You are my getaway, you are my favorite place.
POV: Donghyuck.
cw: kiss
Biasanya, tulisan dimulai dengan abstrak yang mengantarkan pada orientasi lalu komplikasi. Juga ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menulis, supaya hasil akhirnya baik dan pesan dari tulisan itu sampai ke hati pembaca.
Namun sudah gue tegaskan dari awal, bukan? Bahwa gue ini nggak pandai dalam menulis; gue hanya pelatih dance bagi anak-anak, yang kadang nyambi jadi barista. Gue sama sekali gak punya background yang membopong gue untuk menghasilkan tulisan cantik nan menggelitik.
Tapi gue pernah baca, katanya, ada beberapa fase dari manusia yang menyadarkan mereka bahwa hal yang tak mereka sanggup pun, bisa terjadi bahkan lebih dari lampauan mereka. Tanpa mereka sadari, hal tersebut sangat kontradiktif dengan sikap kesehariannya. Gue lupa baca di mana, cuman inget bagian kecilnya aja. Tapi kalo lo tau, tolong beri tau gue juga, ya. Supaya gue ingat keseluruhannya dan kita belajar sama-sama.
Contohnya adalah, pada malam itu, ada kepala Jeno yang ia sandarkan pada bahu gue. Bibirnya sibuk mengoceh tentang bagaimana pahit dan manisnya konser keliling Indonesia. Suka dan duka yang ia alami, atau keajaiban serta konyolnya takdir yang mempertemukan kami.
Sembari mendengarkan Jeno, tangan gue sibuk menulis kata demi kata, kalimat demi kalimat yang keluar tanpa aba-aba dan terjadi sangat tiba-tiba, namun siapa sangka bahwa apa yang gak bisa gue curahkan secara verbal itu ternyata jadi karya yang disuka bagi para sukma?
Meskipun begitu, gue belum bisa menyimpulkan dengan tepat apa yang gue rasa.
Walau dalam hati, sungguh gue akan bersumpah, adalah fakta adanya ketika gue bilang bahwa jantung gue tidak lagi mengenal tenang setiap berada di dekatnya.
Walaupun begitu, gue masih belum yakin.
Karena menurut gue, ini semua terjadi terlalu cepat. Kayak nggak dikasih waktu buat pdkt kayak anak sma atau saling anter kesana-kesini demi hemat ongkos kayak pas jaman kuliah dulu.
“Ya emang gini harusnya, nyet. Elu tuh udah dewasa, gak perlu yang menye lagi buat mulai suatu hubungan.” 一Injun, 2022.
Sadar gue, coy. Omongan Injun tuh kayak ayam geprek level 10 langganan si Adis, sedep-sedep mampus gitu lah.
Atau, kalau boleh dimaklumi, waktu terakhir kali gue pacaran adalah saat masih berstatus mahasiswa. Waktu itu pacaran sama kakak tingkat, tapi gue ditinggal nikah tepat setelah dia lulus. Sebenernya sekarang udah nggak papa, cuman pedihnya dulu ketika dia bilang bahwa dia hamil─hasil dari perbuatan dengan lelaki lain, kadang masih kerasa aja cekat-cekitnya gimana dulu gue nyampe skip kelas karena kepikiran.
Whaks. Tapi sekarang aman, coy. Kita mutualan kok di instagram, anaknya juga udah gede. Namanya anaknya Shey, cakep dah.
Waduh kenapa jadi ngomongin yang lalu, yak? Let's go kita kembali ke topik utama.
Sekarang kami sudah di daerah Tugu, melipir ke KFC untuk mengisi perut karena selama di jalan tadi, Jeno terlelap. “Kamu mau apa?” Katanya, tangannya mencubit kecil pinggiran lengan hoodie. Gue menyebutkan beberapa menu pada mbak kasir di depan, ia mengikuti dengan tambahan creampuff. Tunggu, sejak kapan KFC jualan creampuff?
Setelah transaksi, kami duduk di dekat jendela. Ia menyeruput float dengan terburu-buru. “Pelan-pelan, Ejen. Floatnya nggak akan kabur.”
Matanya menjadi sipit kala senyumnya terbit. “Haus banget…”
Tidak banyak percakapan atau hal yang perlu dibicarakan. Kami hanya makan, minum, dan buang air ke toilet. Sampai ketika kami kembali lagi ke parkiran, hendak melanjutkan perjalanan, Jeno mengusulkan pemberhentian selanjutnya.
