangat saya kagumi, lelaki yang diperkenalkan Mami pada saya, Mas Donghyuck.

Waktu berjalan lalu akhirnya saya bisa membangun toko sendiri dengan tabungan sendiri dan pinjaman modal dari Kakak. Setelah dua tahun lebih saya tinggal sendiri, akhirnya saya memberanikan diri untuk pulang dan langsung berlutut di kaki Papi.

Saya menangis sejadi-jadinya, Mami juga menitikkan air mata. Sedikit informasi, Mami bukanlah orang yang sering menunjukan berbagai macam emosi. Mami bisa dibilang datar dan tegas, namun pada hari di mana saya akhirnya pulang, air mata yang jarang saya lihat itu, turun di pipi Mami yang cantik.

Selama saya hidup sendiri, Mami tidak sering menghubungi saya untuk menanyakan kabar. Namun terkadang, ada banyak makanan dan cemilan favorit saya datang dalam bentuk paket. Tidak ada nama pengirim, tetapi saya yakin betul itu dari Mami. Karena terdapat beberapa buku favorit Mami dan secarik kertas yang mengatakan, 'Jangan lupa sempatkan membaca.'

Kakak-kakak saya sering berkunjung ke kos, mereka tidak mengatakan apapun tentang Mami dan Papi. Kadang kami berfoto, lalu sekelebat saya melihat Kakak pertama saya itu mengirimkan foto kami pada group keluarga yang di mana saya sudah dikeluarkan oleh Papi.

Mereka peduli.

Selalu peduli.

Mereka hanya ingin lihat kemampuan saya, mereka ingin saya membuktikan keseriusan minat saya.

Maka setelah beberapa minggu saya pulang, Papi mengajak saya bicara. Beliau bilang, “Mami kenal salah satu lelaki baik… kamu mau kenalan, nak?”

Saya langsung mengangguk. Saya ingin membuat Papi senang dengan menuruti keinginannya setelah apa yang saya lakukan dulu.

Lalu pada hari setelahnya, saya diajak makan siang oleh Mami di sebuah restoran. Saya tidak berharap banyak. Saya mengobrol dengan seorang Ibu dari lelaki yang akan dikenalkan pada saya. Kami banyak bertukar cerita, mulai dari makanan, kesukaan, hingga bisnis yang sebenarnya lebih banyak Mami yang mengutarakan pendapat.

Ketika itu Mas Donghyuck belum datang, dalam hati saya bertanya-tanya, 'Kenapa dia nggak datang?'

Apakah dia sudah tau juga dengan pendekatan yang direncanakan ini?

Apa dia sudah melihat foto saya, lalu ternyata saya tidak sesuai tipenya?

Apakah… dia malu?

Pertanyaan-pertanyaan dalam hati langsung buyar ketika Mas Donghyuck datang lalu memberi salam pada Ibunya, Mami, dan saya.

Bayangan ketika Mas Donghyuck dengan hati-hati menyerahkan jaketnya pada saya langsung terlintas. Bayangan ketika saya menangis di toilet, dengan jaket Mas Donghyuck di pangkuan saya terputar dengan jelas. Lalu bayangan ketika dirinya hendak meninggalkan kafe kala itu, datang ke kasir dan menanyakan kondisi saya, berulang kali terulang dalam kepala yang saat ini hanya dipenuhi olehnya.

Saya jatuh cinta.

Saya jatuh cinta dengan lelaki baik ini.

Namun saya sadar posisi saya ketika saya mengetahui bahwa Mas Donghyuck telah memiliki seseorang.

Tidak. Saya tidak mundur, saya ingin tetap berada dalam jangkauannya walau hanya dianggap sebagai teman. Saya ingin Mas Donghyuck melihat dan menyadari keseriusan saya dalam mencintainya.

Namun ternyata, lamanya waktu pun, masih belum cukup bagi Mas Donghyuck untuk mulai mencoba membuka hatinya pada saya.

Saya tahu kekasih Mas Donghyuck siapa, saya pernah mendengar beberapa lagunya di radio. Ketika pertama kali saya mengetahui bahwa Mas Donghyuck tidak lagi bersamanya, saya tidak buru-buru lari menuju garis finish. Saya tahu Mas Donghyuck butuh waktu, saya paham bahwa perpisahan, mau bagaimanapun bentuknya, memakan waktu cukup lama bagi manusia untuk sampai di titik benar-benar rela dan lupa.

