Ejen punya Hiyu, dulu. Tapi tidak untuk selamanya.

POV: Donghyuck.

Manusia nggak punya sayap.

Manusia nggak bisa terbang.

Manusia juga nggak bisa menyentuh langit tanpa alat bantu.

Namun, mengapa setiap kali gue bersamanya, rasanya seperti terbang ke langit?

Rasanya indah. Menyenangkan. Seru, juga menegangkan di waktu yang sama.

Menyentuh awan, detik selanjutnya tumbang ke jurang.

Gue tidak mengerti.

Kenapa dia bisa membuat gue merasa bahwa gue adalah manusia paling beruntung satu dunia?

Kenapa dia mau jalan bersama gue, menggenggam tangan gue, lalu diajak lari, lalu berhenti sejenak, lalu ia terjatuh karena tersandung batu, lalu gue obati lukanya, lalu ia terjatuh lagi, lalu gue obati lagi, lalu ia bawa gue terbang tinggi, lalu eratan tangannya melonggar, lalu gue dilepaskan, lalu akhirnya gue terjatuh sendirian di dasar.

Gue selalu mencoba mengerti apapun yang Ejen bilang, apapun alasannya, sekalipun itu tidak benar, gue terus meyakinkan diri gue untuk hanya percaya padanya.

Karena gue cinta padanya.

Hubungan kami baik. Sangat baik sebelum dia mulai berbohong. Sebelum ia mulai menutupi dan lebih pilih untuk berkata sebaliknya.

Ejen seperti membangun tembok yang tidak bisa gue raih. Tidak bisa gue hancurkan. Tidak bisa gue lewati. Entah karena apa, alasannya apa, serta untuk apa gue tidak mengerti.

Padahal gue selalu terbuka. Selalu memprioritaskan bagaimanapun kondisi gue. Gue nggak minta lebih. Gue hanya minta ia yakin, yakin dengan gue maupun dirinya sendiri. Yakin bahwa hubungan kami akan berhasil, akan gemilang.

Waktu ketika ia memutuskan pilihan untuk berpisah, gue sangat tidak menyangka. Awalnya gue kira dirinya hanya bercanda, atau mungkin, ia mulai merasa bosan dan lelah; mengingat kami belum bertemu lagi hampir dua tahun. Gue sudah menyiapkan kalimat bahwa gue akan selalu menunggunya.

Namun ternyata tidak. Ini bukan tentang bosan atau pudarnya rasa.

Ini tentang pengkhianatan.

Dan gue, rasanya seperti menonton film yang sama untuk kedua kalinya. Yang endingnya tidak pernah gue suka.

Dulu, ketika mantan gue melakukan hal yang sama, gue tidak langsung meninggalkannya. Gue menelponnya berkali-kali; memohon agar kami tidak berpisah karena waktu itu gue sangat mencintainya. Gue hampiri rumahnya, gue menunggu depan pagar sampai malam karena ia tidak mau lagi melihat wajah gue. Katanya, dirinya terlalu merasa bersalah. Katanya, gue pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.

Namun mengapa hingga saat ini pun, yang lebih baik dari maksudnya itu belum juga datang di kehidupan gue?

Gue sangat takut pada diri gue sendiri.

Takut akan mengulangi hal yang sama. Takut bodoh. Maka gue mengunjungi Nana. Gue ke rumahnya untuk bertukar sudut pandang. Atau bahasa lainnya, curhat.

Nana dan Injun adalah orang yang paling tau soal kisah asmara gue. Mereka yang menyaksikan, memberi solusi, lalu mencaci-maki gue karena bersikap bodoh, namun juga jadi yang pertama datang ketika gue butuh didengarkan.

Pandangan mereka pada hubungan gue kali ini sama persis ketika masa-masa kuliah dulu. Tidak ada tatapan pasti dari mereka. Tidak ada antusias yang terlihat ketika gue menceritakan Jeno. Ketika mendengar, mereka hanya mengangguk lalu mencari topik lain.

Seakan mereka tahu bahwa kami tidak akan lama. Seakan mereka bisa melihat akhir dari cerita ini; yang lagi-lagi, si pemeran utama ditinggalkan karena alasan yang sama.

