alectar

You are my getaway, you are my favorite place.

POV: Donghyuck.

cw: kiss

Biasanya, tulisan dimulai dengan abstrak yang mengantarkan pada orientasi lalu komplikasi. Juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menulis, supaya hasil akhirnya baik dan pesan dari tulisan itu sampai ke hati pembaca.

Namun sudah gue tegaskan dari awal, bukan? Bahwa gue ini nggak pandai dalam menulis; gue hanya pelatih dance bagi anak-anak, yang kadang nyambi jadi barista. Gue sama sekali gak punya background yang membopong gue untuk menghasilkan tulisan cantik nan menggelitik.

Tapi gue pernah baca, katanya, ada beberapa fase dari manusia yang menyadarkan mereka bahwa hal yang tak mereka sanggup pun, bisa terjadi bahkan lebih dari lampauan mereka. Tanpa mereka sadari, hal tersebut sangat kontradiktif dengan sikap kesehariannya. Gue lupa baca di mana, cuman inget bagian kecilnya aja. Tapi kalo lo tau, tolong beri tau gue juga, ya. Supaya gue ingat keseluruhannya dan kita belajar sama-sama.

Contohnya adalah, pada malam itu, ada kepala Jeno yang ia sandarkan pada bahu gue. Bibirnya sibuk mengoceh tentang bagaimana pahit dan manisnya konser keliling Indonesia. Suka dan duka yang ia alami, atau keajaiban serta konyolnya takdir yang mempertemukan kami.

Sembari mendengarkan Jeno, tangan gue sibuk menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat yang keluar tanpa aba-aba dan terjadi sangat tiba-tiba, namun siapa sangka bahwa apa yang gak bisa gue curahkan secara verbal itu ternyata jadi karya yang disuka bagi para sukma?

Meskipun begitu, gue belum bisa menyimpulkan dengan tepat apa yang gue rasa.

Walau dalam hati, sungguh gue akan bersumpah, adalah fakta adanya ketika gue bilang bahwa jantung gue tidak lagi mengenal tenang setiap berada di dekatnya.

Walaupun begitu, gue masih belum yakin.

Karena menurut gue, ini semua terjadi terlalu cepat. Kayak nggak dikasih waktu buat pdkt kayak anak sma atau saling anter kesana-kesini demi hemat ongkos kayak pas jaman kuliah dulu.

“Ya emang gini harusnya, nyet. Elu tuh udah dewasa, gak perlu yang menye lagi buat mulai suatu hubungan.” 一Injun, 2022.

Sadar gue, coy. Omongan Injun tuh kayak ayam geprek level 10 langganan si Adis, sedep-sedep mampus gitu lah.

Atau, kalau boleh dimaklumi, waktu terakhir kali gue pacaran adalah saat masih berstatus mahasiswa. Waktu itu pacaran sama kakak tingkat, tapi gue ditinggal nikah tepat setelah dia lulus. Sebenernya sekarang udah nggak papa, cuman pedihnya dulu ketika dia bilang bahwa dia hamil─hasil dari perbuatan dengan lelaki lain, kadang masih kerasa aja cekat-cekitnya gimana dulu gue nyampe skip kelas karena kepikiran.

Whaks. Tapi sekarang aman, coy. Kita mutualan kok di instagram, anaknya juga udah gede. Namanya anaknya Shey, cakep dah.

Waduh kenapa jadi ngomongin yang lalu, yak? Let's go kita kembali ke topik utama.

Sekarang kami sudah di daerah Tugu, melipir ke KFC untuk mengisi perut karena selama di jalan tadi, Jeno terlelap. “Kamu mau apa?” Katanya, tangannya mencubit kecil pinggiran lengan hoodie. Gue menyebutkan beberapa menu pada mbak kasir di depan, ia mengikuti dengan tambahan creampuff. Tunggu, sejak kapan KFC jualan creampuff?

Setelah transaksi, kami duduk di dekat jendela. Ia menyeruput float dengan terburu-buru. “Pelan-pelan, Ejen. Floatnya nggak akan kabur.”

Matanya menjadi sipit kala senyumnya terbit. “Haus banget…”

Tidak banyak percakapan atau hal yang perlu dibicarakan. Kami hanya makan, minum, dan buang air ke toilet. Sampai ketika kami kembali lagi ke parkiran, hendak melanjutkan perjalanan, Jeno mengusulkan pemberhentian selanjutnya.

“Warpat tuh, katanya di puncak, ya?” Jarinya sibuk scroll ponsel yang menampilkan destinasi wisata puncak, gue melihat padanya sebentar, “Hm. Mau kesana?” lalu kembali fokus pada jalanan.

Ia mengangguk, tangannya kini mengutak-atik bluetooth ponsel dengan mobil. “Mau, tapi kan tadi udah makan. Terus kesana ngapain dong?”

“Minum? Sambil liatin pemandangan?”

Sudut mata gue menangkap Jeno yang terlihat berpikir. “Bakal boring gak ya… tapi penasaran banget.”

“Gak papa, kesana aja supaya kamu tau.”

“Oke deh, ayo ke sana.”

Jarak dari KFC Tugu ke Warpat tidak begitu jauh, gue melaju dengan pelan dan tenang. Ac tidak kami nyalakan, Jeno lebih suka angin dari luar serta pemandangan kebun teh yang indah. “Udah lama banget gak ke Puncak, banyak yang berubah…” Katanya.

“Nggak banyak-banyak banget, sih. Masih banyakan kota kalo dibandingin.”

Jeno menunjuk satu tempat saat gue hendak membelokkan setir. “Itu!”

“Dulu aku pernah ke situ sama keluarga.”

Gue mengikuti arah telunjuknya. “Riung Gunung? Adem tuh. Kamu mau kesana dulu nggak? Mengenang gitu lah ceritanya.”

“Nggak usah.”

Volume musik dikecilkan. Ada apa?

Jeno menjadi diam tak bersuara setelah menunjuk tempat tadi. Setelah gue menawarkan ke sana, tepatnya. Jadi banyak pertanyaan dan pikiran yang muncul. Awalnya gue mau tanya, kenapa kok mood kamu keliatan kurang enak? tapi pas orangnya excited ngeliat kabut bermunculan, gue merenungkannya.

“Ini udah mau nyampe?”

“Udah sampe malah.” Gue memutar setir dan mengikuti arahan tukang parkir. Lahan parkir di sini nggak luas-luas amat, jadi agak susah.

Gue mengajak Jeno untuk masuk ke salah satu warung langganan gue setiap ke sini, warung yang view nya paling bagus dan makanannya nggak mengecewakan.

“Ternyata gini ya…” Ia menarik kursi di bagian paling dekat dengan pagar.

Gue mengikutinya dengan duduk di depannya. “Iya, begini doang.”

“Aku kira tuh bakal kaya rumah makan cimory gitu.”

Gue tertawa pelan. “Beda banget, ya?”

Ia mengangguk, lalu menerima menu dari si mbak-mbak yang jaga. “Tapi bagus banget pemandangannya.”

Gue menyetujui Jeno dengan menyapu habis pandangan ke seluruh sudut. Karena ini sore menjelang malam, kabut menjadi lebih tebal dan cuaca mulai mendingin.

Jeno memesan teh tarik hangat sedangkan gue pesan kopi dengan roti bakar. Laper lagi, dan agak kurang enak aja sih kalo ngopi gak ada cemilan.

“Banyak anak muda, ya?”

“Iya. Anak-anak sekolah sering banget ke sini.”

Tidak lama dari itu, pesanan kami sampai.

“Berarti mereka main jauh banget dong? Sepanjang jalan tadi aku liat nggak ada sekolah deket sini…”

Gue menghapus jejak meses yang bertengger di sudut bibirnya, “Justru itu bagian serunya, motoran bareng.” lalu menyuapkan satu potong roti padanya.

“Kamu pernah?”

“Hm. Sekali, waktu beres UN dulu langsung ke sini.”

Jeno mengangguk-anggukan kepalanya. Matanya kini sibuk memandang ke segala penjuru yang bisa netranya tangkap. Teh tarik yang ia sesapi sembari memandang kini mulai surut. Kopi dan roti bakar kami pun sudah ludes. Gue tinggal menunggu perintah dari si ganteng, destinasi mana lagi yang akan kami datangi.

Warpat, selalu banyak pengamen. Daritadi aja, kayaknya ada lima pengamen yang mendatangi kami. Ada satu pengamen yang cukup rese karena nggak mau pergi bahkan setelah gue beri selembar uang. Ia malah diam di pagar, yang posisinya cukup dekat dari kami dan menggoda satu demi satu yang memandangnya. “Ih, mas yang itu kok ceweknya didiemin ajaaaa? Pegang dong tangannya pegaaang.”

Atau, “Eh om, bisa kali aku ikut om pulangnya, aduhhhh naha hareudang kieu yah,

Atau yang lain, saat kami kebagian juga, “Mas atuh itu si aa nya kedinginan oge, jaketnya atuh kasih mas kasiiihhhh.”

Jeno terkekeh malu. “Nggak, kalem aja.”

Tapi gesture tangannya yang terus menyilang di dadanya nggak bisa bohong. Ia masih ketawa karena si pengamen tadi nggak henti-henti kasih luconan.

Gue melepaskan jaket, namun Jeno langsung menahan gerakan gue untuk melepasnya. “Kamu juga kedinginan. Gak usah, Hiyu. Ini aku udah pake sweater.

“Iya, tapi kan-”

Your hand, then,

“Aku nggak mau kamu lepas jaket karena aku tau kamu juga kedinginan. Aku nggak se-lebay itu, tapi─”

Gue menunggu kalimat selanjutnya dengan seksama. Coy, kenapa makin deg-deg an gini.

“... kamu boleh rangkul aku. Supaya gak kedinginan.”

Nggak ada alesan yang mengharuskan gue untuk tetap diam di depannya. Gue bangkit, duduk di sebelahnya dan langsung merangkulnya. Secara otomatis, seperti udah kebiasa, kepala Jeno langsung ia sandarkan pada bahu gue. Tangan kanannya langsung bertaut dengan tangan kiri gue. Lalu, karena gue bandel dan super nggak tahan untuk tidak melakukannya, gue kecup singkat pelipisnya. “Supaya anget.”


Malam sudah menyapu petang, cuaca dan angin juga makin dingin. Jeno diam-diam terlelap. Gue nggak enak buat banguninnya, cuman kayaknya kami harus segera cari tempat nyaman buat istirahat.

“Hei,” Gue menepuk tangannya pelan.

“Hmm..?”

“Tidur di mobil mau?”

“Terserah, aku ngantuk banget.” Kepalanya mendusel pada ceruk leher gue, cari hangat.

“Bangun dulu gimana? Nanti sepanjang jalan cari hotel.”

Ia menatap gue sebentar, lalu mengangguk sambil tersenyum. “Kalo ke rumah kamu boleh?”

“Boleh. Berarti nggak jadi jalan-jalan?”

“Loh, ini kan lagi jalan-jalan?”

“Maksudnya lebih lama… kan kamu kemarin bilang mau ke Bandung?”

“Nggak usah, kita ke rumah kamu aja. Boleh?”

“Boleh.”

Kami segera meninggalkan tempat ini dan balik menuju mobil. Setelah bayar parkir, yang buset mahalnya konsisten dari dulu, gue puter balik dan berkendara ke daerah bawah, berdasarkan perintah si ganteng tadi, kami akan ke rumah.

Tapi gue bingung, coy. Mending bawa Jeno ke rumah si Ibun atau rumah Yasmin?

Ah, kayaknya kalo kecepetan gak si kalo bawa Jeno ke rumah Ibun? Mana ada si Adis, ntar doi berisik lagi. Belum soal pertanyaan ini siapa itu siapa? Aduh, nggak deh. Mending ke rumah Yasmin aja, sepi dan cocok untuk berdua.

Hmm, album-albumnya Jeno yang mau dia liat waktu itu juga adanya di rumah Yasmin, sih? Jadi ya… nggak ada salahnya kan berdua di bawah satu atap?

Jeno masih tidur sewaktu mobil keluar dari tol, ia bangun ketika gue berhenti di lampu merah. “Udah sampe mana?”

“Oh... ” Sebelum gue jawab, ia melihat ke depan dan sepertinya lebih tau ini di mana.

Awkward…

Gue menoleh sebentar ke samping, “Hm?”

