Monthly, weekly, nightly and daily—If i'm falling baby don't blame me.
POV: Jeno.
kiss, kissing, a bit of dry humping, cuddles (sorry if its too cringey) sorry in advance!! :D aku ngga jago buat adegan seperti ini ok maaf kalo ada yg kurang hihi
Ada sesuatu dari Donghyuck yang baru aku temui dari sekian banyaknya orang. Ada hal misterius darinya, yang membuat ku nyaman jika terus berada di dekatnya. Walaupun kami sibuk dengan ponsel masing-masing, asal ada Donghyuck di sebelah, aku nggak masalah sama sekali.
Ia datang dengan tangan kanan yang penuh dengan plastik dan paper bag. Bisa ku tebak, itu adalah soto dan bolu yang tadi aku sebut di chat. Tangan kirinya masih menggenggam ponsel.
Ia menyunggingkan senyum. “Teleponnya udah boleh dimatiin belom?”
Aku mempersilahkannya masuk, lalu ia menaruh bawaannya di meja makan. Aku mematikan telepon, menutup pintu, dan menyusulnya ke meja makan.
“Ada mangkok?” Tanyanya sambil mengeluarkan makanan dari plastik.
Aku mengambil dua mangkok dan beberapa piring kecil, menatanya pada masing-masing tempat kami yang duduk berseberangan. “Tadi macet nggak?”
Donghyuck telaten mengumpulkan sampah plastik bekas soto pada plastik yang lebih besar lagi. “Nggak, padet aja.”
“Aku tadi beli nasinya juga.” Lanjut Donghyuck.
“Wah…”
Donghyuck mengelap telapaknya pada celana sampingnya, “Kamu belum makan sama sekali?”
Aku menyerahkan serbet, “Aku sengaja gak makan, soalnya kamu bawa banyak makanan.”
“Waduh?” Katanya sembari mengelap tangan pada serbet yang barusan ku beri.
“Berarti sekarang makannya harus banyak.” Perintahnya.
Semua makanan yang ia bawa telah tersaji dengan baik di meja makan. Aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa gambar. Sedangkan Donghyuck, terkekeh melihat aku yang sibuk menata sendok serta garpu agar hasil gambar yang ditangkap terlihat bagus.
“Aku sih kalo udah laper nggak ada waktu buat foto.” Katanya, setelah aku akhirnya meletakkan ponsel di meja.
Aku mengambil sedikit sambal dan menuangkannya pada mangkuk berisi soto, “Ini bahan pamer ke mbak Yer, tauuu.”
“Ya udah, sekarang makan yang banyak, oke?”
Aku mengangguk. Langsung melahap soto yang telah ku koreksi rasanya setelah ditambah sambal dan kecap.
Ternyata Donghyuck adalah tipe yang setiap makan soto, akan menuangkan seluruh nasi ke mangkok, sedangkan aku adalah tipe yang menuangkan kuah soto ke piring nasi. Kami sangat berkontradiksi.
Di sela aku memakan soto, aku ambil dua potong bolu lalu langsung melahapnya. Donghyuck yang berada di depanku menatap heran, satu alisnya terangkat. “Abisin dulu sotonya…”
“Iya, sambil.”
Setelah mengunyah habis bolu, aku lanjut menghabiskan soto dengan nasi. Donghyuck lebih dulu habis, ia menunggu aku makan di sini sambil melahap bolu lapis.
“Donghyuck,”
“Mau kerupuk.”
Donghyuck merobek plastik kerupuk, lalu meletakkannya di sebelah mangkuk. “Oh iya,” Aku mengunyah kerupuk yang baru dicelup ke kuah soto. “Final lyric dari tulisan kamu udah jadi loh!”
Sebelah alisnya terangkat, ia menghabiskan sisa-sisa nasi yang masih menempel di mangkok. “Wiih, kalo lagunya? Udah jadi juga?”
Aku mengangguk. “Hmm. Bentar aku play!” Aku menyelesaikan suapan terakhir dan membereskan peralatan makan kami. Donghyuck membantu dengan menaruh semuanya pada cucian piring, aku dapat bagian untuk beresin dan lap meja.