Nana menuangkan minuman pada gelas gue yang kosong. “Sepandangan gue atas apa yang lo ceritain, doi tuh nggak bisa konsisten. Masih kayak bocah. Labil.”

Gue memutar-mutar gelas yang sudah berisi minuman. “Tapi gue sayang banget, anjing. Sayang banget sampe pusing. Sampe pengen minta maaf padahal gue bingung salah gue apa.”

“Lo gak perlu minta maaf tolol. Kesalahan lo tuh… lo kalo udah sayang dan cinta sama orang jadi bego. Jadi budak cinta yang gobloknya minta ampun.” Injun menimpali.

Nana mengangguk, setuju akan argumentasinya Injun. Pandangan mereka terfokus akan gue yang menundukan kepala di meja makan yang didesain khusus oleh Nana.

“Udah lah, Hyuck. Tinggalin. Jangan dikasih kesempatan.” Nana menuangkan lagi minuman memabukan itu pada gelas gue setelah gue menelan habis dalam satu kali teguk.

“Ngewe loh ini. Selingkuh, Hyuck. Masa masih mau dimaafin?” Timpal Injun lagi.

Gue menggeleng. “Nggak… ini tuh… dia pasti boong. Gue nggak tau kondisi dia kayak gimana di London, pasti ada alesa—”

“NAIF BANGET KONTOL. ELU MAKHLUK PALING NAIF SEDUNIA.” Injun mengeraskan suaranya sambil menggebrak meja, Nana terperanjat di sebelahnya, lalu mengatakan astagfirullah.

“ORANGNYA NGAKU SENDIRI LEE DONGHYUCK… ORANGNYA YANG NGAKU SENDIRI!! DIA NGUSIR LO! DIA UDAH NINGGALIN LO DULUAN. TINGGAL ELO YANG PERGI.” Injun berteriak lagi, kali ini jarinya sambil menunjuk-nunjuk pada gue.

Nana mengangguk seraya mengelus punggung Injun. Sebuah usaha untuk meredakan emosi suaminya itu, namun gue rasa sia-sia. Karena selama ia melakukan itu, gue masih diteriaki sampai minuman kami habis.

Malam itu berakhir dengan gue yang memutuskan untuk mengakhiri juga. Malam itu berakhir dengan gue diantar oleh Nana pulang ke rumah. Malam itu berakhir dengan gue, yang ternyata masih kalah dalam urusan cinta.

Kepala gue berat. Sangat berat. Gue tidak bisa memikirkan apa-apa selain Jeno. Kata Injun, gue terus menyebutkan namanya layaknya orang gila. Katanya juga, gue sempat nekat menelpon Jeno untuk bilang bahwa cinta ini lebih besar daripada rasa sakit. Bego, memang. Namun Nana merebut ponsel gue lalu mematikannya.

Gue merengek seperti bayi yang tidak dituruti keinginannya. Mereka mengantarkan gue sampai kamar, memastikan gue tertidur, lalu meninggalkan notes yang gue baca di pagi hari.

'Jangan bego'

Dua kata, penuh arti dan perlu gue beri aksi.

Dua kata yang harus gue terapi.

Jangan bego.

Jangan bego dan menerima kesalahan Jeno. Jangan bego untuk menghubunginya. Jangan bego untuk memohon agar kami bisa kembali. Jangan bego karena cinta. Jangan jadi bego.

Pagi itu, sekitar pukul delapan, perut gue nggak enak. Mau delivery tapi gue terlalu malas untuk mengambilnya di bawah. Akhirnya gue tetap berbaring di kasur, ngeliatin atap sambil memikirkan kembali apa yang terjadi.

Jeno tidur dengan Doyoung.

Jauh di lubuk hati gue, gue masih ingin menyangkal fakta itu. Gue sangat ingin meneleponnya untuk mendengar penjelasan darinya langsung. Gue ingin sekali mendengar suaranya.

Namun tidak. Sebaiknya tidak—salah, seharusnya tidak. Karena jika gue melakukan itu, gue pasti akan memakluminya. Gue, si cupu ini pasti akan mewajari segala kesalahan dia.