“Denger lagu sendiri, terus kamu sing along lagu aku… “

“Bukannya tadi kamu tidur?”

“Ya kan samar-samar denger.”

Jeno mengganti lagu yang sedang diputar. Lalu mengatur agar joknya tidak terlalu ke belakang.

“Tidur lagi aja, nanti dibangunin kalo udah sampe.”

“Tiba-tiba nggak ngantuk.”

I like the summer rain, i like the sounds you make,” Gue bergumam mengikuti melodi lagu.

We put the world away, we get so disconnected!” Jeno melanjutkan lirik yang barusan gue nyanyikan, suara dari band Australia itu melengkapi malam kami.

Lalu kami bernyayi dengan riang bersama-sama. “You are my getaway, you are my favorite place. We put the world away, yeah we're so disconnected!

You are my favorite place, indeed.

Jeno lanjut menyanyikan seluruh bagian lirik, sedangkan gue harus fokus pada jalanan karena sedang belok memasuki kawasan komplek Yasmin.

Namun Jeno selalu penuh kejutan. Ia pegang sebelah tangan gue, buat gue menoleh padanya saat kami makin dekat dengan rumah. Juga lirik yang mendukung suasana, “Thank you,

Gue menaikkan sebelah alis, menunggu kalimat ajaib apa yang akan diucapkannya. “For being my sweet escape.

Dan malam ini, rumah dan perumahan lain jadi saksi bahwa fakta mengenai gue yang sangat rakus itu benar adanya.

Malam ini, gue dapat kesempatan untuk mencium bibirnya lagi.

Entah siapa yang memulai, entah ada dorongan apa, tautan kami bersambung lagi selepas gue membuka kunci. Ketika gue menyuruhnya istirahat ke lantai atas─kamar gue, dia cium singkat dulu bibir gue. Dan ketika gue mengganti pakaian, ada dia yang duduk diam memperhatikan di kasur.

Ada dia yang mengunci pandangannya terhadap apa yang gue lakukan. “Kamu mau ganti baju?” Tawar gue.

“Pake baju kamu, boleh?” Jawabnya.

Kalau nggak salah, gue lihat Jeno bawa backpack yang ukurannya cukup untuk menaruh pakaian di dalamnya. Namun mungkin ia ingin gue menjadi pusing semalaman, melihatnya memakai baju atau setelan tidur gue, biarlah. Biarlah, jika dia mau, gue lebih mau.

“Boleh.”

Gue memberikannya satu kaos dan celana tidur kotak-kotak, ia menerimanya lalu langsung mengganti bajunya di tempat.

Iya, di tempat. Di atas kasur gue, di depan mata gue. Di tempat biasa gue tidur.

Matanya menatap gue heran, “Kenapa?”

Ini serius gak sih dia masih bisa nanya kenapa?

“Nggak. Tidur yuk, jalan-jalannya lanjut besok lagi.”

Dia melipat pakaian bekas yang tadi dipakai, gue menaruhnya pada sofa dekat pintu.

Sewaktu gue bergabung dengannya di kasur, gue merentangkan sebelah tangan. Namun, bukan Jeno namanya kalau tidak penuh dengan kejutan.

Alih-alih tidur dengan tangan gue sebagai bantalan, ia malah merebahkan kepalanya pada dada gue, yang celakanya─bisa didengar detakan jantungnya.

“Kamu deg-degan…” Katanya, memainkan jarinya di atas perut gue.

“Gara-gara kamu.”

“Oh… maaf.”

“Tidur, Ejen.”

Cup.

Yang gue suruh tidur malah nyium bibir. Ya Allah.

“Hehe…” Malah nyengir ni ganteng atu.

“Kamu kalo sibuk jadi lupa cukuran, ya?” Ia pegang rambut-rambut yang mulai bermunculan di daerah dagu, juga kumis yang belum sempat gue cukur.

“Nggak suka, ya? Nanti aku cukur besok pagi.”

“Eh jangan... “

Tangan gue bawa untuk mengelus rambutnya. “Kenapa?”

“Aku suka… jadi geli-geli kalo cium kamu.”

Maaf, gue gak tahan tapi gue bakal peluk dia kenceng sekarang juga.

“HIYUUUU AKU NGGAK BISA NAPAS!!”

“SIAPA SURUH KAMU GEMES!!”

“AAAAAA HIYUUUUUUU!!”

“EJEEEEEN YA ALLAH LUCU BANGET MUNGIL KECIL KALO DIPELUK KENAPA YA?!”

“HIYU AKU BENERAN─”

“GAK BISA NAPAS!!”

Gue melepas rengkuhan, ia terlihat mengatur napas. “Maaf…”

“Ngantuk… tidur yuk, tapi jangan dipeluk kayak tadi.”

Gue terkekeh. “Iya, Ejen sayang.”

Setelah dia memposisikan lagi seperti semula, gue mengecup kuncup kepalanya. “Gini?”

“Iya, gini.”

“Met tidur…”

“Loh? Udah tidur beneran?”

“Selamat bobo Ejen sayang…”

Monthly, weekly, nightly and daily—If i'm falling baby don't blame me.

POV: Jeno.

kiss, kissing, a bit of dry humping, cuddles (sorry if its too cringey) sorry in advance!! :D aku ngga jago buat adegan seperti ini ok maaf kalo ada yg kurang hihi

Ada sesuatu dari Donghyuck yang baru aku temui dari sekian banyaknya orang. Ada hal misterius darinya, yang membuat ku nyaman jika terus berada di dekatnya. Walaupun kami sibuk dengan ponsel masing-masing, asal ada Donghyuck di sebelah, aku nggak masalah sama sekali.

Ia datang dengan tangan kanan yang penuh dengan plastik dan paper bag. Bisa ku tebak, itu adalah soto dan bolu yang tadi aku sebut di chat. Tangan kirinya masih menggenggam ponsel.

Ia menyunggingkan senyum. “Teleponnya udah boleh dimatiin belom?”

Aku mempersilahkannya masuk, lalu ia menaruh bawaannya di meja makan. Aku mematikan telepon, menutup pintu, dan menyusulnya ke meja makan.

“Ada mangkok?” Tanyanya sambil mengeluarkan makanan dari plastik.

Aku mengambil dua mangkok dan beberapa piring kecil, menatanya pada masing-masing tempat kami yang duduk berseberangan. “Tadi macet nggak?”

Donghyuck telaten mengumpulkan sampah plastik bekas soto pada plastik yang lebih besar lagi. “Nggak, padet aja.”

“Aku tadi beli nasinya juga.” Lanjut Donghyuck.

“Wah…”

Donghyuck mengelap telapaknya pada celana sampingnya, “Kamu belum makan sama sekali?”

Aku menyerahkan serbet, “Aku sengaja gak makan, soalnya kamu bawa banyak makanan.”

“Waduh?” Katanya sembari mengelap tangan pada serbet yang barusan ku beri.

“Berarti sekarang makannya harus banyak.” Perintahnya.

Semua makanan yang ia bawa telah tersaji dengan baik di meja makan. Aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa gambar. Sedangkan Donghyuck, terkekeh melihat aku yang sibuk menata sendok serta garpu agar hasil gambar yang ditangkap terlihat bagus.

“Aku sih kalo udah laper nggak ada waktu buat foto.” Katanya, setelah aku akhirnya meletakkan ponsel di meja.

Aku mengambil sedikit sambal dan menuangkannya pada mangkuk berisi soto, “Ini bahan pamer ke mbak Yer, tauuu.”

“Ya udah, sekarang makan yang banyak, oke?”

Aku mengangguk. Langsung melahap soto yang telah ku koreksi rasanya setelah ditambah sambal dan kecap.

Ternyata Donghyuck adalah tipe yang setiap makan soto, akan menuangkan seluruh nasi ke mangkok, sedangkan aku adalah tipe yang menuangkan kuah soto ke piring nasi. Kami sangat berkontradiksi.

Di sela aku memakan soto, aku ambil dua potong bolu lalu langsung melahapnya. Donghyuck yang berada di depanku menatap heran, satu alisnya terangkat. “Abisin dulu sotonya…”

“Iya, sambil.”

Setelah mengunyah habis bolu, aku lanjut menghabiskan soto dengan nasi. Donghyuck lebih dulu habis, ia menunggu aku makan di sini sambil melahap bolu lapis.

“Donghyuck,”

“Mau kerupuk.”

Donghyuck merobek plastik kerupuk, lalu meletakkannya di sebelah mangkuk. “Oh iya,” Aku mengunyah kerupuk yang baru dicelup ke kuah soto. “Final lyric dari tulisan kamu udah jadi loh!”

Sebelah alisnya terangkat, ia menghabiskan sisa-sisa nasi yang masih menempel di mangkok. “Wiih, kalo lagunya? Udah jadi juga?”

Aku mengangguk. “Hmm. Bentar aku play!” Aku menyelesaikan suapan terakhir dan membereskan peralatan makan kami. Donghyuck membantu dengan menaruh semuanya pada cucian piring, aku dapat bagian untuk beresin dan lap meja.

“Eh, gak usah dicuci! Ntar sama aku aja, Donghyuck…”

Ucapan ku dihiraukan. Ia malah meneruskan sampai selesai. Aku nggak diberi kesempatan buat ikut bantu juga, ya sudahlah.

Selagi Donghyuck cuci piring, aku pindah ke sofa dan menyambungkan jaringan Bluetooth speaker dengan handphone. Hendak memutar lagu yang telah sampai pada tahap finalisasi, menunggu Donghyuck beri apresiasi.

Karena sekarang, aku sedang ingin dipuji.

Karena tiba-tiba, aku mendadak haus validasi.

Dan aku mau segala afirmasi itu keluar dari mulut Donghyuck.

Donghyuck bergabung dengan ku di sofa, duduk di sebelah ku─lalu menepuk-nepuk pahanya seakan beri tanda bahwa ada yang lebih nyaman daripada sekadar bantal.

Aku bisa istirahat bersamanya lagi.

Tanpa adanya alasan lain, aku segera memposisikan badan untuk berbaring dengan pahanya sebagai bantalan. Nyaman, mau kayak gini untuk waktu yang lama. Aman, mau kayak gini untuk selamanya. Kalau bisa, dan semoga.

“Wah… Senengnya dapet privilege buat dengerin lagu kamu duluan.” Tangannya ia bawa untuk memainkan rambutku. Mengelus dahiku atau sekedar mencubit kecil pipi.

Aku terangap, “Dengerin dulu… bagus nggak?”

Donghyuck merunduk, kepalanya makin dekat dengan kepalaku yang sekarang terkunci pada netranya. “Ba—”

Kiss me first,

Before you say anything, kiss me first.

Ia tersenyum miring. “Kamu dong.” Lalu menjauhkan jangkauannya dari pandanganku.

“Coba kamu yang cium aku duluan.”

Aku mendecih kesal. “Ck, nyebelin deh…”

Aku menarik kerah kaos polo yang dikenakannya, mendekatkan kembali jangkauan yang tadi sempat menjauh, lalu mengecup bibirnya pelan.

Adalah Aku yang terhanyut dalam kalimatnya yang mengucapkan, “Bagus, Jeno. Lagunya bagus, indah, pasti buat semua orang bungah.” Tepat setelah aku lepas bibirku padanya, dan tepat ia mengatakannya di telingaku.

Tepat sekali membuat aku ingin teriak karena bisikannya membuat aku haus lagi. Mau lagi. Pengen lagi.

“Jangan bisik-bisik gitu…” Aku ikut mengecilkan suara. Tanganku bertengger pada pipinya yang kini aku tekan, bibirnya jadi mengerucut lucu.

Ia datang lagi pada telingaku, “Supaya gak ada yang denger, soalnya nanti mereka iri!”

Aku raih lagi pipinya untuk mendekat, membisikkan lagi kalimat yang mengalir bagai air pada telinga kananya. “Kita cuman berdua, siapa yang bakal denger…?”

“Mon—”

Cup.

“Kamu demen ya, sama bibir aku?” Pemandangan yang berada di depanku sekarang ini adalah wajahnya yang menggemaskan, bibirnya yang seakan terus beri dorongan untuk dihadirkan kecup. Matanya yang berbinar, dan poninya yang terkadang menutupi sinar netranya.

“Iya.”

Aku mengusap pelan pelipisnya, “Tapi ada lagi yang lebih aku suka.” lalu menekan telunjuk pada bagian yang dituju.