Tahun pertama, Mas Donghyuck menjadi lebih diam. Memang, sikapnya kepada saya dari awal hanya seperlunya. Namun kala itu kami sangat jarang bertemu, pesan saya masih dibalas, hanya saja, untuk bertatap muka, bisa dihitung jari. Padahal kami masih berada di kota yang sama.

Tahun kedua saya menunggu Mas Donghyuck, dia mengundang saya ke acara soft opening cabang kafe nya yang baru. Saya dengan senang hati hadir dan membawa buket bunga. Kami berfoto bersama waktu itu. Mas Nana dan mas Injun memperlakukan saya dengan baik. Mereka pasangan yang manis dan lucu.

Kami menjadi lebih dekat, lebih sering bertemu untuk sekedar makan bersama atau berbagi pendapat soal bisnis kami yang masih berada di lingkup yang sama. Mas Donghyuck sering mengajak saya ke panti, beberapa kali juga Mas Donghyuck menitipkan sesuatu untuk Mami dan Papi di rumah.

Sampai pada suatu waktu, Papi menanyakan sesuatu yang buat saya ragu untuk terus mempertahankan Mas Donghyuck.

“Sudah seserius apa hubungan kalian? Papi sudah nggak sabar menimang cucu… Donghyuck anaknya baik kan?”

Saya bingung mesti jawab apa.

Bersama dengan Mas Donghyuck tanpa status yang jelas dalam kurun waktu tiga tahun ini tidak membuat saya terbebani. Saya senang setiap kali menghabiskan waktu dengannya, saya sangat menikmati masa-masa ini.

Akhirnya pada suatu hari, saya beranikan diri untuk bertanya tentang status kami pada Mas Donghyuck.

Kala itu, kami sedang makan sate padang langganannya di depan swalayan. Mas Donghyuck sering mengajak saya ke sini. Katanya, “Lo bukan orang Bogor kalo belom makan sate padang ini.”

“Mas, saya boleh tanya sesuatu?”

Mas Donghyuck mengelap bibirnya dengan tisu, lalu mengantongi sampahnya karena tidak menemukan tempat sampah. “Bayar tapi.”

Sudahkah saya bilang, bahwa Mas Donghyuck bukan hanya baik hati?

Dia juga menyenangkan. Sedikit usil memang, namun presensinya selalu menghadirkan tawa.

Saya terkekeh. “Boleh. Mas mau apa?”

Dirinya yang menarik itu terlihat berpikir dengan jari telunjuknya di dagu, matanya mengadah ke atas. “Hmm… es krim kayaknya enak, ya.”

“Oke. Tapi saya tanya dulu. Nanti es krimnya terakhir.”

“Kalo bayarannya terakhir berarti dikali tiga puluh!”

“Banyak banget… emangnya mas sanggup abisinnya?”

Dia menggeleng. “Siapa bilang buat gue? Buat anak panti. Si Fetta kemaren bilang pengen es krim.”

Mas Donghyuck, dengan seribu satu kebaikannya selalu buat saya takjub. Dia selalu memikirkan orang lain, dia prioritaskan orang-orang tersayangnya dalam urutan satu. Dia dan segala baiknya… dia yang mengajarkan saya untuk menjadi manusia yang berguna. Dia ajarkan saya pentingnya keluarga, dia perlihatkan indahnya kebaikan.

Dia adalah seperti yang Mami bilang, matahari yang tidak bersinar sendiri.

Mas Donghyuck adalah matahari yang murah hati.

Dia bagi sinar hangatnya untuk menghangati yang lain, dia sebar luaskan cerahnya untuk menerangkan segala sudut. Dia tidak ingin menang sendiri, dia ingin orang-orang di dekatnya juga jadi juara.

“Iya Mas, nanti saya beliin. Saya tanya dulu tapi… boleh nggak?”

“Iya, Raya.” Matanya menangkap mata saya yang sedang pancarkan ragu. Suasana ini jadi canggung.

“Di mata Mas Donghyuck, saya itu apa?”

“Di mata gue?”

Saya mengangguk. “Hm.”

Mas Donghyuck tersenyum simpul, matanya ia arahkan kesana-kemari; seperti berpikir mencari jawaban. “Di mata gue… lo wanita.” Jawabnya.

“Ya… itu mah tukang sate padang juga tau, Mas.”

Mas Donghyuck pasang tampang terkejut, “wah! Uda, emangnya uda tau si raya wanita?”

