This night is sparkling一enchanting to meet you.

POV: Donghyuck.

cw: kissing.

MEEEEEEEEEEEEEEENN.

GUE一NYET, BENTAR.

ADUH TANGAN GUE DIPEGANG一

GUE LAGI NYEBRANG ELAH NAPA LU PADA MINTA NARASI SI?!

Ganggu orang pacaran aja dah.

Coba tebak, pergerakan apa yang sedang kami lakukan dan di manakah kami berada saat ini?

Coba tebak, berapa kecepatan jantung gue saat tiba-tiba ada staf nyamperin dan ngajak gue ke backstage?

Coba tebak, udah berapa hewan yang gue absen dalam hati dan berapa kali gue nyubit tangan sendiri; mastiin ini mimpi atau bukan, ilusi atau nyata, fiksi atau asli, tapi bodo amat sama itu semua karena yang kejadian sekarang adalah genggaman tangan kami yang mengerat.

Gue pengen teriak banget, coy.

Karena gue baik hati dan tidak sombong, gue akan cerita dari awal bagaimana ini semua terjadi.

Jadi begini,

sewaktu gue memantau dan hadir pada dance competition yang Jisung ikuti di salah satu Mall Jakarta, sebagai pelatih yang baik, gue datang kesana untuk beri Jisung emotional support. Sebenernya nggak perlu gue pantau, gue yakin murid gue pasti akan tampil dengan keren dan kece. Namun ini sudah menjadi tradisi yang diajar Ibun dari pertama kali gue mengajar sebagai pelatih, ”...setiap ada murid yang berkompetisi, akan lebih baik jika kamu hadir di sana dan melihatnya tampil. Karena dengan itu, kamu akan mencintaimu pekerjaanmu dengan sepenuh hati. Karena dengan itu, muridmu akan lebih percaya diri, nyaman, dan tenang selama berkompetisi.” Dari awal, gue sudah mewanti-wanti pada Jisung untuk tetap tenang walau jiwa terbantay. anjay. Hanya saja, gue nggak nunggu sampai acaranya selesai; gue ngejar konsernya Jeno.

Singkat cerita, ternyata gue nggak begitu telat dan konser belum mulai一yang berarti bagus, gue nggak perlu nunggu lama.

Konser Jeno, seperti biasa, selalu asik dan menarik. Keren. Lagu, koreografi, outfit, semuanya terlihat cantik dan menyatu dengan dirinya yang sempurna. Gue kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan dirinya.

Singkat cerita lagi, ketika konser beres dan semua orang satu persatu meninggalkan tempat ini, ada seseorang yang menahan gue keluar. Perawakannya biasa, namun ototnya luar biasa. Wadaw. Maaf salah fokus, yang gue bisa pastikan darinya adalah; ini bukan Mbak Yerim ataupun Mark, karena gue sudah mengenal wajahnya ketika kami bertemu di kafe waktu itu.

“Dengan mas Donghyuck?”

Gue bangun dari kursi tribun, “Betul, om.”

“Mari saya antar ke backstage.”

Weh, om. Ngaco ah.”

“Dari foto yang dikasih oleh mas Jeno, saya yakin pasti ini dengan mas Donghyuck.”

“Waduh… ntar saya di backstage ngapain, om?”

“Ya… masnya kalo mau nyeduh emih juga boleh.”

Aduh, kebelet boker keringet dingin jadinya. “Emihnya ada yang rasa rendang?”

Si om terlihat menggaruk kepala. “Samyang juga ada.”

Mantap. Mari kita mengikuti rute yang dipimpin si om ini untuk ke backstage. Selama di jalan, gue lihat kanan-kiri; banyak orang sibuk. Ada yang terlihat sedang mencari temannya yang nggak tahu keberadaannya di mana, ada yang tersenyum bahagia, ada juga yang sedang dimarahi oleh salah satu staf, mungkin buat salah pada pekerjaannya. Entahlah, nggak urus. Yang gue urus adalah saat gue memasuki area backstage, memasuki waiting room Jeno, jantung gue nggak lagi mengenal kata tenang.