“Ini…”

“Apa tuh?”

Your moles…

Ia terlihat bingung, terkekeh renyah atas jawabanku. “Masa demen sama tahi lalat sih?”

“Ih, kamu tau nggak sih? Katanya moles are where your past love used to kiss you. And you have… many…” Aku mengabsen satu persatu tahi lalat di seluruh bagian wajah Donghyuck.

Mulai dari bagian bawah mata, dekat hidung, samping mata kanan dan bawah pelipis, pipi, tiga di bagian leher, dan terakhir─bibir yang aku beri bonus kecupan.

Molesnya kan nggak cuman di bibir, yang lain iri tuh, Jen, nggak dicium.”

Oh, mau lagi?

Kalau gitu jangan suruh aku berhenti, ya.

Aku bangun dari posisi baring. Menghadapnya, aku pandangi lamat sebelum melakukan apa yang ia bilang tadi. “Mau dipangku kayak waktu itu.”

Sudah pernah aku bilang, belum, ya? Kalau Donghyuck punya senyum paling menawan. Senyum yang jika ia perlihatkan deretan giginya akan bawa suka cita. Namun jika hanya seringai tipis, bisa bawa bencana. Bencana untuk hati dan jiwa raga. Bencana, karena entah sejak kapan dan darimana ini berasal, senyum itu seakan pertanda bahwa eksistensi dominasi perlahan akan mengakuisisi.

Donghyuck tersenyum simpul. Aku merasakan tubuhku diangkat dengan mudah. Membuatku duduk di pangkuannya, dengan lenganku yang otomatis mengunci di lehernya. Kami semakin dekat, dan sekarang hatiku menyorakkan selamat.

Selamat kacau!

Selamat meracau!

Selamat suka!

dan…

semoga selamat.

Aku memulai dengan mencium yang paling dekat─paling mencuri perhatian; bagian bawah mata yang dekat dengan hidung. Lalu bagian yang lain ku beri kasih, ku beri sayang, ku beri cinta, ku beri semuanya yang aku bisa.

Bagian selanjutnya, aku harus menunduk dan Donghyuck agak mengangkat sedikit kepalanya. Karena yang ku beri kecup sekarang adalah leher.

Aku mengelusnya pelan, lalu perlahan mencium mereka satu persatu. Kemudian aku lihat wajah Donghyuck yang mulai terpejam.

Kecupan di lehernya, perlahan berganti menjadi gigitan kecil. Dan ini semua salahku, karena tidak lebih dulu meminta izinnya. Ini salahku, yang buat ia hanyut dalam pejaman mata. Ini semua salahku, karena eratan di pinggang terasa lebih kencang. Ini semua salahku, dan lain kali aku akan mengulanginya lagi.

Kecupan berganti menjadi gigitan, dan gigitan berganti menjadi sapuan.

Bisa kucium harum dari parfum Donghyuck di sini.

Sapuan lidah yang ku bawa pada lehernya, mengundang geraman-geraman. Tanganku sekarang berjalan pada belakang surai hitamnya, selagi bibirku ku pautkan pada moles yang sengaja aku taruh di bagian akhir untuk diberi kasih; moles Donghyuck di tengah garis bibir bawahnya.

Ia menarikku makin mendekat. Tangannya mendekap pinggangku, terkadang juga punggung ini diberi usapan karena aku yang terburu-buru. Sesaat kami ambil jeda karena menipisnya kadar oksigen di sekitar kami, Donghyuck berkata, “Mulut kamu rasa bolu lapis bogor.”

Aku tertawa, lalu bawa tanganku ini untuk mengelus bibirnya pelan, “Mulut kamu juga rasa soto!”

Ia pasang wajah pura-pura panik. “Waduh, gimana dong? Apa udahan aja, nih, sesi cium menyiumnya?” Donghyuck merangkup rahangku dengan kedua tangannya, lalu ia kecup setiap inci dari wajahku.

Aku hanya mengikuti kemana ia akan bawa semua ini. Dan ketika ia balas perbuatanku pada lehernya tadi, sapuan lidahnya di leherku membuatku lagi-lagi, secara otomatis, beri friksi pada bagian bawah.

“Jeno,” Ini pertama kalinya aku lihat mata Donghyuck jadi sayu.

Ketika geraman keluar dari bibirku, ia langsung meredamnya dengan menelusupkan lidahnya masuk. Tangannya yang mengerat pada pinggang, perlahan turun pada bagian bokong.

“Maaf—”

“Lagi,”

“Lagi, Donghyuck.”

Remasan. Usapan. Elusan. Aku mau lagi.

“Jeno—”

“Jeno maaf—”

“Boleh, Donghyuck.”

“Jeno mau apa?” Ia menghentikan pergerakan ku di bawah sana.

Tanganku kuletakkan pada dadanya, “Ngikut kamu.”

Donghyuck menyampirkan rambutku ke samping telinga, “Aku nggak bawa pengaman, kamu punya?”

Aku menggeleng.

Tangannya nggak henti kasih puja dengan terus bermain pada wajahku. “Aku juga nggak bawa lubrikan, kamu punya?”

Aku menggeleng lagi.

Truthfully speaking, aku jarang melakukan hubungan seksual. Jarang bukan berarti tidak pernah. And brutally honest, terakhir kali aku melakukannya adalah waktu pertamaku; yang sudah lewat kurang lebih dua tahun lalu. Aku tidak menyimpan karena aku bukan termasuk orang yang aktif pada hal semacam ini, juga karena faktor sibuk dan aku cukup selektif untuk memilih.

Ia menarik napas dalam. “Kalo gitu jangan, ya?”

“Tapi kamu keras, Donghyuck…”

“Jeno, jangan dipegang.”

“Mau aku bantu?”

Ia menahan tanganku di kepunyaannya. “Jangan, sayang. Biar aku urus sendiri nanti.”

Dirinya masih menahan pinggangku agar tidak lagi bergerak dan memperparah yang di bawah sana. “Jangan cemberut gitu dong…”

Aku membenamkan kepala pada perpotongan lehernya, memeluknya erat dengan masih dalam pangkuannya. “Ya udah nggak apa…”

“Tapi gantinya kamu nginep ya?”

“Aku besok—”

Aku makin mengeratkan pelukan. “Please?

“Iya, Jeno.”

Sudah kubilang, bukan? Ketika aku bersama Donghyuck, aku juga mau mendengar segala afirmasi sayang darinya. Maka sekarang, jika dicap sebagai manusia paling haus akan validasi pun, aku nggak masalah.

“Donghyuck,”

Aku masih berada di atas pangkuannya. “Boleh ngomong yang lain.”

Ia bermain dengan surai hitamku. “Sayang?”

Aku menggeleng. “Bukan,”

Telunjuknya mengusap tulang pipiku, “Terus apa, sayang?”

“Ejen. Donghyuck boleh panggil aku Ejen.”

Ia menyeringai, namun sedetik kemudian senyum yang menyebalkan itu hadir. Menyebalkan karena aku tidak bisa menahan untuk tidak menciumnya.

“Ejen.”

“Iya…”

Donghyuck tertawa, lalu tersenyum, lalu tertawa lagi, lalu aku diberi cium di pipi, lalu tersenyum, lalu bawa aku pada dekapan hangat, lalu tanganku digenggam, lalu punggung tanganku dicium, lalu aku terbang, dan jatuh lagi pada pelukannya.

“Hiyu.” Ucapnya, masih mendekapku erat.

Hm? Hiyu itu apa, Donghyuck?”

“Ejen juga boleh panggil aku Hiyu.” Katanya.

Yang ku lakukan adalah persis dengan yang tadi ia lakukan; tertawa, terseyum, lalu makin saling mendekap erat.

“Hiyu… hehehe.”

“Iya, Ejeeeeen?”

“Hiyu bobo sama Ejen lagi, ya…”

“Iya, nanti Hiyu nyanyiin lagi sampe Ejen bobo.”

“Hiyu nginep ya…”

“Iya sayang.”

“Ih kok nggak pake Ejen…”

“Iya, Ejen sayang…”

“Hehehe… kita lucu, ya?”

“Ejen doang yang lucu.”

“Iya deh Ejen doang yang lucu.”

“Ejen mau apa sekarang?”

“Masih mau dipeluk Hiyu…”

“Sampe kapan?”

“Nggak tahu, biarin gini aja…”

“Oke sayang.”

“Ih, Ejennya mana…”

“Oke, Ejen sayang…”

This night is sparkling一enchanting to meet you.

POV: Donghyuck.

cw: kissing.

MEEEEEEEEEEEEEEENN.

GUE一NYET, BENTAR.

ADUH TANGAN GUE DIPEGANG一

GUE LAGI NYEBRANG ELAH NAPA LU PADA MINTA NARASI SI?!

Ganggu orang pacaran aja dah.

Coba tebak, pergerakan apa yang sedang kami lakukan dan di manakah kami berada saat ini?

Coba tebak, berapa kecepatan jantung gue saat tiba-tiba ada staf nyamperin dan ngajak gue ke backstage?

Coba tebak, udah berapa hewan yang gue absen dalam hati dan berapa kali gue nyubit tangan sendiri; mastiin ini mimpi atau bukan, ilusi atau nyata, fiksi atau asli, tapi bodo amat sama itu semua karena yang kejadian sekarang adalah genggaman tangan kami yang mengerat.

Gue pengen teriak banget, coy.

Karena gue baik hati dan tidak sombong, gue akan cerita dari awal bagaimana ini semua terjadi.

Jadi begini,

sewaktu gue memantau dan hadir pada dance competition yang Jisung ikuti di salah satu Mall Jakarta, sebagai pelatih yang baik, gue datang kesana untuk beri Jisung emotional support. Sebenernya nggak perlu gue pantau, gue yakin murid gue pasti akan tampil dengan keren dan kece. Namun ini sudah menjadi tradisi yang diajar Ibun dari pertama kali gue mengajar sebagai pelatih, ”...setiap ada murid yang berkompetisi, akan lebih baik jika kamu hadir di sana dan melihatnya tampil. Karena dengan itu, kamu akan mencintaimu pekerjaanmu dengan sepenuh hati. Karena dengan itu, muridmu akan lebih percaya diri, nyaman, dan tenang selama berkompetisi.” Dari awal, gue sudah mewanti-wanti pada Jisung untuk tetap tenang walau jiwa terbantay. anjay. Hanya saja, gue nggak nunggu sampai acaranya selesai; gue ngejar konsernya Jeno.

Singkat cerita, ternyata gue nggak begitu telat dan konser belum mulai一yang berarti bagus, gue nggak perlu nunggu lama.

Konser Jeno, seperti biasa, selalu asik dan menarik. Keren. Lagu, koreografi, outfit, semuanya terlihat cantik dan menyatu dengan dirinya yang sempurna. Gue kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan dirinya.

Singkat cerita lagi, ketika konser beres dan semua orang satu persatu meninggalkan tempat ini, ada seseorang yang menahan gue keluar. Perawakannya biasa, namun ototnya luar biasa. Wadaw. Maaf salah fokus, yang gue bisa pastikan darinya adalah; ini bukan Mbak Yerim ataupun Mark, karena gue sudah mengenal wajahnya ketika kami bertemu di kafe waktu itu.

“Dengan mas Donghyuck?”

Gue bangun dari kursi tribun, “Betul, om.”

“Mari saya antar ke backstage.”

Weh, om. Ngaco ah.”

“Dari foto yang dikasih oleh mas Jeno, saya yakin pasti ini dengan mas Donghyuck.”

“Waduh… ntar saya di backstage ngapain, om?”

“Ya… masnya kalo mau nyeduh emih juga boleh.”

Aduh, kebelet boker keringet dingin jadinya. “Emihnya ada yang rasa rendang?”

Si om terlihat menggaruk kepala. “Samyang juga ada.”

Mantap. Mari kita mengikuti rute yang dipimpin si om ini untuk ke backstage. Selama di jalan, gue lihat kanan-kiri; banyak orang sibuk. Ada yang terlihat sedang mencari temannya yang nggak tahu keberadaannya di mana, ada yang tersenyum bahagia, ada juga yang sedang dimarahi oleh salah satu staf, mungkin buat salah pada pekerjaannya. Entahlah, nggak urus. Yang gue urus adalah saat gue memasuki area backstage, memasuki waiting room Jeno, jantung gue nggak lagi mengenal kata tenang.