“Warpat tuh, katanya di puncak, ya?” Jarinya sibuk scroll ponsel yang menampilkan destinasi wisata puncak, gue melihat padanya sebentar, “Hm. Mau kesana?” lalu kembali fokus pada jalanan.
Ia mengangguk, tangannya kini mengutak-atik bluetooth ponsel dengan mobil. “Mau, tapi kan tadi udah makan. Terus kesana ngapain dong?”
“Minum? Sambil liatin pemandangan?”
Sudut mata gue menangkap Jeno yang terlihat berpikir. “Bakal boring gak ya… tapi penasaran banget.”
“Gak papa, kesana aja supaya kamu tau.”
“Oke deh, ayo ke sana.”
Jarak dari KFC Tugu ke Warpat tidak begitu jauh, gue melaju dengan pelan dan tenang. Ac tidak kami nyalakan, Jeno lebih suka angin dari luar serta pemandangan kebun teh yang indah. “Udah lama banget gak ke Puncak, banyak yang berubah…” Katanya.
“Nggak banyak-banyak banget, sih. Masih banyakan kota kalo dibandingin.”
Jeno menunjuk satu tempat saat gue hendak membelokkan setir. “Itu!”
“Dulu aku pernah ke situ sama keluarga.”
Gue mengikuti arah telunjuknya. “Riung Gunung? Adem tuh. Kamu mau kesana dulu nggak? Mengenang gitu lah ceritanya.”
“Nggak usah.”
Volume musik dikecilkan. Ada apa?
Jeno menjadi diam tak bersuara setelah menunjuk tempat tadi. Setelah gue menawarkan ke sana, tepatnya. Jadi banyak pertanyaan dan pikiran yang muncul. Awalnya gue mau tanya, kenapa kok mood kamu keliatan kurang enak? tapi pas orangnya excited ngeliat kabut bermunculan, gue merenungkannya.
“Ini udah mau nyampe?”
“Udah sampe malah.” Gue memutar setir dan mengikuti arahan tukang parkir. Lahan parkir di sini nggak luas-luas amat, jadi agak susah.
Gue mengajak Jeno untuk masuk ke salah satu warung langganan gue setiap ke sini, warung yang view nya paling bagus dan makanannya nggak mengecewakan.
“Ternyata gini ya…” Ia menarik kursi di bagian paling dekat dengan pagar.
Gue mengikutinya dengan duduk di depannya. “Iya, begini doang.”
“Aku kira tuh bakal kaya rumah makan cimory gitu.”
Gue tertawa pelan. “Beda banget, ya?”
Ia mengangguk, lalu menerima menu dari si mbak-mbak yang jaga. “Tapi bagus banget pemandangannya.”
Gue menyetujui Jeno dengan menyapu habis pandangan ke seluruh sudut. Karena ini sore menjelang malam, kabut menjadi lebih tebal dan cuaca mulai mendingin.
Jeno memesan teh tarik hangat sedangkan gue pesan kopi dengan roti bakar. Laper lagi, dan agak kurang enak aja sih kalo ngopi gak ada cemilan.
“Banyak anak muda, ya?”
“Iya. Anak-anak sekolah sering banget ke sini.”
Tidak lama dari itu, pesanan kami sampai.
“Berarti mereka main jauh banget dong? Sepanjang jalan tadi aku liat nggak ada sekolah deket sini…”
Gue menghapus jejak meses yang bertengger di sudut bibirnya, “Justru itu bagian serunya, motoran bareng.” lalu menyuapkan satu potong roti padanya.
“Kamu pernah?”
“Hm. Sekali, waktu beres UN dulu langsung ke sini.”
Jeno mengangguk-anggukan kepalanya. Matanya kini sibuk memandang ke segala penjuru yang bisa netranya tangkap. Teh tarik yang ia sesapi sembari memandang kini mulai surut. Kopi dan roti bakar kami pun sudah ludes. Gue tinggal menunggu perintah dari si ganteng, destinasi mana lagi yang akan kami datangi.
Warpat, selalu banyak pengamen. Daritadi aja, kayaknya ada lima pengamen yang mendatangi kami. Ada satu pengamen yang cukup rese karena nggak mau pergi bahkan setelah gue beri selembar uang. Ia malah diam di pagar, yang posisinya cukup dekat dari kami dan menggoda satu demi satu yang memandangnya. “Ih, mas yang itu kok ceweknya didiemin ajaaaa? Pegang dong tangannya pegaaang.”