Terserah kalian mengatakan gue apa, toh gue memang seperti ini. Donghyuck yang menjadi selfless jika sudah menyangkut cinta. Donghyuck si naif. Donghyuck si people pleaser.

Gue sangat mencintainya.

Sungguh.

Gue sangat amat cinta padanya.

Terlalu lama menatap atap, alarm ponsel gue nyala. Peringatan bahwa hari ini pukul sebelas ada jadwal mengajar. Gue buru-buru menyalakan ponsel lalu menghubungi murid-murid bahwa seluruh kegiatan les hari ini diliburkan.

Gue masih belum sanggup untuk bertemu orang. Kondisi gue tidak memadai. Lagian sudah terlamat. Besok gue akan mengatur ulang jadwal. Atau mungkin tidak.

Menyadari sudah pukul sebelas, itu berarti tiga jam gue habiskan hanya untuk menatap atap sambil memikirkan Jeno. Kadang juga kosong, gue hanya menatap ke atas tanpa pikiran apa-apa.

Entahlah. Ini semua membingungkan juga menyesakkan dalam satu waktu.

Ponsel gue berdering lagi. Notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal muncul.

Raya ternyata. Gue masih belum menyimpan nomornya. Gue menghela napas kasar ketika membuka pesannya, dirinya berkata dia ada di depan rumah gue.

Gue sedang tidak mau bertemu orang. Tapi tidak bisa, hati kecil gue terus mengatakan bukakan pintu untuknya ketika turun dari kasur aja gue males. Mungkin karena Raya mengatakan dirinya sudah dari pukul sembilan di rumah gue.

+6245789X09 08.58 mas sudah sarapan? tadi saya jogging di daerah sini, terus karena rumah mas nggak jauh, saya mampir sebentar dan beliin mas sedikit. 10.57 mas? saya tunggu ya mas 11.00 masih tidur ya mas? saya masih tunggu diluar :)

Ketika gue membukakan pintu depan dengan rambut berantakan, celana sontok bola bekas seragam futsal, baju compang-camping belel kayak gembel, Raya duduk di teras sambil ngasih makan kucing. Kucing itu bukan milik gue, itu kucing liar yang berkeliaran di sekitar komplek. Gue sering main sama dia, gue juga sesekali beliin dia makanan. Mungkin karena terlalu sering dan terbiasa, teras rumah gue ia jadikan tempat istirahat. Gue memanggilnya Onet.

Biarlah. Jika itu membuatnya nyaman, memberinya aman, gue nggak begitu mempermasalahkan. Mungkin lain kali gue akan membeli kandang khusus untuknya, atau lebih baik gue adopsi saja?

Raya mengelus kepala kucing itu yang sedang lahap memakan sepotong ayam. Ia menyadari gue sudah di depan pintu lalu langsung bangun dan memberi salam dengan mengangguk sambil senyum. “Eh, Mas.”

Raya menggaruk belakang kepalanya. Ia terlihat bingung. “Mas… maaf banget sarapan buat mas saya kasih ke kucing. Soalnya dia dari tadi gak berenti ngeong-ngeong. Saya kasian… saya beliin mas sarapan lagi, ya? Atau mau saya masakin aja? Kalau boleh dan diizinkan.”

Gue melihat raut wajahnya, lesu. Mukanya kurang enak, juga kelelahan terpancar. Bisa gue tebak, itu karena beres jogging, lalu menunggu gue yang tak kunjung balas pesan dan buka pintu.

Gue mempersilahkannya masuk dan memberinya segelas air. Raya menyadari penampilan gue yang terlihat kurang baik, ia berdehem pelan sebelum berbicara. “Saya boleh ke dapur? Mas mau saya buatin bubur?”

Gue mengangguk. “Boleh?”

Ia balas angguk dengan lebih antusias. “Saya langsung buat ya, Mas ada beras kan?”

“Ada. Tapi gue pusing, nggak bisa bantu. Buat sendiri nggak papa?”

Dia menggeleng, sambil tersenyum. “Nggak papa, Mas! Mas lanjut istirahat aja, nanti kalau udah siap saya bangunin.”