Pemandangan yang pertama gue lihat adalah Jeno yang sedang memakai hoodienya, para make-up artist dan stylist sibuk merapikan peralatannya, juga yang lain sibuk dengan urusan masing-masing.

“Haaaa…! Donghyuck! Akhirnya sampe juga.” Sapanya ketika berbalik ke arah pintu.

Gue balik menyapa. “Kaget nih tiba-tiba dijemput si om!” Lalu dagu gue bawa menunjuk ke arah si om tadi.

“Makasih ya, pak.” Kata Jeno pada si om yang ternyata security staf.

Si bapak mengangguk dan kembali berjaga di luar pintu.

Chat gue gak dibales?”

“Eh?”

“Lo nggak bales chat tadi.”

“Iya… sibuk midioin artis soalnya.”

Jeno terkekeh seraya mengambil tasnya di sofa, “Tiga jam yang lalu kan konsernya belum mulai?”

“Oh… iya一itu, gue lagi buru-buru ke sini.” Gue menggaruk kepala. Nyengir dikit terus duduk waktu si ganteng nyuruh duduk di sofa depannya yang berada di tengah ruangan ini.

“Abis ini, jalan-jalan yuk!”

“Emangnya lo gak cape? Abis ngonser kan?”

“Ya… capek, sih,” ia menyuap beberapa chacha di meja. “Gimana kalo lo main ke apart gue aja?”

WadAww.

Meeeeeen.

“Boleh?”

“Boleh lah, kalem aja kali.”

Sebelum memutuskan berangkat, kami dihadapkan oleh dua orang yang terus menanyakan identitas diri gue, memaksa untuk mengantar, dan melihat gue dengan tatapan intimidasi dari atas sampe bawah.

Siapa lagi kalo bukan mbak Yerim.

Walaupun Mark terlihat santai, namun gesture tangannya sama sekali tidak menunjukannya. Ia terus mengatakan, “kalo ada apa-apa sama Jeno, lo yang bakal gue hubungin pertama.” Lalu ditimpali oleh si cantik wanita perkasa ini, “awas aja kalo lo sampe jahatin Jeno! Gue obrak-abrik satu Indonesia.”

Tetapi itu semua berhasil kami lalui dengan Jeno yang tak henti meyakinkan mereka bahwa gue orang baik dan ia bisa menjaminnya. Padahal kita baru ketemu tiga kali… siapa tau gue maling apart lo, kan? Ngapa ni artis satu percaya amat dah ama gue?

Aduh, pokoknya begitu dah. Sori gue nggak pinter cerita soalnya gue pelatih dance bukan penulis一walaupun multiverse, eh一multitalenta (fun fact, gue ditakol sama Injun karena ini) gue sangat buruk jika menjadi story teller, apalagi penulis.

Singkat cerita lagi, ketika kami sudah di parkiran dan bersiap menuju ke kediaman si artis ini, ia malah mengajukan diri untuk nyetir. Pas gue tanya lo ga capek? dirinya menggeleng dan mengusir gue dari kemudi supir.

Ya gue mah demen, coy, disetirin Jeno. Cuman aja nih ya, gue kalo jadi ni orang udah pake supir dah. Buat ketemu sama orang aja kayaknya gak ada lagi energi, apalagi ngajak main.

Heran, ini artis satu kok energinya gak ada abisnya.

Di mobil, gue hanya diam dengan dia yang menyetir pelan-pelan. Sampai akhirnya keheningan canggung ini pecah karena gue memutar lagu.

“Konser lo selalu keren dah.”

Jeno tersenyum. “Thanks.

Apart lo masih jauh?”

“Bentar lagi, lo gak liat ini gue lagi belok ke gedung?”