Atau, “Eh om, bisa kali aku ikut om pulangnya, aduhhhh naha hareudang kieu yah,”
Atau yang lain, saat kami kebagian juga, “Mas atuh itu si aa nya kedinginan oge, jaketnya atuh kasih mas kasiiihhhh.”
Jeno terkekeh malu. “Nggak, kalem aja.”
Tapi gesture tangannya yang terus menyilang di dadanya nggak bisa bohong. Ia masih ketawa karena si pengamen tadi nggak henti-henti kasih luconan.
Gue melepaskan jaket, namun Jeno langsung menahan gerakan gue untuk melepasnya. “Kamu juga kedinginan. Gak usah, Hiyu. Ini aku udah pake sweater.”
“Iya, tapi kan-”
“Your hand, then,”
“Aku nggak mau kamu lepas jaket karena aku tau kamu juga kedinginan. Aku nggak se-lebay itu, tapi─”
Gue menunggu kalimat selanjutnya dengan seksama. Coy, kenapa makin deg-deg an gini.
“... kamu boleh rangkul aku. Supaya gak kedinginan.”
Nggak ada alesan yang mengharuskan gue untuk tetap diam di depannya. Gue bangkit, duduk di sebelahnya dan langsung merangkulnya. Secara otomatis, seperti udah kebiasa, kepala Jeno langsung ia sandarkan pada bahu gue. Tangan kanannya langsung bertaut dengan tangan kiri gue. Lalu, karena gue bandel dan super nggak tahan untuk tidak melakukannya, gue kecup singkat pelipisnya. “Supaya anget.”
Malam sudah menyapu petang, cuaca dan angin juga makin dingin. Jeno diam-diam terlelap. Gue nggak enak buat banguninnya, cuman kayaknya kami harus segera cari tempat nyaman buat istirahat.
“Hei,” Gue menepuk tangannya pelan.
“Hmm..?”
“Tidur di mobil mau?”
“Terserah, aku ngantuk banget.” Kepalanya mendusel pada ceruk leher gue, cari hangat.
“Bangun dulu gimana? Nanti sepanjang jalan cari hotel.”
Ia menatap gue sebentar, lalu mengangguk sambil tersenyum. “Kalo ke rumah kamu boleh?”
“Boleh. Berarti nggak jadi jalan-jalan?”
“Loh, ini kan lagi jalan-jalan?”
“Maksudnya lebih lama… kan kamu kemarin bilang mau ke Bandung?”
“Nggak usah, kita ke rumah kamu aja. Boleh?”
“Boleh.”
Kami segera meninggalkan tempat ini dan balik menuju mobil. Setelah bayar parkir, yang buset mahalnya konsisten dari dulu, gue puter balik dan berkendara ke daerah bawah, berdasarkan perintah si ganteng tadi, kami akan ke rumah.
Tapi gue bingung, coy. Mending bawa Jeno ke rumah si Ibun atau rumah Yasmin?
Ah, kayaknya kalo kecepetan gak si kalo bawa Jeno ke rumah Ibun? Mana ada si Adis, ntar doi berisik lagi. Belum soal pertanyaan ini siapa itu siapa? Aduh, nggak deh. Mending ke rumah Yasmin aja, sepi dan cocok untuk berdua.
Hmm, album-albumnya Jeno yang mau dia liat waktu itu juga adanya di rumah Yasmin, sih? Jadi ya… nggak ada salahnya kan berdua di bawah satu atap?
Jeno masih tidur sewaktu mobil keluar dari tol, ia bangun ketika gue berhenti di lampu merah. “Udah sampe mana?”
“Oh... ” Sebelum gue jawab, ia melihat ke depan dan sepertinya lebih tau ini di mana.
“Awkward…“
Gue menoleh sebentar ke samping, “Hm?”
“Denger lagu sendiri, terus kamu sing along lagu aku… “
“Bukannya tadi kamu tidur?”
“Ya kan samar-samar denger.”
Jeno mengganti lagu yang sedang diputar. Lalu mengatur agar joknya tidak terlalu ke belakang.
“Tidur lagi aja, nanti dibangunin kalo udah sampe.”
“Tiba-tiba nggak ngantuk.”
“I like the summer rain, i like the sounds you make,” Gue bergumam mengikuti melodi lagu.
“We put the world away, we get so disconnected!” Jeno melanjutkan lirik yang barusan gue nyanyikan, suara dari band Australia itu melengkapi malam kami.