“Eh, gak usah dicuci! Ntar sama aku aja, Donghyuck…”
Ucapan ku dihiraukan. Ia malah meneruskan sampai selesai. Aku nggak diberi kesempatan buat ikut bantu juga, ya sudahlah.
Selagi Donghyuck cuci piring, aku pindah ke sofa dan menyambungkan jaringan Bluetooth speaker dengan handphone. Hendak memutar lagu yang telah sampai pada tahap finalisasi, menunggu Donghyuck beri apresiasi.
Karena sekarang, aku sedang ingin dipuji.
Karena tiba-tiba, aku mendadak haus validasi.
Dan aku mau segala afirmasi itu keluar dari mulut Donghyuck.
Donghyuck bergabung dengan ku di sofa, duduk di sebelah ku─lalu menepuk-nepuk pahanya seakan beri tanda bahwa ada yang lebih nyaman daripada sekadar bantal.
Aku bisa istirahat bersamanya lagi.
Tanpa adanya alasan lain, aku segera memposisikan badan untuk berbaring dengan pahanya sebagai bantalan. Nyaman, mau kayak gini untuk waktu yang lama. Aman, mau kayak gini untuk selamanya. Kalau bisa, dan semoga.
“Wah… Senengnya dapet privilege buat dengerin lagu kamu duluan.” Tangannya ia bawa untuk memainkan rambutku. Mengelus dahiku atau sekedar mencubit kecil pipi.
Aku terangap, “Dengerin dulu… bagus nggak?”
Donghyuck merunduk, kepalanya makin dekat dengan kepalaku yang sekarang terkunci pada netranya. “Ba—”
“Kiss me first,“
“Before you say anything, kiss me first.“
Ia tersenyum miring. “Kamu dong.” Lalu menjauhkan jangkauannya dari pandanganku.
“Coba kamu yang cium aku duluan.”
Aku mendecih kesal. “Ck, nyebelin deh…”
Aku menarik kerah kaos polo yang dikenakannya, mendekatkan kembali jangkauan yang tadi sempat menjauh, lalu mengecup bibirnya pelan.
Adalah Aku yang terhanyut dalam kalimatnya yang mengucapkan, “Bagus, Jeno. Lagunya bagus, indah, pasti buat semua orang bungah.” Tepat setelah aku lepas bibirku padanya, dan tepat ia mengatakannya di telingaku.
Tepat sekali membuat aku ingin teriak karena bisikannya membuat aku haus lagi. Mau lagi. Pengen lagi.
“Jangan bisik-bisik gitu…” Aku ikut mengecilkan suara. Tanganku bertengger pada pipinya yang kini aku tekan, bibirnya jadi mengerucut lucu.
Ia datang lagi pada telingaku, “Supaya gak ada yang denger, soalnya nanti mereka iri!”
Aku raih lagi pipinya untuk mendekat, membisikkan lagi kalimat yang mengalir bagai air pada telinga kananya. “Kita cuman berdua, siapa yang bakal denger…?”
“Mon—”
Cup.
“Kamu demen ya, sama bibir aku?” Pemandangan yang berada di depanku sekarang ini adalah wajahnya yang menggemaskan, bibirnya yang seakan terus beri dorongan untuk dihadirkan kecup. Matanya yang berbinar, dan poninya yang terkadang menutupi sinar netranya.
“Iya.”
Aku mengusap pelan pelipisnya, “Tapi ada lagi yang lebih aku suka.” lalu menekan telunjuk pada bagian yang dituju.
“Ini…”
“Apa tuh?”
“Your moles…“
Ia terlihat bingung, terkekeh renyah atas jawabanku. “Masa demen sama tahi lalat sih?”
“Ih, kamu tau nggak sih? Katanya moles are where your past love used to kiss you. And you have… many…” Aku mengabsen satu persatu tahi lalat di seluruh bagian wajah Donghyuck.