Pemandangan yang pertama gue lihat adalah Jeno yang sedang memakai hoodienya, para make-up artist dan stylist sibuk merapikan peralatannya, juga yang lain sibuk dengan urusan masing-masing.

“Haaaa…! Donghyuck! Akhirnya sampe juga.” Sapanya ketika berbalik ke arah pintu.

Gue balik menyapa. “Kaget nih tiba-tiba dijemput si om!” Lalu dagu gue bawa menunjuk ke arah si om tadi.

“Makasih ya, pak.” Kata Jeno pada si om yang ternyata security staf.

Si bapak mengangguk dan kembali berjaga di luar pintu.

Chat gue gak dibales?”

“Eh?”

“Lo nggak bales chat tadi.”

“Iya… sibuk midioin artis soalnya.”

Jeno terkekeh seraya mengambil tasnya di sofa, “Tiga jam yang lalu kan konsernya belum mulai?”

“Oh… iya一itu, gue lagi buru-buru ke sini.” Gue menggaruk kepala. Nyengir dikit terus duduk waktu si ganteng nyuruh duduk di sofa depannya yang berada di tengah ruangan ini.

“Abis ini, jalan-jalan yuk!”

“Emangnya lo gak cape? Abis ngonser kan?”

“Ya… capek, sih,” ia menyuap beberapa chacha di meja. “Gimana kalo lo main ke apart gue aja?”

WadAww.

Meeeeeen.

“Boleh?”

“Boleh lah, kalem aja kali.”

Sebelum memutuskan berangkat, kami dihadapkan oleh dua orang yang terus menanyakan identitas diri gue, memaksa untuk mengantar, dan melihat gue dengan tatapan intimidasi dari atas sampe bawah.

Siapa lagi kalo bukan mbak Yerim.

Walaupun Mark terlihat santai, namun gesture tangannya sama sekali tidak menunjukannya. Ia terus mengatakan, “kalo ada apa-apa sama Jeno, lo yang bakal gue hubungin pertama.” Lalu ditimpali oleh si cantik wanita perkasa ini, “awas aja kalo lo sampe jahatin Jeno! Gue obrak-abrik satu Indonesia.”

Tetapi itu semua berhasil kami lalui dengan Jeno yang tak henti meyakinkan mereka bahwa gue orang baik dan ia bisa menjaminnya. Padahal kita baru ketemu tiga kali… siapa tau gue maling apart lo, kan? Ngapa ni artis satu percaya amat dah ama gue?

Aduh, pokoknya begitu dah. Sori gue nggak pinter cerita soalnya gue pelatih dance bukan penulis一walaupun multiverse, eh一multitalenta (fun fact, gue ditakol sama Injun karena ini) gue sangat buruk jika menjadi story teller, apalagi penulis.

Singkat cerita lagi, ketika kami sudah di parkiran dan bersiap menuju ke kediaman si artis ini, ia malah mengajukan diri untuk nyetir. Pas gue tanya lo ga capek? dirinya menggeleng dan mengusir gue dari kemudi supir.

Ya gue mah demen, coy, disetirin Jeno. Cuman aja nih ya, gue kalo jadi ni orang udah pake supir dah. Buat ketemu sama orang aja kayaknya gak ada lagi energi, apalagi ngajak main.

Heran, ini artis satu kok energinya gak ada abisnya.

Di mobil, gue hanya diam dengan dia yang menyetir pelan-pelan. Sampai akhirnya keheningan canggung ini pecah karena gue memutar lagu.

“Konser lo selalu keren dah.”

Jeno tersenyum. “Thanks.

Apart lo masih jauh?”

“Bentar lagi, lo gak liat ini gue lagi belok ke gedung?”

Boro-boro liat jalan, ini dari tadi gue liatin lo nyetir aja bawaannya mau gue foto terus upload ke twitter.

Sorry nggak fokus.”

“Yah…!” Jeno menepuk dahinya.

“Kenapa?”

“Tadinya mau mampir indomaret dulu beli kinderjoy.”

Kinderjoy…? Snack kapitalis anak bocah itu bukan si?

“Ntar gue ke indomaret dulu nggak papa kan?” Katanya, tangannya terampil memarkirkan mobil.

“Gue ikut.”

Dan, lo semua pasti tahu apa yang terjadi setelahnya.

Kami ke indomaret seberang gedung bertingkat ini karena kinderjoy minimarket Apartemen ini tiba-tiba habis stok. Nggak tahu emang ada orang kaya yang abis borong, atau emang ini takdir gue sama Jeno supaya lebih banyak waktu berdua?

Gue akan pilih opsi kedua.

“Donghyuck, pegangan gue, please.”

“Oke.”

“Donghyuck, tangannya.”

“Iya, ini tangan gue…”

“Donghyuck, tangan gue kenapa nggak digenggam?”

“Ini tangan gue…”

GUEEEEE…, dari awal Jeno bilang pegangan gue bingung. Boleh ga si sebenernya? Jadi gue diem aja, tangan gue taro di samping celana. Nggak ada gerakan sama sekali, sampe akhirnya Jeno yang genggam duluan dan mulai jalan setelah ia menekan pelican crossing.


“Lo laper apa doyan?”

Yang gue lihat saat ini adalah Jeno yang sudah menghabiskan tiga buah kinderjoy dalam jangka waktu kurang dari 5 menit, dan masih terus membuka yang baru.

“Hmm… lebih ke self-reward? Karena konser beres.”

“Boleh pegang kepala lo nggak?”

Jeno berhenti menyuap. “Ngapain pegang kepala gue…? emangnya lo nggak punya kepala buat dipegang?”

Waduh, mampus. Bukan gitu maksudnya. Maksud gue tuh, mau elus-elus kepalanya gituuuu kek orang-orang. Soalnya dia pantes dapetin itu karena konser keliling Indonesia bukan sesuatu yang mudah dilakuin, 'kan?

“Tapi boleh…” Mungkin Jeno melihat mata gue yang jadi melirik kesana kemari setelah yang dibilangnya tadi.

Gue memajukan badan sedikit, lalu mengelus kepalanya pelan. “Jeno keren, makasih ya buat konser dan albumnya.”

Jeno menahan sendok mini itu di mulutnya, matanya menyipit dan senyumnya yang paling cerah terbit. “Kaget… tapi makasih juga, Donghyuck.”

“Lah, gue di-makasihin karena apa?”

For being a good friend, a really good friend.

Aduuhhhhhh gue salting mampus.

“B aja kali ah.”

Setelah menghabiskan snack kapitalis yang barusan dibeli, ia bangkit dan membuka kulkas. “Kita kayaknya delivery aja deh, kulkas gue isinya nggak ada yang bisa dimakan.”

Gue mengangguk, lalu segera membuka aplikasi gojek untuk memesan makanan yang sekiranya masih buka di waktu menuju tengah malam. “Mau apa, Jen?”

“Apa aja, tapi pizza enak deh kayaknya.”

Beruntung, masih ada yang buka. “Lo mau yang mana? Atau mau pilih sendiri?”

Jeno menarik bangku pada meja makan, membuatnya mendekat dengan gue. Matanya ikut melirik ke layar ponsel yang gue scroll. “Gue mau yang itu!”

Super supreme pizza?

“Iya. Sama lasagna juga. Hmm一choco lavanya juga mau!”

“Oke, gue mau yang ini.”

Jeno beralih pada sofa panjang depan televisi. Ia menyalakan nya, mencari-cari yang dia mau namun sepertinya nggak ketemu juga. “Film yang seru apaan sih?”

“Sinetron azab?”

“Itu apa, Donghyuck?”

“Sinetron religi tapi konyol. Masa ada salah satu episode, judulnya Mati terkubur cor-coran dan tertimpa meteor!”

“Wah… itu pasti genrenya action, ya? Di youtube ada 'kan?”

Gue terkekeh canggung. “Ya ada, cuman一”

“Lo sini deh, gue bingung ngetiknya gimana.”

Lalu berakhirlah dengan kami yang menonton sinetron langganan si Ibun kalo lagi nyetrika. Gue bingung banget sumpah, ini orang serius mantengin dari awal mulai sampe sekarang. Gue aja nggak sanggup nontonnya. Apalagi pas dia bilang ini film action, capek pengen ketawa sambil nangis, coy.

“Eh, Jen, gue mau nanya deh.”

“Ya tanya aja.”

“Pas tadi si om nyamperin gue, dia bilang lo punya foto gue. Padahal kan, lo nggak tau sosmed gue apa. Gue juga belom pernah ngirim pap ganteng. Lo dapet dari mana dah?”

“Yakin gue gak tau sosmed lo?”

“Lo sebenernya mata-matain gue, ya?”

“Iya. Gue juga tau alamat tempat lo tinggal, kerja, kafe temen-temen lo.”

“Harus banget ya, Jen…?”

Jeno memalingkan tubuhnya ke hadapan gue. “Menurut lo?” tolong banget ini mah, gue nggak bisa untuk nggak teriak indah! saat wajahnya penuh dalam jangkauan mata gue. Saat jarak pandang kami begitu tipis, saat gue terbata-bata menjawab pertanyaannya.

“Harus, soalnya lo artis.”

Si artis malah ketawa. “Boong. Ngapain juga gue selidikin orang sampe ke akarnya.” Ia fokus pada filmnya lagi.

“Terus tau dari siapa?”

“Aji. Sepupu gue.”

Gue mengernyit heran, “ga kenal ah sama Aji, kenalin ya ntar.”

Si artis ini malah makin ketawa. “Lo udah kenal, kok.”

“Aji. Adek Jisung, sepupu gue yang kebetulan ada lomba di Jakarta, berbarengan dengan konser gue hari ini.”

”...familiar enough?

ANJRIIIITTTTT DUNIA HANYA SELUAS DAUN KELOR.

SI JISUNG JUGA NGAPA KAGAK PERNAH CURCOL DIA SODARAAN SAMA ARTIS SIIIII.

LAGI-LAGI GUE BERADA DI PUNCAK KEKONYOLAN.

Gue masih diam tak berkutik. Bergeming. Bergerak. Bergeser. Gue masih menghadap Jeno yang kini sibuk dengan Hpnya. “Oh iya! Dia menang nggak, ya?”

Gue nyampe lupa tanya kabar murid gue gimana pengumuman lomba. Ini semua gara-gara lo, Jeno…

Jeno menghadap ke samping lagi, tubuhnya ia miringkan menghadap gue lagi.

“Donghyuck…”

“Hm?”

“Aji… Ajii menang!”

“Hah?”

“AJI MENANG, DONGHYUCK!”

“JISUNG? MENANG?”

Gue bangun, meraba-raba kantong celana namun tak kunjung menemukan ponsel yang sedang gue cari.

Bodoh, tadi lo taro di meja makan abis pesen pizza.

“IYA! AJI MENANG!”

Jeno ikut bangun, matanya berbinar menunjukkan pesan dari Jisung yang mengatakan ia dapat peringkat.

“JUARA SATU??”

“IYA! AJI JUARA SATU!”

“HAAAHH INI一”

“DONGHYUCK!!”

“JEN!!”

Nggak tau siapa yang mulai, nggak tau siapa yang lebih dulu ambil langkah, namun kami sekarang berpelukan.

Menyalurkan gembira.

Merayakan suka cita.

Berbagi hangat.

Hanyut dalam senang.

Tubuh gue direngkuh erat, gue balas rengkuh juga ketika ia terus bagi tawa dalam sukanya. Bisa gue bilang, ini bukan gue yang dipeluk dan dia yang memeluk. Tetapi ini tentang berpelukan. Kami saling memeluk karena ini adalah bahasa tubuh yang paling meyakinkan, membuat kami saling terhubung melalui perasaan, melalui hati, lalu melalui nafas kami. Pelukan ini… bagai mendorong kami mengalir dengan energi kehidupan.

Dan rasanya sangat nyaman.

Dan gue begitu lega.

Dan gue bangga一mengingat berapa jam yang Jisung habiskan di ruang latihan untuk mengulang gerakan. Berapa hari ia berlatih, berapa menit ia istirahat, dan hanya sepersekian detik ia habiskan untuk mengeluh.

Rasanya… lebih dari kata luar biasa. Melihat anak didik gue bisa mendapat juara. Murid yang gigih, telaten, dan rajin mengikuti kelas bisa membuktikan pada orang-orang di luar sana hasil kerja kerasnya.