Gue menunggunya memasak sambil memangku Onet, memandangi televisi yang nggak menyala. Memandangi album-album serta majalah Jeno di laci bawah televisi. Pikiran gue kemana-mana, namun pandangan gue kosong. Gue bingung. Gue seperti kehilangan arah. Gue tidak biasa dengan situasi seperti ini.

Kira-kira setelah dua puluh menit gue habiskan memangku Onet sampai ia tertidur, Raya datang, duduk disebelah gue dan menyajikan bubur serta minuman yang gue kurang tau bahan apa saja yang ia racik dan masukan. Yang gue tau adalah, gue merasa sedikit lebih baik setelahnya.

Tidak banyak yang Raya dan gue lakukan ataupun bincangkan. Setelah gue makan, ia pamit karena ada urusan lain. Gue tidak lupa berterima kasih dan mengantarnya sampai depan pagar.

Gue merasa sangat kosong setelahnya.

Gue sangat merasa hampa.

Akhirnya gue memilih untuk tidur lagi, supaya pikiran gue istirahat. Supaya gue tidak memikirkan Ejen.

Namun ketika tidur pun, berani-beraninya ia masih datang melalui mimpi gue. Di mimpi gue, kami sedang berjalan sambil bergenggaman. Di pinggir jalan, cuaca mendukung untuk berbagi hangat, ia mengerat pada lengan gue sambil membisikan kalimat-kalimat cinta. Di mimpi gue, kami menjadi pasangan bahagia di London.

Gue terbangun. Terduduk lalu dada gue rasanya seperti dicabik-cabik. Tidak dihantam, pun tidak dipukul. Dada gue… seperti ada yang menyayatnya lalu menghancurkannya habis.

Tidak bersisa. Sampai gue kesusahan bernapas. Sampai gue secara tidak sadar menitikkan air mata. Sampai gue merintih sakit.

Sakit.

Sakit.

Sakit.

Tolong berhenti.

Tolong jangan hantui gue dengan bunga tidur yang indah, tolong jangan beri gue angin sejuk ketika badai menghampiri.

Tolong sakiti saja gue sampai mati rasa. Sampai susah merasa. Sampai jadi manusia tanpa emosi. Karena itu lebih baik dibanding dirinya yang hadir bahagia di mimpi gue. Karena gue semakin ingin menghubunginya… gue semakin susah menghapus senyumnya.

Gue ingin melihat wajahnya.

Gue ingin mendengar suaranya.

Gue ingin mendengarnya memanggil Hiyu.

Ya Tuhan, manusia yang sedari kecil dapat sebutan Aa Hiyu ini ternyata nggak sekuat yang dikira orang-orang.

Si Hiyu ini bodoh sekali, Tuhan. Bodoh karena masih sedikit mengharap sebuah pesan darinya.

Bodoh karena masih mencintainya.

Padahal dirinya sudah diperlakukan kurang mengenakan. Dirinya ini… dijahati. Dikhianati. Diselingkuhi. Dihancurkan. Ditusuk belati.

Tapi masih saja, masih saja dirinya susah untuk membenci lelaki yang dulu ia sebut Ejen. Bodoh. Bodoh sekali. Bodoh.

Akhirnya, pada malam itu juga, gue pergi ke rumah Nenek di daerah puncak. Cisarua, tepatnya. Gue ke sana dengan membawa satu tas penuh yang isinya pakaian. Sudah terpikir akan menetap untuk beberapa hari. Nggak tau sampai kapan, yang terpenting adalah gue tidak sendiri. Yang terpenting adalah ada yang mengajak gue interaksi sebagai distraksi.

Karena gue sangat takut akan menjadi bodoh jika hanya diam merenung di dalam kamar.

Setidaknya, jika gue di rumah Nenek, gue akan sibuk disuruh ini itu oleh Kakek. Seperti menanam tanaman, mengurusi kebun, merawat burung, membantu membuat apapun karena Kakek masih aktif berkegiatan.

Namun ternyata, sesampainya di sana, Nenek menyadari ada yang nggak beres dari lelaki berusia 28 tahun ini.