Mulai dari bagian bawah mata, dekat hidung, samping mata kanan dan bawah pelipis, pipi, tiga di bagian leher, dan terakhir─bibir yang aku beri bonus kecupan.
“Molesnya kan nggak cuman di bibir, yang lain iri tuh, Jen, nggak dicium.”
Oh, mau lagi?
Kalau gitu jangan suruh aku berhenti, ya.
Aku bangun dari posisi baring. Menghadapnya, aku pandangi lamat sebelum melakukan apa yang ia bilang tadi. “Mau dipangku kayak waktu itu.”
Sudah pernah aku bilang, belum, ya? Kalau Donghyuck punya senyum paling menawan. Senyum yang jika ia perlihatkan deretan giginya akan bawa suka cita. Namun jika hanya seringai tipis, bisa bawa bencana. Bencana untuk hati dan jiwa raga. Bencana, karena entah sejak kapan dan darimana ini berasal, senyum itu seakan pertanda bahwa eksistensi dominasi perlahan akan mengakuisisi.
Donghyuck tersenyum simpul. Aku merasakan tubuhku diangkat dengan mudah. Membuatku duduk di pangkuannya, dengan lenganku yang otomatis mengunci di lehernya. Kami semakin dekat, dan sekarang hatiku menyorakkan selamat.
Selamat kacau!
Selamat meracau!
Selamat suka!
dan…
semoga selamat.
Aku memulai dengan mencium yang paling dekat─paling mencuri perhatian; bagian bawah mata yang dekat dengan hidung. Lalu bagian yang lain ku beri kasih, ku beri sayang, ku beri cinta, ku beri semuanya yang aku bisa.
Bagian selanjutnya, aku harus menunduk dan Donghyuck agak mengangkat sedikit kepalanya. Karena yang ku beri kecup sekarang adalah leher.
Aku mengelusnya pelan, lalu perlahan mencium mereka satu persatu. Kemudian aku lihat wajah Donghyuck yang mulai terpejam.
Kecupan di lehernya, perlahan berganti menjadi gigitan kecil. Dan ini semua salahku, karena tidak lebih dulu meminta izinnya. Ini salahku, yang buat ia hanyut dalam pejaman mata. Ini semua salahku, karena eratan di pinggang terasa lebih kencang. Ini semua salahku, dan lain kali aku akan mengulanginya lagi.
Kecupan berganti menjadi gigitan, dan gigitan berganti menjadi sapuan.
Bisa kucium harum dari parfum Donghyuck di sini.
Sapuan lidah yang ku bawa pada lehernya, mengundang geraman-geraman. Tanganku sekarang berjalan pada belakang surai hitamnya, selagi bibirku ku pautkan pada moles yang sengaja aku taruh di bagian akhir untuk diberi kasih; moles Donghyuck di tengah garis bibir bawahnya.
Ia menarikku makin mendekat. Tangannya mendekap pinggangku, terkadang juga punggung ini diberi usapan karena aku yang terburu-buru. Sesaat kami ambil jeda karena menipisnya kadar oksigen di sekitar kami, Donghyuck berkata, “Mulut kamu rasa bolu lapis bogor.”
Aku tertawa, lalu bawa tanganku ini untuk mengelus bibirnya pelan, “Mulut kamu juga rasa soto!”
Ia pasang wajah pura-pura panik. “Waduh, gimana dong? Apa udahan aja, nih, sesi cium menyiumnya?” Donghyuck merangkup rahangku dengan kedua tangannya, lalu ia kecup setiap inci dari wajahku.
Aku hanya mengikuti kemana ia akan bawa semua ini. Dan ketika ia balas perbuatanku pada lehernya tadi, sapuan lidahnya di leherku membuatku lagi-lagi, secara otomatis, beri friksi pada bagian bawah.
“Jeno,” Ini pertama kalinya aku lihat mata Donghyuck jadi sayu.
Ketika geraman keluar dari bibirku, ia langsung meredamnya dengan menelusupkan lidahnya masuk. Tangannya yang mengerat pada pinggang, perlahan turun pada bagian bokong.
“Maaf—”
“Lagi,”
“Lagi, Donghyuck.”