Tukang sate padang yang kerap Mas Donghyuck panggil uda itu menoleh ke arah kami, wajahnya bingung, namun melihat Mas Donghyuck yang tertawa kecil, dia seperti ikut larut dalam tawa itu. “Tau! Buktinya cantik itu!” Jawab uda.

Mas Donghyuck mengangguk, tangannya menepuk kecil, lalu telunjuknya menunjuk wajah saya yang menahan malu. “Tuh, Ray! Cantik!”

Mas Donghyuck masih tertawa bersama uda. Saya memperhatikan mereka, lalu dalam diam saya sadari fakta lagi; tawa yang Mas Donghyuck beri pada sekitarnya, bisa meringankan beban meskipun sekecil atom.

Uda yang daritadi diam sembari memandangi jalanan, menunggu pelanggan berhenti lalu memesan jualannya, kini berbincang dengan Mas Donghyuck.

Mas Donghyuck selalu punya topik yang buat orang nyaman untuk terus berbicara dengannya. Sekalipun itu tidak penting, atau tidak masuk di akal, ekspresi yang Mas Donghyuck keluarkan selalu berhasil menyulap waktu menjadi lebih cepat.

“Tapi menurut saya mah ya, da. Wanita ini bukan wanita biasa.” Mas Donghyuck masih berbincang dengan Uda yang duduk bersebrangan dengan kami.

Uda menanggapi mulai serius, handuk di pundaknya ia bawa ke dahinya untuk mengelap keringat. “Berarti luar biasa? Kayak wonder woman gitu?”

“Lebih atuh. Wanita ini memang luar biasa, tapi Uda mau tau nggak, apa yang buat wanita ini luar biasa?”

Pipi saya tersipu merah.

“Sabarnya, Da. Kelapangan dadanya luar biasa banget. Lautan samudera aja kalah.”

Degup jantung saya tidak beraturan.

Makin cepat.

Rasanya seperti ingin meledak.

Saya tidak mendengar jawaban uda dan perbincangan selanjutnya dengan Mas Donghyuck; saya sibuk mengepal tangan dengan kepala yang menunduk ke bawah. Saya malu. Saya salah tingkah.

Beberapa detik setelah itu Mas Donghyuck memanggil saya, “Aya?”

Suaranya… menggema di pikiran saya.

Suaranya buat hati saya menghangat.

Pandangan kami bertemu ketika saya merapikan helai pinggir rambut saya. “Jadi beli es krim?” Katanya.

Saya mengangguk, lalu bangun dari duduk dan jalan di belakang Mas Donghyuck menuju swalayan.

Mas donghyuck tiba-tiba berhenti jalan, ia menyuruh saya untuk jalan disebelahnya. Ketika saya tanya kenapa (maaf, saya butuh pengakuan), dia menjawab, “Ya… nggak papa, enakan bareng-bareng aja jalannya.”

Dan sumpah demi Tuhan, saya tidak bisa mengatur detak jantung agar berdetak lebih pelan. Karena rasanya… setiap kalimat yang Mas Donghyuck lontarkan pada saya, organ-organ saya di dalam sana seperti mengadakan pesta.

Dan jantung saya sepertinya menekuni tugasnya menjadi pengatur musik dan suara.

Karena ia putar musik paling keras.

Sampai yang di luar bisa dengar.

Saya tidak menanyakan lebih lanjut mengenai status di swalayan, Mas Donghyuck sibuk memilih cemilan dan beberapa minuman untuk dibawa ke panti. Kalian tahu 'kan, tadi Mas Donghyuck bilang, kalau saya ingin bertanya, saya harus bayar dengan membelikan es krim untuk anak-anak panti?

Namun yang terjadi malah dirinyalah yang membayar semuanya.

Ketika kami di kasir, saya sudah mengeluarkan dompet dan segera memberi kartu saya pada petugas kasir. Tetapi Mas Donghyuck cekatan mengambil kartu saya, mengembalikan lagi ke tangan saya dengan sedikit menarik telapak saya lalu menaruh kartu itu di atasnya.

“Mas… tadi kan janjinya Aya yang bayar?”

Si dia yang menawan setiap kali terkekeh itu tangkap mata saya. “Nggak ah.”

“Ih… kenapa nggak?”

Pertanyaan saya malah dibalas oleh kedipan sebelah matanya. Selanjutnya ia merapikan belanjaan dan membawanya keluar dari deretan kasir.

Selanjutnya, jantung saya berpesta lagi.

Saya mendadak terpaku.