Malam itu mereka belum tidur, masih menonton sinetron kesukaan Nenek. Gue disambut hangat, dipeluk lalu seluruh wajah gue diberi cium.

Selepas pelukan, Nenek memegang kedua pundak gue dan menanyakan, “Pacar Aa suka nggak sama syal yang Aa rajut waktu itu?”

Gue mendadak bisu. Gue tersenyum tipis sambil menggeleng. Gue terkekeh pelan, sangat pelan sampai sepertinya lebih mirip rintihan daripada kekehan. “Ng-nggak Nek,”

“Udah nggak—maksudnya, kita udah nggak gitu. Hehehe.”

Nenek menangkup pipi gue, menatap gue sendu. “Ngerti.” Tangannya masih di sana, merapikan rambut yang seharian ini belum gue sisir. “Nggak papa. Pasti diganti sama yang lebih.”

Mata gue memanas.

Gue tidak jarang menangis. Gue bisa dibilang terbuka soal menunjukan sedih. Namun di depan Nenek, gue seperti telanjang. Nenek seakan bisa melihat semua luka gue. Luka luar maupun dalam, Nenek lihat semuanya dan selalu siap sedia dengan kotak P3K-nya. “Aa Hiyu mau Nenek kupasin jeruk?”

Gue mengangguk.

Dan jatuhlah… jatuhlah air mata itu. Turun membasahi pipi. Runtuh pertahanan gue. Tembok gue runtuh. Bangunan ini hancur.

Nenek mengupas buah jeruk di depan televisi, ia menaruh bantal diatas pahanya lalu menidurkan kepala gue di sana. Layaknya anak kecil yang masih harus dikeloni sebelum tidur, sesekali Nenek usap-usap rambut gue.

“Aa teh cucu pertama… nggak berubah ternyata. Masih cengeng. Dulu pas tikusruk oge nangisnya nyampe dua jam. Tuh si Ibun sampe pusing… akhirnya berenti pas Nenek suapin jeruk.”

Gue tanpa sadar ikut menonton siaran sinetron sambil mendengar cerita Nenek. Nenek menyuapi jeruk, lalu menadahkan telapaknya sebagai tempat pembuangan biji.

Nenek mengupas jeruk, lalu menyuapi gue. Begitu terus sampai jeruknya habis.

“Sama Nek.” Ucap gue, masih dengan posisi tadi.

Nenek bertanya, “Apa yang sama?”

“Alesannya. Sama kayak yang dulu.”

Nenek bergumam. Lalu merapikan kulit jeruk yang berantakan, membangunkan gue agar duduk, mengelap bibir gue dengan tisu karena gue mengunyah jeruk dengan berantakan. Jorok, gue tau.

Nenek tidak mengatakan apa-apa. Nenek hanya memandangi wajah gue sambil mengelus pipi gue. Nenek menyuruh gue tidur di kamar paman gue yang sedang kunjungan luar kota.

Gue menjadi bayi lagi hari ini. Tidak ada si menyenangkan Donghyuck, tidak ada Donghyuck yang meramaikan suasana.

Hari ini, anak lelaki itu diantar sampai kasur oleh Neneknya. Hari ini, neneknya menyelimutinya seperti dulu ketika dirinya menangis karena sang Ibunda tidak mau membelikannya mainan baru. Neneknya mengusap-usap keningnya sambil dinyanyikan lagu timang-timang. Si anak lelaki perlahan terlelap. Nyaman karena Nenek selalu mahir memberi hangat.

Pada malam menuju pagi itu, si anak lelaki tidak bermimpi.

Namun bangunan hancur itu masih dalam tahap renovasi. Semoga, nantinya akan lebih kokoh dan kuat di segala sisi.


Hari-hari berikutnya, gue masih di rumah Nenek. Membantu Kakek, memasak, bermain bersama ponakan yang datang ke rumah, Adis yang sesekali mampir, atau mengantar Nenek ke pasar.

Melihat segala yang menyangkut Jeno begitu sulit.

Waktu itu gue sedang jajan di minimarket bersama ponakan. Ketika bayar, dia menunjuk kinderjoy. “Aa aku mau ini satu!”