Gue merenggangkan pelukan. “G-gue seneng一bangga, sumpah!”

“Jen一gue…, lo harus tau gimana beratnya Jisung latian!”

“G-gue, Jen sum一”

“Anjrit.”

“Jisung anjriiit.”

“Lo paham kan一”

Cup.

Dan pada malam ini, gue mohon pada Tuhan untuk kecupan lainnya datang.

Cup.

Lah, beneran terkabul. Tuhan, boleh sekali lagi gak.

Cup.

Boleh nambah di pipi gak…

“Donghyuck, hape lo bunyi. Kayaknya udah sampe deh pizzanya.”

Menurut lo, gue masih bisa makan nggak abis dicium Jeno?

Jeno masih berada tepat dihadapan gue. Namun gue masih perlu menyerna perasaan senang juga bingung ini lebih lama. Jeno lah yang duluan meninggalkan gue dengan senyum tipis dan kedipan sebelah matanya.

Gue nggak bisa berkutik…

Namun bukanlah gue jika tidak serakah.

Sewaktu Jeno hendak menuju meja makan, gue menahan pergelangan tangannya dan mengecupnya cepat. “Reward hari ini.”

Jeno tersenyum simpul seraya sebelah alisnya diangkat.

Because you deserve more than just a pats on the head.”

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah hal yang sama sekali nggak bisa gue bayangkan sama sekali.

Jeno yang balas cium, aksi lidah yang mulai serang lawan arah, dan susana yang makin bergairah saat ia habiskan langkah. Ketika kakinya menginjak kaki gue, mengalungkan lengannya untuk memperdalam lamutan, gue benar-benar kelimpungan.

Tetapi semuanya harus terhenti saat kami tersadar akan pesanan pizza dan ponsel gue yang terus berdering. Gue sempat mengusap sudut bibir jeno sebelum mengambil ponsel dan mengangkat telepon dari si abang ojol.

Ingatkan gue untuk menciumnya lagi (jika diizinkan) beres makan nanti.

Dan ingatkan gue untuk berterima kasih pada Jisung.

Oh, ingatkan gue juga untuk menandai di kalender untuk menjadikan hari ini salah satu hari sakral.

Karena malam ini, adalah malam di mana gue merasakan segerombolan kupu-kupu hadir setelah beberapa tahun lamanya hilang.

Karena malam ini, mereka datang dalam bentuk sosok yang paling sering bawa gue senang; sosok yang selalu gue ceritakan pada Injun dan Nana, yaitu: Lee Jeno.

Dan kalian nggak perlu ingatkan gue untuk berterima kasih pada Tuhan, karena mulai dari sekarang, dalam setiap detiknya gue akan mensyukuri nikmatnya.

Bogor di malam hari, ciki, dan si kecil yang akhirnya pulang.

POV: Jeno.

Menjadikan Bogor sebagai kota pertama dalam list kota yang akan gue kunjungi bukan sekadar iseng atau kebetulan. Sesuai dengan konsep album gue yang terbaru一yang menceritakan tentang tahapan hidup; Bogor adalah kota di mana hidup gue dimulai; lahir dan dibesarkan selama 5 tahun di kota hujan ini. Walau pada tahun terakhir, Bogor meninggalkan tragis yang menyebabkan gue tidak ingin lagi tinggal dan memilih untuk pindah ke rumah keluarga besar di Jakarta.

Mama tiada ketika gue masih duduk di bangku TK. Waktu itu, gue masih belum ngerti akan definisi meninggal yang sesungguhnya. Yang gue tahu, saat itu Ayah meyakinkan bahwa Mama pulang pada Tuhan Yang Maha Baik. Mama bahagia di sana, asal gue selalu mendoakannya.

Satu tahun setelah kepergian Mama, Ayah makin sibuk bekerja. Bersepeda pada sore hari yang selalu menjadi kebiasaan kami, tidak lagi dilakukan karena gue selalu merasa sepi jika melakukannya sendirian. Tidak ada lagi Ayah yang menceritakan betapa bahagianya ikan yang ia dapat setiap mancing. Rumah makin sepi dan perlahan-lahan kehilangan hangatnya.

Satu tahun kemudian, Ayah dipekerjakan ke Kalimantan. Namun enam bulan setelah Ayah pergi, gue dan Nenek tidak lagi mendapat kabar. Sampai akhirnya, Bibi datang dan mengajak kami pindah ke Jakarta.

Tumbuh di Jakarta tanpa cinta Mama dan Ayah tidak selamanya buruk. Ada Nenek, adiknya Nenek, dan anggota keluarga lainnya dalam rumah yang tiga kali lebih besar dari kediaman kami di Bogor. Gue sama sekali nggak pernah sekalipun diperlakukan tidak adil oleh mereka, gue selalu disayang penuh hati dan dikasihi setengah mati.

Di umur ke-15, yang seharusnya gue pikirkan hanya pilihan masuk SMA atau SMK, semuanya malah buram karena undangan pernikahan yang dikirim Ayah lewat surat pos.

Coba kalian bayangin aja, terakhir ketemu 11 tahun yang lalu. Putus kontak, nomor diganti, nggak ada media sosial yang bisa gue raih walau selalu gue coba. Tiba-tiba ngirim undangan pernikahan yang ditujukan hanya kepada gue; tidak seorangpun dari keluarga Mama yang diundang. Dia sama sekali nggak punya malu, egois, dan bener-bener nggak ngerti perasaan anak tunggalnya.

Di umur ke-15, gue nggak percaya lagi akan sosok Ayah.


11 years ago.

“Mama pergi…, sekarang一hiks, Ejen sendirian. Ayah mau kemana… kenapa Ejen nggak boleh ikut?”

“Ayah pergi sebentar aja, Ejen. Nanti ayah pulang bawa coklat banyak.”

“Kata Nenek, Ayah perginya bakal lama… Ayah jangan boong sama Ejen..”

“Ejen, Ayah harus kerja di Kalimantan. Jauh dari Bogor, tapi Ejen masih bisa telepon Ayah. Walaupun Ayah jauh, Ejen harus selalu inget kata Mama; kalau kangen, sebut namanya dalam hati dan mohon pada Tuhan agar dilindungi dirinya.”

“Nggak mau… Ejen maunya sebut Ayah pake teriak-teriak, kayak Ayah!! Mainan Ejen yang kemaren beli di alun-alun mana? atau Ayah!! Ejen mau nonton kartun yang bisa ngomong sama monyet… Ejen nggak mau sebut Ayah dalem hati karena artinya Ayah jauh dari Ejen.”

“Ejen… udah ya bageur, Ayah pasti pulang, kok. Udah ya一”

“Ayah! Ayah jangan pergi!! Ejen nggak mau sendiri… Ayah!”


Keberadaan gue di sinilah yang membuktikan bahwa tanpa sosok Ayah pun, hidup gue bisa berlanjut.

Di salah satu gedung yang dari dulu hanya gue lihat dari luar karena berada dekat pusat perbelanjaan yang sering kami kunjungi. Gedung yang ternyata sepuluh tahun kemudian, gue akan tampil dengan lagu gue sendiri一lagu yang dibangun dengan duka; tapi tanpa gue sangka, karya ini ternyata menghadirkan suka bagi para sukma.

Dan gue cukup bangga akan hal itu.

Rehearsal berjalan dengan lancar, sebelum konser di mulai, mbak Yer telah menyiapkan obat一hanya vitamin biasa, agar tidak terlalu lelah.

Konser dimulai dengan track pertama dari The Steps Of Life; Newborn. Sorot lampu tertuju pada gue, penonton cakap mendengarkan seraya mengangkat ponsel mereka dengan flashlight yang menyala.

Kalau boleh jujur, gue hampir menangis membawakan Newborn.

Karena lagu itu gue tulis dan persembahkan untuk Mama.

Lagu kedua dan lagu seterusnya, sorot lampu mulai bervariasi dan berganti warna-warni. Apalagi ketika toddler dimulai, bahkan sebelum intronya diputar, gue sempat mendengar salah satu penggemar meneriakan “JENO LO MANIS BANGET MIRIP DODONGKAL!”

Uhm… sorry, dodongkal itu apa, ya?

Pada saat ment, lampu menerangi segala sisi, gue bisa melihat semua penonton antusias menanggapi. Apalagi salah satu orang yang berada di front row, dia pake bucket hat dan tidak mengangkat ponsel seperti yang lain. Pemandangan yang… jarang ditemui setiap tampil.

Seruan antusias dan tanggapan setiap gue bertanya pada audiens selalu menyenangkan; mayoritas menjawab seadanya namun si cowo bucket hat一 mungkin, energinya tanpa limit; dia lompat sepanjang lagu i know love. Namun pada buried alive, ketika yang lain menyerukan “Awww” karena koreografi lagu ini yang cukup, uhm一erotis, mata gue tidak lagi otomatis menemukannya, ia hilang entah kemana.

Setelah buried alive dan closing songs, gue menyampaikan pidato kecil yang isinya adalah bagaimana gue selalu berterima kasih akan cinta dan waktu yang mereka berikan pada karya-karya gue maupun gue sendiri. Gue juga berpamitan dan mengambil beberapa foto.

Konser selesai, acara penutupan dan evaluasi kecil dengan para staf serta semua tim selesai, make up dan urusan hari ini selesai, gue akhirnya bisa istirahat sebentar untuk acara kuliner dengan mbak Yer besok.

Namun hari ini, skenario hidup gue sepertinya sedang dipermainkan.

Tadi, saat gue hendak keluar dari lift dan menuju parkiran, ada si cowok bucket hat duduk di pinggir tanaman hias. Sebelah tangannya meremas perut, kepalanya ditundukkan ke bawah dan sebelah tangannya lagi sibuk; sepertinya menelepon seseorang.

Gue mempersilahkan bodyguard yang akan mengantar gue ke mobil untuk duluan saja. Nggak mudah, karena beliau keukeuh akan mendampingi gue sampai mobil. Tapi bukanlah gue kalau tidak bisa meyakinkan orang; setelah beberapa bisikan permohonan, bodyguard itu pergi juga, tapi gue yakin sebenernya ia hanya sedikit menjauh dan memperhatikan gue diam-diam.

Tepat saat gue akan merunduk, si cowok bucket hat bangun terburu-buru, menabrak pundak gue kecil lalu topinya jatuh.

“Topinya!” Gue menahan lengannya, mengambil topi yang terjatuh lalu menyerahkan kepadanya.

Dia… melotot? Diem? Tangannya gemetar menerima topi. Tapi tiba-tiba mimik mukanya seperti menahan sakit lagi? Terus ngomong一ah, ini kayaknya teriak?

Ini perlu dibawa ke UGD nggak, sih?

“MAU MINTA TANDA TANGAN”

…oke?

“MAU FOTO JUGA PLEASE.”

Ini dia beneran sakit nggak sih…

“GUE GAK TAU HALU APA ENGGA TAPI PLEASE TAMPAR GUE! SOALNYA KALO MAAG GUE KAMBUH, GUE SUKA TIBA-TIBA HALU.”

Maag? Kambuh?

“LO JENO KAN?”

Gue mengangguk.

“AANJRIIIIITTTTT YA ALLAH YA RABBI MIMPINYA INDAH BANGET NGGA MAU BANGUN.”

“Gue nggak punya makanan, tapi ini ada ciki. Mau?” Gue menawarkan ciki yang dari tadi gue bawa; niatnya mau nyemil nanti di mobil.

“Mau sate padang,”

Hah? Ini dia kenapa sih...

“Sate padang sebelah swalayan.”

“Ayo.”

“HAH???????”

“Gue juga laper banget. Ayo makan sate padang, tapi bantuin mikir gimana caranya lolos dari bodyguard.” Gue menunjuk pintu keluar gedung yang memisahkan dengan basement parking.

“Pake topi gue,” Katanya.

Dia memasangkan bucket hat tadi ke kepala gue. “Oke, udah gak keliatan ganteng.”

Gue mengangguk kecil lalu mengajaknya keluar dari sini, namun gue sadar kalau di parkiran pasti bodyguard tadi masih ada, lalu puter balik masuk lagi ke dalam gedung.

“Jangan lewat bawah.”

“Terus lewat mana?”

“Pintu utama. Jalan kayak orang biasa dan jangan buat kontak sama satpam.”