Lalu kami bernyayi dengan riang bersama-sama. “You are my getaway, you are my favorite place. We put the world away, yeah we're so disconnected!“
You are my favorite place, indeed.
Jeno lanjut menyanyikan seluruh bagian lirik, sedangkan gue harus fokus pada jalanan karena sedang belok memasuki kawasan komplek Yasmin.
Namun Jeno selalu penuh kejutan. Ia pegang sebelah tangan gue, buat gue menoleh padanya saat kami makin dekat dengan rumah. Juga lirik yang mendukung suasana, “Thank you,“
Gue menaikkan sebelah alis, menunggu kalimat ajaib apa yang akan diucapkannya. “For being my sweet escape.“
Dan malam ini, rumah dan perumahan lain jadi saksi bahwa fakta mengenai gue yang sangat rakus itu benar adanya.
Malam ini, gue dapat kesempatan untuk mencium bibirnya lagi.
Entah siapa yang memulai, entah ada dorongan apa, tautan kami bersambung lagi selepas gue membuka kunci. Ketika gue menyuruhnya istirahat ke lantai atas─kamar gue, dia cium singkat dulu bibir gue. Dan ketika gue mengganti pakaian, ada dia yang duduk diam memperhatikan di kasur.
Ada dia yang mengunci pandangannya terhadap apa yang gue lakukan. “Kamu mau ganti baju?” Tawar gue.
“Pake baju kamu, boleh?” Jawabnya.
Kalau nggak salah, gue lihat Jeno bawa backpack yang ukurannya cukup untuk menaruh pakaian di dalamnya. Namun mungkin ia ingin gue menjadi pusing semalaman, melihatnya memakai baju atau setelan tidur gue, biarlah. Biarlah, jika dia mau, gue lebih mau.
“Boleh.”
Gue memberikannya satu kaos dan celana tidur kotak-kotak, ia menerimanya lalu langsung mengganti bajunya di tempat.
Iya, di tempat. Di atas kasur gue, di depan mata gue. Di tempat biasa gue tidur.
Matanya menatap gue heran, “Kenapa?”
Ini serius gak sih dia masih bisa nanya kenapa?
“Nggak. Tidur yuk, jalan-jalannya lanjut besok lagi.”
Dia melipat pakaian bekas yang tadi dipakai, gue menaruhnya pada sofa dekat pintu.
Sewaktu gue bergabung dengannya di kasur, gue merentangkan sebelah tangan. Namun, bukan Jeno namanya kalau tidak penuh dengan kejutan.
Alih-alih tidur dengan tangan gue sebagai bantalan, ia malah merebahkan kepalanya pada dada gue, yang celakanya─bisa didengar detakan jantungnya.
“Kamu deg-degan…” Katanya, memainkan jarinya di atas perut gue.
“Gara-gara kamu.”
“Oh… maaf.”
“Tidur, Ejen.”
Cup.
Yang gue suruh tidur malah nyium bibir. Ya Allah.
“Hehe…” Malah nyengir ni ganteng atu.
“Kamu kalo sibuk jadi lupa cukuran, ya?” Ia pegang rambut-rambut yang mulai bermunculan di daerah dagu, juga kumis yang belum sempat gue cukur.
“Nggak suka, ya? Nanti aku cukur besok pagi.”
“Eh jangan... “
Tangan gue bawa untuk mengelus rambutnya. “Kenapa?”
“Aku suka… jadi geli-geli kalo cium kamu.”
Maaf, gue gak tahan tapi gue bakal peluk dia kenceng sekarang juga.
“HIYUUUU AKU NGGAK BISA NAPAS!!”
“SIAPA SURUH KAMU GEMES!!”
“AAAAAA HIYUUUUUUU!!”
“EJEEEEEN YA ALLAH LUCU BANGET MUNGIL KECIL KALO DIPELUK KENAPA YA?!”
“HIYU AKU BENERAN─”
“GAK BISA NAPAS!!”
Gue melepas rengkuhan, ia terlihat mengatur napas. “Maaf…”
“Ngantuk… tidur yuk, tapi jangan dipeluk kayak tadi.”
Gue terkekeh. “Iya, Ejen sayang.”
Setelah dia memposisikan lagi seperti semula, gue mengecup kuncup kepalanya. “Gini?”
“Iya, gini.”
“Met tidur…”
“Loh? Udah tidur beneran?”
“Selamat bobo Ejen sayang…”