Biasa saja sebenarnya. Sebuah permintaan yang bersifat spontan. Namun itu adalah salah satu snack favorit Jeno. Itu adalah snack kapitalis kesukaannya.

Keesokan harinya, gue memilih untuk tidak lagi pergi ke minimarket. Karena ternyata, melihat sesuatu yang berhubungan dengan Jeno mendatangkan perih yang tidak pernah gue undang.

Masih sulit.

Sangat sulit untuk melupakannya.

Tampang gue memang biasa saja. Namun di dalam hati… perih berhambur. Cinta lagi-lagi buat gue terpuruk. Cinta tidak lagi membuat gue senang. Cinta… membuat gue sengsara.

Raya masih suka menghubungi gue, by the way. Dia tanya kabar gue, mau makan apa atau sedang di mana. Gue jawab seadanya, nggak lebih. Gue sudah bilang padanya untuk jangan berharap lebih, dia pun syukurlah mengerti. Katanya, dia chat gue karena ingin tau kondisi gue seperti apa.

Gue baik-baik saja.

Atau mungkin tidak.

Injun dan Nana pun terus menghubungi gue untuk bertemu. Seratus persen yakin hendak membahas soal cabang baru Kafe Katumbiri. Mereka nggak henti menelpon gue hari itu. Gue akhirnya keluar lagi, setelah berminggu-minggu di rumah Nenek. Gue juga memutuskan untuk potong rambut sebelum bertemu mereka.

Mungkin, gue tidak harus melupakannya.

Karena semakin gue coba untuk melupakan, semakin datang bayang-bayang dirinya menghantui gue.

Mungkin, gue harusnya menerima.

Menerima bahwa bukan dirinyalah yang ditunjuk sebagai kebahagiaan abadi. Bahwa bukan bersama dirinya cerita gue akan berakhir. Menerima bahwa… dia hanya hadir sebagai pelengkap.

Menerima untuk jatuh lagi, bangun lagi, lalu memulai lagi, dengan seseorang atau tidak dengan seseorang.

Dan gue juga tidak harus membencinya. Melupakan bukan berarti harus membenci. Gue tidak terlalu paham dengan konsep 'benci untuk melupakan' karena gue pernah senang menghabiskan waktu dengannya. Yang sakit hanya ketika mendengar dirinya mengkhianati gue.

Dibanding benci, gue lebih merasa... hilang respect. Dan gue juga tidak ada hal yang mau gue katakan padanya. Kalaupun ada, pasti tidak akan masuk akal. Pasti gue akan bertindak bodoh.

Maka gue memilih untuk tidak menghubunginya lagi, dan memintanya untuk tidak menghubungi gue.

Kisah kami sudah usang. Tidak ada lagi harapan. Gue juga belum mau membersihkannya. Karena terlalu banyak lembaran.

Gue sadar, ternyata hubungan kami akan lebih baik jika hanya sebatas penggemar dengan idolanya saja. Tidak lebih. Tidak ada perasaan diatas itu semua.

Gue juga sadar, ternyata kata 'seterusnya' kurang cocok dengan hubungan kami yang akhirnya berakhir kandas.

Dunia ini pun, bukan milik kami.

Ejen punya Hiyu, dulu.

Namun tidak untuk selamanya.

Sekarang, selesai.

Hubungan ini selesai, perasaan ini pun perlahan-lahan memudar. Belum seluruhnya, namun gue akan terus mencoba. Menyibukkan diri atau mencari aktivitas lain agar bayangan tentang dirinya juga ikut memudar.

Apakah gue menyesal pernah menjadi salah satu penggemarnya? Tidak. Dia memang pantas digemari, karya yang dia hasilkan selalu indah. Dia penuh oleh bakat. Dia pantas mendapatkan banyak cinta untuk karya-karyanya.

Gue berharap dia bisa lebih jujur dengan dirinya, gue berharap pasangan hidupnya kelak akan memperlakukannya baik. Gue berharap dia bahagia, apapun kondisinya.

So... yeah.

Selamat tinggal, Jeno.

Sampai bertemu lagi, nanti.

Atau mungkin tidak.