Si Jeno ini tidak sabar untuk melihat bagaimana kota tempatnya lahir berkembang selama ia tidak di sini. Si Jeno kecil yang ada dalam diri gue, meronta-ronta ingin bebas. Pilu dan rindu berhambur jadi satu, beri kuat serta yakin pada Jeno dewasa yang masih ragu untuk berjalan lagi pada kota ini.

Lantas dengan perasaan campur aduk, kakinya melangkah lebih cepat dari biasa. Dirinya mantap berjalan dengan dorongan tangan dari si cowok bucket hat pada punggungnya.

Satpam berhasil dihindari, presensinya kali ini nggak beri atensi. Si Jeno kecil menyeru senang dalam hati saat keluar gedung tadi.

Dan pada malam itu, Bogor mendapatkan gue satu teman baru.

can we stay together?

POV: Hamzi.

Sebelum mulai, lu semua boleh marahin gua sepuasnya.

Udah? Lesgo.

Seperti yang sudah gua katakan padanya di chat, waktu setelah kami benar-benar selesai nggak pernah seindah saat gua bersamanya. Bokis? Nggak, hidup gua jadi caur karena kita nggak sedeket dulu lagi.

Asel terlalu baik untuk dilupakan.

Jiwanya terlalu indah, parasnya terlalu berharga untuk dihapus dari ingatan. Semua yang menyangkut Asel, nggak pernah buruk. Semua tentang Asel, selalu gua panjatkan doa pada Tuhan agar perihal baik selalu datang padanya.

Hal yang membuat gua merasa berdosa dan menolak untuk memaafkan diri sendiri adalah saat Asel bilang gua membuatnya tidak percaya lagi akan kata cinta. Gua tidak lagi mempertanyakan apakah yang gua lakukan kepadanya jahat, gua terus mengutuk diri sendiri.

Tapi setelah kalimat itu keluar, dengan hati malaikatnya一jiwanya yang terlampau menawan, Asel mau menerima tawaran untuk mencoba lagi, nanti. Asel mau berdamai dengan gua; patah hati pertamanya.

Namun puncaknya bukan di situ. Benar adanya jika gua menyesal, tetapi yang membuat gua makin terus mengutuk diri sendiri adalah saat satu waktu, ada Asel duduk di depan makam Ibu, merapikan taman bahagianya. Peristirahatan terakhir Ibu diperlakukan sebagaimana dulu ia membantu Ibu merapikan taman belakang rumah kami. Asel, dengan telaten tangannya menabur bunga pada pusara Ibu.

Lalu merapal doa di sana.

Gua? Gak bisa untuk sekedar berdiri tegak. Gua duduk di pinggiran bangku yang tak terlalu jauh dari tempat Ibu, memperhatikan setiap perlakuan Asel pada pusara Ibu一dengan senyum ia perlakukan rumah Ibu seakan Ibu ada di sana mengajaknya bicara.

Dulu sekali, saat pertama kali gua mengajak Asel ke rumah Ibu, obrolan mereka dengan cepat menyambung. Asel selalu tau cara yang asik untuk menjawab setiap pertanyaan atau candaan yang Ibu lontarkan. Hasmi selalu betah mendengar cerita Asel tentang benda langit, seperti bintang kecil yang benderang pada malam hari dan sebesar apa bulan. Bagaimana manusia bisa memijak tanah, mengemas sejarah Isaac Newton tentang hukum gravitasi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak kecil, atau kisah Nabi yang selalu didengar antusias oleh Hasmi.

Saat melihat semua itu, dalam hati gua terus mengucap semoga kenyataan dan tujuan awal gua yang buruk, nggak akan pernah diketahuinya.

Karena sekarang yang jatuh lebih dalam adalah hati, bukan nafsu ataupun niat jahat. Dan gua ingin selalu berlama-lama berenang dalam kolam penuh cinta. Kolam yang airnya ditambah larutan一mengakibatkan gua semakin bergantung; larutan yang tidak gua mengerti. Larutan yang membuat gua makin sayang; nggak hanya kepadanya, tapi juga kepada keluarga, kerabat, dan hal-hal kecil yang baru gua sadari harus disyukuri.

Pukul setengah tujuh tadi, Jaemin nelpon untuk ngajak bareng berangkat ke prom. Awalnya gua nggak tertarik, enggan berangkat dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan main PS. Namun rencana awal yang sudah gua susun itu batal semua karena Jaemin mengatakan Asel butuh tumpangan.

Langsung gua bergegas mengambil setelan bekas seragam keluarga untuk pernikahan sepupu gua setahun yang lalu, Alhamdulillah masih muat. Memoles sedikit rambut, menyemprotkan parfum terbaik dan minta izin sama Bapak untuk pinjam mobil.

Saat sampai di depan rumah Asel, ada Renjun yang sedang menekuk bibirnya dan Asel memalingkan wajahnya tepat saat gua keluar dari mobil.

Ini pertama kalinya gua melibat Asel dalam setelan lengkap, rambutnya yang ditata rapi, tangannya yang masuk ke dalam kantong celana一so pleasing to look; dirinya selalu tau cara membuat orang tidak bisa untuk tidak melihatnya.

Tapi gua sadar betul dengan tingkah lakunya yang menjadi lebih dingin, nggak banyak bicara dan wajahnya selalu melihat ke arah lain. Menghindari kontak mata, menyibukan pandangannya pada sesuatu apapun yang bisa ia lihat. Yang bisa netranya tangkap.

Gua tidak bisa melakukan apa-apa.

Payah.

Maka gua tawarkan Jaemin untuk menukar kendaraan kami. Jadilah gua yang bawa motor. Awalnya gua sempat berharap Asel akan ikut dengan gua dan duduk di jok belakang, namun tingkahnya tidak menunjukkannya, mulutnya tidak bergerak dan berkata Ya saat Renjun bilang, “Lo mending temenin Hamzi pake motor.”

Asel mendecih. “Ga一”

Lalu gua berkata, “Naik mobil aja, takut hujan kalau pake motor.”

Dia mengangguk. Mereka berangkat duluan dengan gua yang mengikuti dari belakang.

Sebelum mendapat SIM, Bapak selalu mewanti-wanti untuk selalu mematuhi aturan lalu lintas. Pake helm waktu motoran, menyalakan lampu sen kalau mau belok, memperpelan laju jika ada yang hendak menyebrang, dan lainnya yang akan selalu gua praktekan setiap berkendara di jalan raya.

Namun mungkin hari ini adalah waktu dimana porsi sial gua datang. Ketika gua hendak belok kiri ke jalan raya yang lebih besar, ada angkot dengan kecepatan penuh dari arah belakang; yang ternyata, setelah dijelaskannya saat perjalanan menuju rumah sakit, pengemudi ini kurang awas sama pinggiran jalan. Saat itu laju motor gua bawa pelan karena ada yang abis nyebrang. Lalu motor goyang一gua kehilangan keseimbangan dan jatuh.

Awalnya, gua menolak untuk dibawa ke rumah sakit, karena gua masih bisa bangun walau nggak sempurna dan harus dituntun; pinggiran lutut kena knalpot, perih wak. Tapi beberapa orang yang menolong dan supir angkot tadi bersikukuh untuk gua dibawa kesana. Gua segera menghubungi Bapak saat setelah selesai diperiksa dan luka-luka ini dibersihkan serta diobati oleh perawat.

Bapak datang bersama Hasmi yang sudah mengenakan baju tidurnya, lego di tangannya menandakan bahwa ia pasti dibawa buru-buru oleh Bapak. Gue bilang pada mereka untuk nggak perlu terlalu khawatir karena tidak ada luka serius, hanya lecet dan… sepertinya gua butuh dipijat.

Notifikasi pesan dari Asel rasanya menyembuhkan segala rasa nyeri di badan. Gua refleks bangun, lalu mengetik cepat dan menjawab beberapa pesan dari Sunwoo dan lainnya mengenai letak rumah sakit.

Supir angkot tadi meminta permohonan maaf pada Bapak, beliau sampai hendak bertekuk lutut tapi Bapak menahannya. Kata Bapak, yang bisa didengar dari sini, “Justru saya atuh mang, yang makasih, udah dianter kesini anak sayanya.”

Langit sudah menggelap, Bapak menyarankan agar si mamang angkot segera pulang karena gua masih bisa bernapas. Alasan lainnya juga karena sebentar lagi kami bisa pulang ke rumah.

Namun beberapa menit saat Bapak bersama Hasmi ke toilet, mereka mengabarkan lewat chat bahwa teman-teman gua ada di sini.

Kata Bapak, Asel juga datang.

Detak jantung gua bereaksi lebih cepat saat membacanya. Asel, yang seharusnya bersenang-senang sekarang, menikmati acara prom, malah menyisakan malamnya untuk datang menemui gua.

Ya bisa aja karena dipaksa yang lain gak, sih?

Ah, tapi malam ini tolong izinkan gua merasa senang kalau Asel datang. Tolong izinkan gua untuk jadi manusia paling ge-er satu dunia. Tolong izinkan jari gua untuk beraksi一mengetik kalimat untuk menjemput kupu-kupu kembali; izinkan gua, untuk memperbaiki semuany一

Asel datang.

Asel menyibak hordeng yang memisahkan para pasien UGD, duduk di pinggiran kasur. “Kesel gua sama lu.”

Lagi, tolong katain gua yang banyak lagi.

Supaya gua tau kalau yang ada di sini sekarang bener-bener lu, sel.

“Maaf一”

“Jangan ajak gua ngomong, please.” Ia melepas blazer nya, lalu menyampirkannya pada sebelah pundak.

Gua duduk, mencari posisi paling nyaman untuk memulai obrolan. “Kalo gitu gua yang ngomong.”

Gua menarik napas pelan, menghembuskannya perlahan; seraya melepas gugup, melepas ragu一melepas rindu.

“Makasih,”

Belum ada pergerakan.

“buat semuanya. Kenangan, waktu yang lu abisin buat gua, udah ngejadiin gua yang pertama, ngasih izin gua buat hadir dalam peristiwa-peristiwa penting dalam hidup lu. Makasih udah sabar...”

”...dan maaf.”

Kepala Asel menunduk. Tangannya memainkan kuku, perhatiannya penuh ke bawah.

“Maaf gua jadiin lu bahan bala一”

“Stop.”

“Jangan bilang gitu, minta maaf yang bener. Sakit hati tiap denger kata-kata itu.”

Lagi-lagi gua hampir menjadi penjahat.

Pandangan Asel pindah pada gua. Ia memiringkan tubuhnya untuk melihat gua si penjahat ini.

“Maaf gua ngancurin rasa percaya lu ke gua, maaf udah jadi pengecut, maaf masih suka chat padahal lu bilang jangan chat sampe lulus, maaf一” Napas gue tertahan.

“Maaf karena gua ngancurin pengalaman pacaran pertama lu.”

“Maaf karena gua yang jadi pacar lu.”

Hening.

Gua tidak bisa mengartikan tingkah Asel sekarang, karena matanya menatap goresan luka gua di dahi, tapi tangannya meremas kecil ujung celana kain gua. Bibirnya seperti ingin berkata sesuatu, namun yang bisa gua rasakan saat ini hanya gerakan dadanya yang terus menghembuskan napas.

“Kalo lu berubah pikiran dan masih nggak mau maafin gua gak papa, sel. Gua emang pantes一”

Ucapan gua di potong lagi.

“Kesel gua sama lu.”

Iya. Kesel aja yang banyak, Asel.

“Kesel karena gua nggak bisa lupain suara lu di telepon yang ngidam batagor jam 3 pagi.”

Gua memiringkan kepala, heran. Tapi lega.

“Kesel.” Remasan tangannya pada celana gua mengerat.

“Kesel karena gua selalu inget gimana lu dulu ngebuat semuanya menyenangkan,”

“Karena sekarang, setiap apa yang gua lakuin sendirian, gua selalu berpikiran一kayaknya seru kalo ajak Hamzi.”

“Padahal harusnya gua gak boleh. Padahal harusnya gua lupain lu, Hamzi.”

“Padahal lu jahat sama gua, tapi kenapa gua nggak bisa bales jahat?”

And it's killing me…

Kalian pernah ngerasain rasanya ditabrak angkot, tapi yang luka parah hati? yang kritis dan hampir mati hati? yang minta pertolongan dan penawar malah hati?