Sesampainya di panti asuhan, kami bermain dengan anak-anak. Mas Donghyuck mengeluarkan belanjaan sembari mengabsen barang itu untuk siapa. Seolah seorang Bapak yang baru pulang kerja, membawakan oleh-oleh untuk anaknya.

Saya melihat pemandangan itu dari sofa di pojok ruangan dengan Ibu Lia di samping saya.

“Mas Dong itu lelaki paling tulus yang pernah datang kemari.” Ujar Bu Lia, masih sambil memandangi Mas Donghyuck dan anak-anak.

“Sudah lama ya, bu? Mas Donghyuck bantu panti?” Tanya saya.

Ibu Lia menarik napas pelan, tersenyum samar. “Lama sekali… dia juga turut bantu renovasi panti ini.”

“Dulu sekali… panti ini kurang layak, nak. Kamar mandi kami atapnya bocor, kamar anak-anak pun dindingnya sudah mengelupas. Banyak yang harus diperbaiki, namun belum terlaksana karena terbatasnya materi. Tetapi Mas Dong mau bantu dengan Mas Nana, juga Mas Injun.”

Penjelasan dan cerita-cerita baik dari Ibu Lia mengenai kebaikan Mas Donghyuck makin buat saya luluh. Saya semakin ingin menjaganya dari segala yang buruk. Saya ingin dirinya selalu dihujani kebaikan yang berkah.

Saya selalu lupa menanyakan status setalah saya lihat dan dengar segala yang baik mengenai dirinya. Rasanya status pun tidak masalah, saya hanya ingin bersamanya. Saya kagum pada dirinya yang selalu bermanfaat pada orang lain.

Hari-hari berlalu, sampailah pada hari ini. Hari di mana kami berada di Jakarta; menonton konser perdana Jeno setelah dirinya hiatus selama hampir empat tahun, konser seseorang yang pernah Mas Donghyuck jadikan rumah, tetapi orang itu hanya menjadikan Mas sebatas pelarian.

Saya tahu kisah berakhirnya Mas Donghyuck dari Adis, memang tidak diceritakan secara rinci, namun ketika saya lihat mata Mas Donghyuck setelah ia ditinggalkan, saya tahu ada bagian dari dirinya yang turut hilang.

Pasti banyak sakit yang melekat.

Awalnya saya ragu ketika Mas Donghyuck ajak saya ke sini. Saya bertanya-tanya, mengapa Mas ajak saya?

Apakah Mas Donghyuck ingin perlihatkan pada Jeno bahwa dirinya telah berpaling?

Apa saya dijadikan tameng?

Entahlah.

Biarlah itu tetap menjadi sebuah pertanyaan. Saya tidak mau tahu—sebaiknya saya nggak perlu tahu. Takutnya, ketika saya tahu alasannya, hati saya yang doyan berpesta karena Mas Donghyuck ini, mendadak berkabung.

Kami tiba di venue lebih awal, seseorang bernama Mark menghampiri kami setelah Mas Donghyuck meneleponnya beberapa menit lalu. Mereka bersalaman lalu berpelukan; sepertinya sudah lama tak jumpa.

Sepertinya Mark ini orang penting, karena tertulis 'All access' di id card miliknya. Mark mengajak kami pada tempat yang sepertinya tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang.

Backstage.

Tempat di mana Mas Donghyuck pertama kali lagi bertemu dengan Jeno setelah bertahun-tahun.

Banyak orang berlalu lalang di sini. Mark mengajak kami ke sebuah ruangan yang di depan pintunya terdapat tulisan 'ALL ACCESS ONLY'

Saya berada di belakang Mas Donghyuck. Saya bisa dengar ia menghembuskan napas berat berkali-kali. Saya bisa lihat jari-jarinya bergerak gelisah.

Saya tidak berani melakukan apa-apa ketika pintu itu terbuka dan menampilkan suasana sibuk. Sepertinya saya tidak seharusnya berada di sini.

Namun ketika pandangan mereka bertemu, ketika Jeno melambaikan canggung tangannya ke arah Mas Donghyuck, juga Mas Donghyuck yang balas menyapa dengan anggukan, saya sadar penuh bahwa pandangan mereka kali ini memiliki seribu satu arti yang sulit dimengerti.

Ada sendu, senang, riang, rindu, gelisah, canggung, juga perasaan lain yang tidak bisa saya jabarkan.

Mas Donghyuck mendadak bisu.