Remasan. Usapan. Elusan. Aku mau lagi.
“Jeno—”
“Jeno maaf—”
“Boleh, Donghyuck.”
“Jeno mau apa?” Ia menghentikan pergerakan ku di bawah sana.
Tanganku kuletakkan pada dadanya, “Ngikut kamu.”
Donghyuck menyampirkan rambutku ke samping telinga, “Aku nggak bawa pengaman, kamu punya?”
Aku menggeleng.
Tangannya nggak henti kasih puja dengan terus bermain pada wajahku. “Aku juga nggak bawa lubrikan, kamu punya?”
Aku menggeleng lagi.
Truthfully speaking, aku jarang melakukan hubungan seksual. Jarang bukan berarti tidak pernah. And brutally honest, terakhir kali aku melakukannya adalah waktu pertamaku; yang sudah lewat kurang lebih dua tahun lalu. Aku tidak menyimpan karena aku bukan termasuk orang yang aktif pada hal semacam ini, juga karena faktor sibuk dan aku cukup selektif untuk memilih.
Ia menarik napas dalam. “Kalo gitu jangan, ya?”
“Tapi kamu keras, Donghyuck…”
“Jeno, jangan dipegang.”
“Mau aku bantu?”
Ia menahan tanganku di kepunyaannya. “Jangan, sayang. Biar aku urus sendiri nanti.”
Dirinya masih menahan pinggangku agar tidak lagi bergerak dan memperparah yang di bawah sana. “Jangan cemberut gitu dong…”
Aku membenamkan kepala pada perpotongan lehernya, memeluknya erat dengan masih dalam pangkuannya. “Ya udah nggak apa…”
“Tapi gantinya kamu nginep ya?”
“Aku besok—”
Aku makin mengeratkan pelukan. “Please?“
“Iya, Jeno.”
Sudah kubilang, bukan? Ketika aku bersama Donghyuck, aku juga mau mendengar segala afirmasi sayang darinya. Maka sekarang, jika dicap sebagai manusia paling haus akan validasi pun, aku nggak masalah.
“Donghyuck,”
Aku masih berada di atas pangkuannya. “Boleh ngomong yang lain.”
Ia bermain dengan surai hitamku. “Sayang?”
Aku menggeleng. “Bukan,”
Telunjuknya mengusap tulang pipiku, “Terus apa, sayang?”
“Ejen. Donghyuck boleh panggil aku Ejen.”
Ia menyeringai, namun sedetik kemudian senyum yang menyebalkan itu hadir. Menyebalkan karena aku tidak bisa menahan untuk tidak menciumnya.
“Ejen.”
“Iya…”
Donghyuck tertawa, lalu tersenyum, lalu tertawa lagi, lalu aku diberi cium di pipi, lalu tersenyum, lalu bawa aku pada dekapan hangat, lalu tanganku digenggam, lalu punggung tanganku dicium, lalu aku terbang, dan jatuh lagi pada pelukannya.
“Hiyu.” Ucapnya, masih mendekapku erat.
“Hm? Hiyu itu apa, Donghyuck?”
“Ejen juga boleh panggil aku Hiyu.” Katanya.
Yang ku lakukan adalah persis dengan yang tadi ia lakukan; tertawa, terseyum, lalu makin saling mendekap erat.
“Hiyu… hehehe.”
“Iya, Ejeeeeen?”
“Hiyu bobo sama Ejen lagi, ya…”
“Iya, nanti Hiyu nyanyiin lagi sampe Ejen bobo.”
“Hiyu nginep ya…”
“Iya sayang.”
“Ih kok nggak pake Ejen…”
“Iya, Ejen sayang…”
“Hehehe… kita lucu, ya?”
“Ejen doang yang lucu.”
“Iya deh Ejen doang yang lucu.”
“Ejen mau apa sekarang?”
“Masih mau dipeluk Hiyu…”
“Sampe kapan?”
“Nggak tahu, biarin gini aja…”
“Oke sayang.”
“Ih, Ejennya mana…”
“Oke, Ejen sayang…”