Ini yang gua rasakan sekarang. Karena nyeri dan pegal yang gua rasakan, rasanya nggak ada apa-apa dibanding hati yang sedang merasakan segala emosi.

Gua belum sempat jawab dan merespon apa yang baru saja Asel ungkapkan karena Bapak dan Hasmi datang mengajak kami pulang, bentar lagi hari akan berganti.

Asel membantu gua bangun, menopang badan gua supaya nggak jatuh saat pertama kali berdiri. Gua masih bisa jalan, cuman kaki pincang sebelah.

“Sel, tapi serius, kalo nggak bisa mending gak usah一” Ini kalimat pertama yang gua lontarkan saat keluar dari UGD.

“Ya emang nggak bisa sekarang.” Katanya saat kita melewati koridor.

“Nanti 'kan?” Lanjutnya.

Gua mengangguk. “Gua pasti nunggu.”

Kami sekarang sudah berada di kawasan parkir, mobil yang dibawa Jaemin tadi ada di sana. Ingatkan gua untuk berterima kasih dan minta maaf padanya ketika sampai di rumah nanti.

“Omong-omong sel, kenapa?”

“Hmm?”

“Kenapa guanya masih dikasih kesempatan?”

Gerakan tangan Asel berhenti saat hendak membuka pintu mobil. Gua ada di sisi kanan, sedangkan dirinya di sisi kiri. Kami sama-sama menunda masuk, menyelesaikan apa yang belum tuntas sebelum perjalanan pulang.

Jarinya mengusap mata, “Boleh jawab di chat aja? Ngantuk.”

Gua terkekeh kecil, lucu. Matanya makin menyipit. Gemes.

Lalu kami masuk ke dalam mobil dan pulang menuju rumah.

Tidak ada konversasi atau kontak fisik selama di mobil, kami sibuk dengan pikiran masing-masing, dengan suara musik di radio, dengan pemandangan malam hari dari jendela.

Asel memojokkan tubuhnya ke samping kiri, menghapus jaraknya dengan pintu mobil. Begitupun gua, duduk mepet pintu dengan kepala yang diistirahatkan pada jendela.

Mungkin hari ini adalah hari yang panjang.

Mungkin kesempatan diberikan karena pengalaman sebelumnya membuat kita一 sebagai manusia, belajar. Bahwa harus melakukan yang lebih baik. Harus memperbaiki. Mereparasi.

Atau mungkin bisa jadi ini bukan selalu tentang memperbaiki yang patah dan salah; mungkin, ini tentang memulai kembali dan membuat atau membangun sesuatu yang lebih baik lagi.

Dan gua, akan selalu siap untuk apapun itu kedepannya.

Asal jawabannya Asel.

Asal Asel.

Let the time heal.

POV: Asel.

Bunda bilang, aku dilahirkan dengan nama 'Jenandra' karena beliau ingin aku menjadi ambisius一orang yang tak henti-hentinya berupaya meraih apa yang diinginkan dalam hidup. Seperti kalimat 'Nama adalah doa' keinginan Bunda seakan terwujud dengan aku yang一syukurlah, selalu berusaha yang terbaik dalam setiap mata pelajaran. Dalam belajar, dalam aspek kehidupan, dalam hal-hal kecil yang aku pelajari dalam waktu senggang; seperti menghabiskan waktu 2 jam untuk menonton video menyelesaikan rubik, dan menghabiskan waktu sepanjang hari untuk berhasil. Hasilnya adalah, pada hari berikutnya, dalam waktu dua menit aku sudah bisa menyelesaikannya.

Namun ternyata, ada hal yang susah untuk aku selesaikan. Ada hal yang sulit aku temukan jawabnya sampai sekarang; yaitu melupakan Hamzi.

Pada hari pertama saat dimana aku memutuskan untuk mengakhiri status pacaran dengannya, aku tidak uring-uringan ataupun menangis. Aku tidak mau terlihat lemah oleh orang rumah. Aku malu melihat diriku menjadi loyo hanya karena cinta walau hati rasanya jadi berbeda.

Kosong.

Hatiku kosong melompong.

Bagai bola ubi kopong yang selalu Kakak beli di Mall setiap kali kami pergi. Bagai cimol cepot langganan Jaemin yang dibumbui cabe bubuk dan bumbu atom.

Hari-hari berikutnya, aku mulai berdistraksi dengan mengerjakan latihan soal dari pagi sampai tidak tau lagi kapan terakhir kali aku melihat matahari. Aku menghabiskan waktu di kamar, tidak melipat hordeng supaya cahaya masuk一tidak keluar rumah dan tidak bersosialisasi.

Namun aku lupa jika aku memiliki teman yang ajaib. Teman yang kadang, ingin sekali aku takol kepalanya karena ngajak jogging bareng dengan orang yang menjadi titik masalah ku akhir-akhir ini.

Kami tidak berbicara sama sekali. Saling pandang pun tidak. Aku fokus dengan jalanan, dengan pemandangan minggu pagi di komplek yang mulai ramai karena mereka juga melakukan apa yang kami lakukan.

Di kemudian hari, hanya ada aku dan buku-buku penunjang UTBK sambil menunggu hasil SNMPTN. Hariku hanya tentang soal penalaran umum, pk, dan semuanya yang menyangkut ujian masuk universitas. Tidak ada lagi pikiran tentang Hamzi yang harus ku distraksi, aku telah terbiasa dan beradaptasi dengan situasi yang sebagaimana mestinya.

Namun pada rabu sore hari, saat itu hujan turun cukup deras. Tidak ada anak-anak kecil yang bermain di jalanan depan rumah, nggak ada juga tukang jualan yang muterin komplek. Hari itu kediamanku sunyi, jalanan komplek sepi. Aku, menikmati vibes hujan sore hari dengan menonton series yang belum sempat aku tuntaskan. Sampai tiba-tiba ponselku dihujani notifikasi.

Dari Hamzi.

Aku mengalami shock sebentar lalu kembali fokus pada isi pesan, ia mengatakan bahwa Hasmi jatuh dari tangga. Aku langsung bangkit, mengambil payung lalu jalan ke rumah Pak Nardi. Berdasarkan pesan yang disampaikannya, aku bisa langsung masuk ke dalam rumah. Dan benar, pintu gak terkunci dan telingakh langsung menangkap suara tangisan Hasmi dari ruang tamu. Yang membuatku menjadi tidak fokus pada hal yang seharusnya dilakukan di sini adalah saat Hasmi mengatakan bahwa aku bisa mengambil laptop punya Hamzi di kamarnya. Kamar Hamzi di rumah Pak Nardi.

Itu adalah waktu pertama kali aku menginjakkan kaki dan melihat beberapa furniture yang masih dilapisi plastik. Jaket di mana-mana, dan reed diffuser yang ku lihat persis sama seperti di Rumah Ibunya.

Kamar Hamzi wangi.

Dan indra penciumanku betah berada di sana.

Aku terpaku lagi sampai terdengar seruan Hasmi dari luar yang menyerukan namaku sambil tersedu-sedu. “Kakak Asel… huhu… kakinya Hasmi sakit…”

Lalu buru-buru aku keluar setelah mengambil laptop yang dibubuhi stiker wali dan slank, laptop yang ku kenali, laptop yang pernah kami pakai dulu untuk marathon Maze Runner一laptop yang ternyata kata sandinya nggak pernah di ubah. Laptop Hamzi, yang passwordnya sampai sekarang masih tanggal kelahiranku.


Kejadian badut setelah kami resmi berpisah nggak berhenti sampai di situ.

Tadi, saat mau berangkat ke acara prom, aku, Hamzi, Jaemin, dan Renjun mengalami perdebatan kecil. Jaemin mengajak Hamzi untuk berangkat bareng kami supaya aku ada yang nganter. Supaya bareng, supaya nggak papisah.

Tapi Hamzi sepertinya tau kalau aku nggak mau satu kendaraan dan berada di dekatnya. Sepertinya Hamzi sadar akan tingkahku yang lebih diam sejak ia datang.

Hamzi bawa mobil. Jaemin bawa motor.

Dan kami; aku, Renjun, dan Jaemin berakhir menaiki mobil Hamzi. Sedangkan Hamzi, memilih untuk mengendarai motor Jaemin. Adalah Hamzi yang duluan menawarkan mobilnya pada Jaemin, dan Jaemin yang menjawab cepat seraya menerima kunci mobil yang diserahkan Hamzi. Ada matanya yang sempat mampir di netraku walau hanya sepersekian detik, kemudian ada aku yang memalingkan wajah karena enggan menatapnya balik.

Selama di mobil tadi, aku duduk di backseat, melihat Renjun gelendotan pada bahu Jaemin. Huek. Tapi ini lebih baik daripada aku yang harus berlama-lamaan melihat Hamzi. Ini lebih baik karena hatiku nggak menjadi-jadi, karena Hamzi memakai setelan lengkap dengan dasi kupu-kupu.

Karena sialnya, Hamzi menjadi sepuluh kali lebih bersinar.


Kami sampai duluan di ballroom Hotel Sanjaya. Hotel yang nggak terlalu jauh dari sekolah, letaknyanya cukup strategis mengingat sekolah kami berada di jantung kota.

Saat masuk, kami disambut oleh panitia prom, ada Jisung dan Chenle juga disini. Mereka pengurus osis, turut membantu jalannya acara ini.

Sunwoo, Eric, Shotaro, Yangyang, dan yang lainnya juga sudah berkumpul, lengkap dengan setelan terbaik mereka.

Pada pukul tujuh, acara resmi dimulai dengan diiringi sambutan oleh kepala penanggung jawab acara dan beberapa jajaran penting lainnya. Sesuai rundown, pukul setengah delapan malam ini waktunya acara hiburan. Perwakilan dari berbagai murid, mulai menampilkan karyanya.

Jaemin dan grupnya akan tampil membawakan Remaja dari Hivi yang disambut antusias oleh seluruh siswa. Tubuh mendayu mengikuti irama, Renjun tersipu setiap Jaemin menatapnya di bagian reff.

Yang ku ingin saat ini, kau bersamaku disini.

Lantunan dari penonton menghasilkan irama yang indah. Membuat malam ini pantas untuk dikenang dan diceritakan lagi di masa nanti. Masa remaja, masa paling indah, katanya.

Setelah selesai tampil dan lanjut ke acara berikutnya, beberapa murid ber swafoto, ada juga yang mencicipi snack yang tersedia di meja-meja pinggir. Aku mengambil beberapa cookies, ditemani Yangyang karena yang lain sibuk bercengkerama.

“Pacar lu mana, Yang?”

Yangyang berdehem kecil, menelan cookies nya. “Cowo gue kan kuliah, sel.”

Fakta yang baru aku ketahui tadi sedikit membuat terkejut karena Yangyang tidak pernah terdengar dekat dengan siapapun di sekolah. Atau mungkin aku yang kurang update tentang kisah kasih anak angkatan.

“Cowo lu? Si Hamzi? Kemana tu orang?” Yangyang balik tanya. Ia melihat sekitar, lalu kembali lagi pada pandanganku. “Gak dateng?”

Aku refleks melihat sekeliling dan menyadari bahwa dari tadi, Hamzi belum terlihat. Dari awal acara dimulai, Hamzi tidak disini. Yangyang melanjutkan kuliner meja pinggirannya sendiri, sedangkan aku masih berdiri di tempat semula, memperhatikan sekitar一mencari sosok yang sejak awal buat hatiku berdebar.

Sosok yang paling bersinar.

Tapi mataku tak kunjung menemukan sosok itu dalam kumpulan manusia di ruangan ini. Aku menghampiri Jaemin yang sedang sibuk bergurau bersama Sunwoo, “Motor lu belom dateng?” Kataku. Goblok, iya tau.

Jaemin mengernyitkan alis, mendekatkan kepalanya padaku karena volume musik di sini mengeras. “Motor? Naon sih?”

Aku menghembuskan napas kasar. “Hamzi. Belom dateng?”

“Nggak tau atuh, coba maneh chat!

Perhatian Sunwoo dan Renjun yang awalnya penuh pada banyolan Jaemin kini berpaling padaku yang sibuk mengetik pesan. Menanyakan kabar Hamzi, dimana sih lu?