Boro-boro liat jalan, ini dari tadi gue liatin lo nyetir aja bawaannya mau gue foto terus upload ke twitter.

Sorry nggak fokus.”

“Yah…!” Jeno menepuk dahinya.

“Kenapa?”

“Tadinya mau mampir indomaret dulu beli kinderjoy.”

Kinderjoy…? Snack kapitalis anak bocah itu bukan si?

“Ntar gue ke indomaret dulu nggak papa kan?” Katanya, tangannya terampil memarkirkan mobil.

“Gue ikut.”

Dan, lo semua pasti tahu apa yang terjadi setelahnya.

Kami ke indomaret seberang gedung bertingkat ini karena kinderjoy minimarket Apartemen ini tiba-tiba habis stok. Nggak tahu emang ada orang kaya yang abis borong, atau emang ini takdir gue sama Jeno supaya lebih banyak waktu berdua?

Gue akan pilih opsi kedua.

“Donghyuck, pegangan gue, please.”

“Oke.”

“Donghyuck, tangannya.”

“Iya, ini tangan gue…”

“Donghyuck, tangan gue kenapa nggak digenggam?”

“Ini tangan gue…”

GUEEEEE…, dari awal Jeno bilang pegangan gue bingung. Boleh ga si sebenernya? Jadi gue diem aja, tangan gue taro di samping celana. Nggak ada gerakan sama sekali, sampe akhirnya Jeno yang genggam duluan dan mulai jalan setelah ia menekan pelican crossing.


“Lo laper apa doyan?”

Yang gue lihat saat ini adalah Jeno yang sudah menghabiskan tiga buah kinderjoy dalam jangka waktu kurang dari 5 menit, dan masih terus membuka yang baru.

“Hmm… lebih ke self-reward? Karena konser beres.”

“Boleh pegang kepala lo nggak?”

Jeno berhenti menyuap. “Ngapain pegang kepala gue…? emangnya lo nggak punya kepala buat dipegang?”

Waduh, mampus. Bukan gitu maksudnya. Maksud gue tuh, mau elus-elus kepalanya gituuuu kek orang-orang. Soalnya dia pantes dapetin itu karena konser keliling Indonesia bukan sesuatu yang mudah dilakuin, 'kan?

“Tapi boleh…” Mungkin Jeno melihat mata gue yang jadi melirik kesana kemari setelah yang dibilangnya tadi.

Gue memajukan badan sedikit, lalu mengelus kepalanya pelan. “Jeno keren, makasih ya buat konser dan albumnya.”

Jeno menahan sendok mini itu di mulutnya, matanya menyipit dan senyumnya yang paling cerah terbit. “Kaget… tapi makasih juga, Donghyuck.”

“Lah, gue di-makasihin karena apa?”

For being a good friend, a really good friend.

Aduuhhhhhh gue salting mampus.

“B aja kali ah.”

Setelah menghabiskan snack kapitalis yang barusan dibeli, ia bangkit dan membuka kulkas. “Kita kayaknya delivery aja deh, kulkas gue isinya nggak ada yang bisa dimakan.”

Gue mengangguk, lalu segera membuka aplikasi gojek untuk memesan makanan yang sekiranya masih buka di waktu menuju tengah malam. “Mau apa, Jen?”

“Apa aja, tapi pizza enak deh kayaknya.”

Beruntung, masih ada yang buka. “Lo mau yang mana? Atau mau pilih sendiri?”

Jeno menarik bangku pada meja makan, membuatnya mendekat dengan gue. Matanya ikut melirik ke layar ponsel yang gue scroll. “Gue mau yang itu!”

Super supreme pizza?

“Iya. Sama lasagna juga. Hmm一choco lavanya juga mau!”

“Oke, gue mau yang ini.”

Jeno beralih pada sofa panjang depan televisi. Ia menyalakan nya, mencari-cari yang dia mau namun sepertinya nggak ketemu juga. “Film yang seru apaan sih?”