Mas Donghyuck yang banyak omong itu mendadak gak ngerti cara berbicara ketika Jeno makin mendekat ke arahnya.

Jeno terlihat sempurna dengan pakaian indah dan riasan wajah yang cantik. Ia berdiri di depan Mas Donghyuck, tersenyum simpul, lalu berkata, “how's life…?” Dengan sedikit keraguan di akhir pertanyaannya.

Mas Donghyuck terkekeh. “Canggung banget, ya?” Katanya.

Jeno menggaruk belakang kepalanya. “Iya…”

“Baik, Jeno. Semuanya baik. Lo gimana?”

“Sama.” Jawab Jeno.

Glad to see you're doing fine.” Lanjutnya.

Mas Donghyuck terkekeh manis. Lalu menyerahkan goody bag salah satu minimarket yang di dalamnya saya nggak tahu ada apa.

Jeno menerima dengan pandangan penuh tanda tanya, ia membuka tas itu, lalu melihat dalamnya, “Kinder Joy…?”

Mas Donghyuck terkekeh sambil menganggukan kepala.

Saya tidak bisa mengidentifikasi ada arti apa saja dalam semburat pandang yang saling balas ini. Mereka seakan meneriakkan rindu… mereka lontarkan kalimat bisu yang membuat satupun orang di ruangan ini nggak akan tahu.

Mereka seolah buat bahasa baru.

“Jeno, 10 menit lagi stand by!” Suara itu membuyarkan komunikasi mata mereka, Jeno mendadak linglung, mas Donghyuck tersenyum sendu.

Jeno berpaling ke arah meja yang terdapat beberapa barang, ia mengambil kotak yang dihiasi pita di atasnya. “Buat lo.”

Mas donghyuck menolak dengan gestur tangan. “Nggak usah.”

“Sedikit oleh-oleh…” Bujuk Jeno.

Mas Donghyuck masih belum mau menerimanya. Suara yang memperingati Jeno untuk bersiap makin ramai. Kami harus segera keluar dari sini.

“Ya udah. Nanti beres konser ke sini lagi, ya?” Kata Jeno.

Namun mas Donghyuck nggak beri jawaban pasti. “Satu dua ceker pepaya…”

Mas Donghyuck ngapain…?

Tatapan mata dari staf di sini sudah terus mengarah ke mas Donghyuck, sepertinya kesal karena Jeno tidak kunjung bersiap, malah berbincang dengannya.

Jeno terkekeh. Ia tidak terlihat bingung sama sekali. “Cakep.”

Oh… pantun?

Mas Donghyuck mengeluarkan topi yang sering disebut bucket hat itu dari kantung jaketnya, lalu memakainya di hadapan Jeno. “Semangat Jeno konsernya!”

Jeno tertawa sampai matanya seakan tenggelam. Mas Donghyuck beri senyum serta kedipan mata sebelum meninggalkan backstage. Pantunnya sangat receh. Lelaki yang bernama Mark itu ikut tertawa seraya telapaknya menepuk pelan dahinya.

Kami diantar oleh security staf sampai tempat yang sudah ditentukan. Berada di center row seating, dengan pandangan yang tidak terlalu jauh dari panggung. Sangat strategis, dan tidak akan kelelahan karena tidak perlu berdiri.

Konser dimulai beberapa menit setelah kami sampai di sini. Jeno memulai konser ini dengan narasi dan sebuah video ketika ia di London. Narasi yang menurut saya adalah curahan hatinya. Kira-kira, kurang lebihnya seperti ini:

London, 4 years, 48 months, 208 weeks, and 1461 days; I met new people, made friends with them, then spent a great time at college. I felt really strange back then; living alone is not new for me, but a thousand kilometers away from him makes me unable to control myself. In London, I learned a lot of new things, but I also lost the thing I regret the most. And so I wrote this song as an apology to the person I left, to the memories I ruined, which I worked on with a whole range of emotions overflowing. The song is called “Accidentally Bumped.” So everyone, enjoy the concert.

Lagu pertama terdengar asing di telinga saya. Mungkin ini adalah unreleased song, atau mungkin lagu ini ia persembahkan untuk mas Donghyuck?

Karena mas Donghyuck tidak berkedip satu kali pun ketika Jeno menjelaskan lagu itu. Mas donghyuck berikan seluruh atensinya menuju panggung; menuju Jeno, yang bersinar paling terang malam ini.