Kami menunggu balasan pesan dengan mendengarkan MC mengumumkan 'King and Queen' tahun ini. Yang dimenangkan oleh Hyunjin dan Yeji. Lalu ada Yangyang yang memenangkan 'Most sassiest person' dan Jaemin dengan gelar barunya, yaitu; 'Class clown'

Setelah mendengar speech alakadarnya dari masing-masing pemenang, aku nggak bisa untuk tenang dan terus melihat ke arah pintu一menunggu seseorang datang.

Ketika Jaemin dan yang lain sibuk berfoto dengan penghargaannya masing-masing, pesanku dibalas oleh Hamzi.

20.25 Hamzi: gua di rumah sakit sel.

Dan aku nggak punya alasan untuk tetap di sini.


Lalu di sinilah kami semua berada sekarang. Di ruang tunggu rumah sakit, mendengar cerita Pak Nardi tentang kronologi kecelakaan Hamzi. “Bapak awalnya nggak nyangka sama sekali, abisnya dia nelepon sambil ketawa. Eh tapi bilang, dia lagi di UGD, katanya diserempet angkot pas mau belok.”

“Hamzinya sekarang gimana pak?”

“Teu aya luka nu serius, sih. Cuman lecet sama biru-biru. Masih cakep, nak asel.”

Renjun menyenggol lenganku, “Masih cakep sel, kaleeem.”

Pak Nardi tertawa kecil. “Heu euh, kasep keneh atuh anak bapak mah. Alhamdulillah na oge supir angkotnya tanggung jawab, si kasep langsung dianter ke UGD.”

Jaemin menimpali, “Mulia amat, Pak. Moga-moga gusti Allah selalu kasih berkah sama si mamang angkot.”

“Amiin. Sok atuh geura dijenguk si Hamzi, karunya sorangan di UGD.”

Pak Nardi menambahkan, “Tapi ulah banyakan ceunah, bisi ganggu pasien lain.”

Lalu mereka semua menatapku. Memberikan perintah tersirat untuk aku segera masuk. Aku yang diberi kesempatan untuk melihat Hamzi. Seolah mendukung pernyataan Pak Nardi, Sunwoo dan Eric bangun dari duduknya, meninggalkan kami dengan alasan mau cari makan. Lalu Pak Nardi dan Hasmi yang mau mengurus administrasi, lalu Jaemin dan Renjun yang katanya akan melihat kondisi motornya di parkiran.

Lalu aku, masih enggan menggerakan kaki.

Aku masih duduk di sini, setelah 10 menit mereka semua mengurus urusannya, aku masih belum bergerak.

Namun setelah menerima pesan dari Hamzi, aku mulai bangkit dan berjalan menuju UGD.

Untuk menemuinya,

menjenguknya,

dan pulang.

Ah, belum, maksudku一untuk mencoba lagi, memberi arti penuh pada kata “Cinta” untuk kami yang masih belia. Membangun ulang一lalu mencoba lagi, berharap kupu-kupu datang kembali, atau mungkin melihatnya terbang tinggi dan menjauh pergi.

Tidak ada yang tau, namun untuk sekarang biarlah aku mencoba permulaan dengan proses pertama; yaitu berteman.

Karena jika sebaiknya kita berpisah untuk sementara, maka di jalinan berikutnya syukur akan hadir bersama cinta di dalamnya.

bang donghyuck jarang pulang.


Hari ini gue pulang telat. Masih dengan setelan kantor yang acak-acakan, gue masuk kamar dan membanting asal tas dan semua perlengkapan.

Jeno udah tidur, pulas tidurnya. Kayaknya terlalu lama nunggu gue pulang, kerjaan di kantor banyak. Proyek besar depan mata, gue susah curi waktu buat sekedar manja sama suami.

Gue memutuskan untuk nggak ganti baju karena males. Mau langsung tidur dan peluk Jeno sampe pagi, jujur, hari ini capek berat dan kepala gue rasanya mau pecah.

Hng...?Shit. Jeno bangun.

“Kamu udah pulang, sayang?” Katanya. Lucu, matanya hilang menyipit, suaranya serak karena bangun yang tak disengaja.

Gue menarik Jeno ke pelukan, kepalanya gue senderkan di dada yang masih dibalut kemeja. “Iya. Maaf ya, larut terus aku pulangnya.” Lalu gue kecup, kecupan paling hangat di keningnya.

Pelukan jeno mengerat, hati gue terenyuh. Pasti Jeno sedih karena sudah seminggu, atau mungkin lebih? Gue selalu pulang larut, di atas pukul 12 malam atau 3 pagi.

Cinta sekali… Sayang sekali..

Saat hendak memejamkan mata dan masuk ke tahap tidur yang lebih dalam, kemeja bagian dada gue basah.

Ya. Perkiraan kalian bener.

Jeno nangis一ah, nggak, dia udah terisak tapi ditahan.

Tolong tampar gue sekarang karena pemikiran tentang gagal menjadi suami yang baik bermunculan. Gue nggak hadir saat mungkin Jeno butuh untuk mengganti lampu teras atau sekadar merapikan tanaman halaman belakang.

Semuanya sudah dilakukan. Yang gue yakin dilakukan Jeno sendiri dengan hal yang nggak bisa dibayangkan一karena sudah tujuh bulan ini, ada calon manusia dalam perutnya.

Kenapa gue yakin Jeno lakukan semuanya sendiri? Well, Jeno kurang suka jika ada orang lain ngelakuin sesuatu untuk rumah kami. Atau faktor lainnya, selama masih bisa ia lakukan sendiri, pasti dilakukan oleh tangannya sendiri.

“Marahin aja akunya,” gue mengusap halus surai hitam yang paling disayang. Keningnya berkeringat, mungkin faktor hamil yang dikit-dikit buatnya gerah.

Bisa gue rasakan tangisannya makin ditahan, sekarang tangannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.

“Maafin mas….” Gue menyeka bulir-bulir yang masih terus datang, nggak tahu kapan berhentinya tapi Jeno masih belum mau lihat gue; padahal sudah gue coba angkat tubuhnya untuk saling berhadapan.

Hiks….., mas, bosmu bisa ngertiin kita gak sih?” Tangisnya semakin terisak, tapi sekarang tangannya sudah genggam erat kemeja gue.

“Bosmu tuh, siapa sih? Lucas?”

Hiks….., bilang sama bosmu! Aku mau habisin waktu sama kamu nggak bisa gara-gara dia!”

Tuhan… kenapa jadi si pak bos yang dimarah? Kan, apa gue bilang, si sayang ini baiknya nggak terkira.

Dia lebih pilih untuk marahin Lucas daripada gue yang seharusnya kena marah. Hati gue sakit lagi, karena dia nggak pernah sekalipun ngucap kasar atau kasih bentak suaminya yang banyak kurang ini.

“Sayang, kok jadi Lucas?” Setelah beberapa percobaan, akhirnya gue bisa angkat tubuh si cantik untuk sejajarkan pandangan kami.

Sekarang posisinya kami saling menghadap, dengan Jeno yang masih gue dekap. “Aku tahu kok, dia ngasih kamu banyak kerjaan 'kan?”

“Terus dia enak-enak pergi liburan! Ya.. Cuman dua hari, sih? Tapi tetep! Kamu jadi capek dan keteter!” Katanya, sembari mencari aman dalam ceruk leher gue yang bau keringat; maaf, udah dibilang gue baru pulang.

Tapi gue tetep wangi. Parfum gue mahal.

“Lho, kok kamu tau?” Tanya gue penasaran, masih dengan tangan yang mengusap tangis dan surai hitam si kasih bergantian.

Jeno mengerutkan alisnya, “Kamu lupa ya, aku temennya mark?”

Ah, iya.

Mark pasti cerita ia pergi liburan dengan suaminya一Lucas ke Bali untuk dua hari. Sialan memang, proyek depan mata tapi malah enak bermesraan.

Masih gue ingat dengan jelas bagaimana Lucas ngasih semua berkas yang perlu gue handle karena dia akan bepergian selama dua hari. Saat gue mau protes, dia bilang, “Duh, sorry bro, janji gue kalo Mark hamil, gue ajak liburan!”

Bisa apa kalo sudah begitu.

Di satu sisi ingin marah dan protes lagi kalau pekerjaan ya tetap pekerjaan, tetap tanggung jawab yang harus dikerjakan sekalipun ia pemimpin di perusahaan. Tapi di sisi lain, gue bisa ngerti kenapa Lucas langsung ambil cuti 2 hari tanpa pemikiran panjang; Ini kehamilan pertama mark setelah 3 tahun mereka menikah.

Gue juga diberi tahu oleh bapak, kalau laki harus jaga janjinya. Nggak boleh diingkari, apalagi di khianati.

Dan urusan Jeno, mungkin ia juga diberitahu oleh Mark alasan yang menyebabkan gue overwork akhir-akhir ini. Yang sepertinya, lagi, Jeno bisa ngerti dan nggak protes lebih lanjut.

Tapi gantinya Lucas yang dicaci, gue bagian dicintai dan diberi cium. Hehe.

“Oh iya. Kamu dikasih tau Mark, ya?”

“Hm.” Jeno mengangguk sambil menggerakan jempolnya pada pipi gue.

“Pipi kamu kok jadi tirus begini, sih?”

Pipi gue ditangkup, bibir gue jadi mengerucut. Tangannya menangkup rahang gue dan dipandanginya lamat. “Sayang…. Kamu jarang makan, ya?”

Ah, tuhan…

Matanya berair lagi.

Gue menarik dagu Jeno untuk mencuri kecupan di bibirnya, bisa gue rasakan bulir bening asin yang turun dari pelupuk matanya. “Udahan yuk, nangisnya? Kasian dedek nanti ikut sedih…” lalu punggungnya gue tepuk pelan.

“Cium aku lagi…” Katanya. Matanya merah, hidungnya pun merah, bibirnya ikut merekah; bekas isakan yang baru berhenti beberapa saat lalu.

Langsung gue tangkup pipinya, mempertemukan bibir kering gue dengan bibirnya yang basah. Mulai dari kecupan kecil, kecupan lama, atau hanya saling menempelkan sambil menyalurkan rindu yang tak terbendung.

Setelah Jeno puas beri kecupan di bibir, ia sapu habis wajah gue dengan kecupan yang lain. Mulai dari kening yang perlu ia sibak dulu rambut gue yang berantakan, lalu diberi kecup lama, turun ke kedua mata dan hidung一kedua pipi, dan terakhir bibir lagi.

Dikecup berkali-kali, disayang sepenuh hati, gue dicintai setengah mati.

“Besok aku harus check-up ke dokter.” Jeno senderkan kepalanya di bahu gue.

Gue merangkul tubuhnya yang lemas, “Mau dianter?”

“Enggak. Kamu fokus aja kerja cari uang yang banyak!”

“Aku besok libur, lho?”

“Bener? Nggak bohong 'kan?”

Gue mengangguk. “Hm.” Lalu turun menuju perutnya yang membesar. Gue angkat pakaian tidur Jeno sampai atas dada, lalu mengusap halus perutnya.

“Dedek… besok kita main ya sama ayah?”

Jeno tertawa kecil, lalu menirukan suara anak kecil; mewakilkan si dedek. “Iyaaaaa, ayah! Besok dedek mau main sama ayah!”

Gue usap makin halus, gue pandangi Jeno yang yang sedang tersenyum lebar; tolong jaga senyumnya supaya abadi, tuhan..

“Dedek gimana selama nggak ada ayah? Bandel nggak sama papi?” Tanya gue lagi.

Jeno mulai menirukan lagi, “Nggak! Dedek anak baik! Dedek sayang papi dan selalu temenin papi ngobrol kok, yah!”

Jeno terkekeh karena suaranya sempat tak karuan di akhir, ketawanya melebar setelah lihat gue ikut ketawa juga.

Ah, seharusnya gue lebih bisa membagi waktu.

Setelah selesai sesi mengobrol dengan dedek, kami kembali tiduran dan saling beri pelukan. “Btw yang, kita belum ngurusin syukuran 7 bulanan, ya?”

“Hah? 7 bulanan?”

“Iya. Minggu depan deh? Gimana?”

Jeno menangkap netra gue intens, “Aku besok udah 8 bulan loh, yang?

“Hah?”

“Tau ah! Kamu kerja lagi aja sana! Gak usah peluk-peluk aku!” Setelah itu, Jeno melepas paksa pelukan kami dan memukul dada gue kencang.

Semua ini gara-gara Lucas.