“Sinetron azab?”

“Itu apa, Donghyuck?”

“Sinetron religi tapi konyol. Masa ada salah satu episode, judulnya Mati terkubur cor-coran dan tertimpa meteor!”

“Wah… itu pasti genrenya action, ya? Di youtube ada 'kan?”

Gue terkekeh canggung. “Ya ada, cuman一”

“Lo sini deh, gue bingung ngetiknya gimana.”

Lalu berakhirlah dengan kami yang menonton sinetron langganan si Ibun kalo lagi nyetrika. Gue bingung banget sumpah, ini orang serius mantengin dari awal mulai sampe sekarang. Gue aja nggak sanggup nontonnya. Apalagi pas dia bilang ini film action, capek pengen ketawa sambil nangis, coy.

“Eh, Jen, gue mau nanya deh.”

“Ya tanya aja.”

“Pas tadi si om nyamperin gue, dia bilang lo punya foto gue. Padahal kan, lo nggak tau sosmed gue apa. Gue juga belom pernah ngirim pap ganteng. Lo dapet dari mana dah?”

“Yakin gue gak tau sosmed lo?”

“Lo sebenernya mata-matain gue, ya?”

“Iya. Gue juga tau alamat tempat lo tinggal, kerja, kafe temen-temen lo.”

“Harus banget ya, Jen…?”

Jeno memalingkan tubuhnya ke hadapan gue. “Menurut lo?” tolong banget ini mah, gue nggak bisa untuk nggak teriak indah! saat wajahnya penuh dalam jangkauan mata gue. Saat jarak pandang kami begitu tipis, saat gue terbata-bata menjawab pertanyaannya.

“Harus, soalnya lo artis.”

Si artis malah ketawa. “Boong. Ngapain juga gue selidikin orang sampe ke akarnya.” Ia fokus pada filmnya lagi.

“Terus tau dari siapa?”

“Aji. Sepupu gue.”

Gue mengernyit heran, “ga kenal ah sama Aji, kenalin ya ntar.”

Si artis ini malah makin ketawa. “Lo udah kenal, kok.”

“Aji. Adek Jisung, sepupu gue yang kebetulan ada lomba di Jakarta, berbarengan dengan konser gue hari ini.”

”...familiar enough?

ANJRIIIITTTTT DUNIA HANYA SELUAS DAUN KELOR.

SI JISUNG JUGA NGAPA KAGAK PERNAH CURCOL DIA SODARAAN SAMA ARTIS SIIIII.

LAGI-LAGI GUE BERADA DI PUNCAK KEKONYOLAN.

Gue masih diam tak berkutik. Bergeming. Bergerak. Bergeser. Gue masih menghadap Jeno yang kini sibuk dengan Hpnya. “Oh iya! Dia menang nggak, ya?”

Gue nyampe lupa tanya kabar murid gue gimana pengumuman lomba. Ini semua gara-gara lo, Jeno…

Jeno menghadap ke samping lagi, tubuhnya ia miringkan menghadap gue lagi.

“Donghyuck…”

“Hm?”

“Aji… Ajii menang!”

“Hah?”

“AJI MENANG, DONGHYUCK!”

“JISUNG? MENANG?”

Gue bangun, meraba-raba kantong celana namun tak kunjung menemukan ponsel yang sedang gue cari.

Bodoh, tadi lo taro di meja makan abis pesen pizza.

“IYA! AJI MENANG!”

Jeno ikut bangun, matanya berbinar menunjukkan pesan dari Jisung yang mengatakan ia dapat peringkat.

“JUARA SATU??”

“IYA! AJI JUARA SATU!”

“HAAAHH INI一”

“DONGHYUCK!!”

“JEN!!”

Nggak tau siapa yang mulai, nggak tau siapa yang lebih dulu ambil langkah, namun kami sekarang berpelukan.

Menyalurkan gembira.

Merayakan suka cita.