Sorakan para penggemar dan audiens di sini riuh terdengar sepanjang Jeno menyanyikannya. Lagu yang bisa dibilang sendu, mellow, serta lirik akhir yang terdengar pedih, dibawakan secara rapi dan indah olehnya.

Selanjutnya ia melakukan sesi 'ment' yang tidak terlalu lama. Lalu ia melanjutkan dengan lagu dari mini album terbarunya, yang saya ketahui, album itu Jeno tujukan untuk mas Donghyuck; karena jika huruf pertama dari lagu-lagu itu diurutkan, akan menghasilkan 'HIYU' yang di mana, Hiyu adalah panggilan kecil mas Donghyuck.

Namun mas Donghyuck seperti tidak mengenal lagu ini. Saya tanya dengan suara yang dikeraskan, “mas, tumben nggak ikut nyanyi?”

“Ini lagu baru, ya? Gue belom denger banyak.” Jawabnya.

Oh.

Oh?

Saya tidak mau bertanya-tanya lebih lanjut. Mas pasti punya alasan, atau mas mungkin sibuk? Atau bisa jadi, ini adalah usaha yang mas lakukan untuk melupakan seluruhnya tentang Jeno?

Lagu-lagu selanjutnya, makin mengundang riuh karena Jeno membawakan lagu debutnya. Semua khalayak di sini teriak antusias, mas Donghyuck nggak berenti senyum ketika akhirnya Jeno membawakan 'buried alive.'

Di pertengahan konser, disiarkan sebuah video yang memperlihatkan 'sisi baru' dari Jeno. Behind photoshoots untuk konser, kumpulan mirror selfienya yang belum pernah disebarkan ke mana-mana, serta berbagai video nya yang pada setiap transisinya, ramai sorakan makin menggelegar.

Jeno kembali dengan membawakan lagu-lagu indah. Lagu seru, sedih, asik, juga menyenangkan. Konsernya kali ini sangat megah; dalam artian besar indahnya sangat membanggakan.

Dan mas Donghyuck, tidak memalingkan wajah sedikit pun. Matanya terus tertuju pada panggung. Matanya mengikuti kemanapun Jeno langkahkan kaki.

It's always in the eyes.

Tidak pernah saya temukan dusta ketika pandangan sudah melakukan sihirnya. Mas Donghyuck dan antusias nya ketika Jeno dengan suara indahnya memanjakan indera pendengar seluruh manusia di sini, membuktikan sesuatu yang saya asumsikan sebagai perasaan yang tertinggal.

Konser ditutup dengan lagu 'Selamat'. Di akhir waktu, Jeno mengucapkan terima kasih, dan kalimat manis lainnya. Tentu, mas Donghyuck masih tidak memalingkan wajah.

Ketika bubaran, kami memutuskan untuk pergi ke toilet terlebih dahulu.

Saya tidak ingin buang air.

Saya ada beberapa hal yang saya terlalu payah untuk mengatakannya secara langsung.

Saya masuk ke salah satu bilik, mengetik beberapa hal yang saya maksud tadi. Setitik harapan, dengan pasrah, saya perjuangkan untuk terakhir kali.

Meskipun jawaban mas nanti masih sama seperti yang lalu-lalu, segala yang saya lakukan untuk mas Donghyuck adalah bentuk sayang yang tidak akan pernah saya sesali.

Saya sudah pasrah. Saya sudah siap apapun jawabannya, saya akan terima bagaimanapun pilihan mas Donghyuck nantinya.

Karena sekarang, jalan saya menunjukkan dua rute. Yang satu menuju pasti, dan satu lagi masih belum pasti.

Energi saya untuk mencintai mas Donghyuck perlahan habis.

Mas pantas dapat yang lebih baik—yang akan mencintainya tanpa limit batas, dan saya pun, pantas mendapatkan satu yang pasti.

Saya masih menunggu balasan.

Semoga, kami bahagia dengan jalan yang berbunga. Semoga, senang dan tenang selalu hadir padanya, dengan atau tanpa saya.

Saya masih belum dapat jawaban.

Namun ketahuilah mas, pelajaran yang mas ajarkan pada saya, akan saya ajarkan juga pada anak-anak saya nanti; bahwa indahnya berbagi, cantiknya kebaikan, serta hebatnya rasa sayang adalah hal-hal terpenting untuk menopang hidup—agar tetap seimbang, supaya terus berjalan, apapun macam topannya.

Biar saya katakan sekali lagi, mas Donghyuck, kamu adalah matahari yang sangat murah hati.

Matahari yang berarti.