Berbagi hangat.

Hanyut dalam senang.

Tubuh gue direngkuh erat, gue balas rengkuh juga ketika ia terus bagi tawa dalam sukanya. Bisa gue bilang, ini bukan gue yang dipeluk dan dia yang memeluk. Tetapi ini tentang berpelukan. Kami saling memeluk karena ini adalah bahasa tubuh yang paling meyakinkan, membuat kami saling terhubung melalui perasaan, melalui hati, lalu melalui nafas kami. Pelukan ini… bagai mendorong kami mengalir dengan energi kehidupan.

Dan rasanya sangat nyaman.

Dan gue begitu lega.

Dan gue bangga一mengingat berapa jam yang Jisung habiskan di ruang latihan untuk mengulang gerakan. Berapa hari ia berlatih, berapa menit ia istirahat, dan hanya sepersekian detik ia habiskan untuk mengeluh.

Rasanya… lebih dari kata luar biasa. Melihat anak didik gue bisa mendapat juara. Murid yang gigih, telaten, dan rajin mengikuti kelas bisa membuktikan pada orang-orang di luar sana hasil kerja kerasnya.

Gue merenggangkan pelukan. “G-gue seneng一bangga, sumpah!”

“Jen一gue…, lo harus tau gimana beratnya Jisung latian!”

“G-gue, Jen sum一”

“Anjrit.”

“Jisung anjriiit.”

“Lo paham kan一”

Cup.

Dan pada malam ini, gue mohon pada Tuhan untuk kecupan lainnya datang.

Cup.

Lah, beneran terkabul. Tuhan, boleh sekali lagi gak.

Cup.

Boleh nambah di pipi gak…

“Donghyuck, hape lo bunyi. Kayaknya udah sampe deh pizzanya.”

Menurut lo, gue masih bisa makan nggak abis dicium Jeno?

Jeno masih berada tepat dihadapan gue. Namun gue masih perlu menyerna perasaan senang juga bingung ini lebih lama. Jeno lah yang duluan meninggalkan gue dengan senyum tipis dan kedipan sebelah matanya.

Gue nggak bisa berkutik…

Namun bukanlah gue jika tidak serakah.

Sewaktu Jeno hendak menuju meja makan, gue menahan pergelangan tangannya dan mengecupnya cepat. “Reward hari ini.”

Jeno tersenyum simpul seraya sebelah alisnya diangkat.

Because you deserve more than just a pats on the head.”

Lalu yang terjadi selanjutnya adalah hal yang sama sekali nggak bisa gue bayangkan sama sekali.

Jeno yang balas cium, aksi lidah yang mulai serang lawan arah, dan susana yang makin bergairah saat ia habiskan langkah. Ketika kakinya menginjak kaki gue, mengalungkan lengannya untuk memperdalam lamutan, gue benar-benar kelimpungan.

Tetapi semuanya harus terhenti saat kami tersadar akan pesanan pizza dan ponsel gue yang terus berdering. Gue sempat mengusap sudut bibir jeno sebelum mengambil ponsel dan mengangkat telepon dari si abang ojol.

Ingatkan gue untuk menciumnya lagi (jika diizinkan) beres makan nanti.

Dan ingatkan gue untuk berterima kasih pada Jisung.

Oh, ingatkan gue juga untuk menandai di kalender untuk menjadikan hari ini salah satu hari sakral.

Karena malam ini, adalah malam di mana gue merasakan segerombolan kupu-kupu hadir setelah beberapa tahun lamanya hilang.

Karena malam ini, mereka datang dalam bentuk sosok yang paling sering bawa gue senang; sosok yang selalu gue ceritakan pada Injun dan Nana, yaitu: Lee Jeno.

Dan kalian nggak perlu ingatkan gue untuk berterima kasih pada Tuhan, karena mulai dari sekarang, dalam setiap detiknya gue akan mensyukuri nikmatnya.