bang donghyuck jarang pulang.


Hari ini gue pulang telat. Masih dengan setelan kantor yang acak-acakan, gue masuk kamar dan membanting asal tas dan semua perlengkapan.

Jeno udah tidur, pulas tidurnya. Kayaknya terlalu lama nunggu gue pulang, kerjaan di kantor banyak. Proyek besar depan mata, gue susah curi waktu buat sekedar manja sama suami.

Gue memutuskan untuk nggak ganti baju karena males. Mau langsung tidur dan peluk Jeno sampe pagi, jujur, hari ini capek berat dan kepala gue rasanya mau pecah.

Hng...?Shit. Jeno bangun.

“Kamu udah pulang, sayang?” Katanya. Lucu, matanya hilang menyipit, suaranya serak karena bangun yang tak disengaja.

Gue menarik Jeno ke pelukan, kepalanya gue senderkan di dada yang masih dibalut kemeja. “Iya. Maaf ya, larut terus aku pulangnya.” Lalu gue kecup, kecupan paling hangat di keningnya.

Pelukan jeno mengerat, hati gue terenyuh. Pasti Jeno sedih karena sudah seminggu, atau mungkin lebih? Gue selalu pulang larut, di atas pukul 12 malam atau 3 pagi.

Cinta sekali… Sayang sekali..

Saat hendak memejamkan mata dan masuk ke tahap tidur yang lebih dalam, kemeja bagian dada gue basah.

Ya. Perkiraan kalian bener.

Jeno nangis一ah, nggak, dia udah terisak tapi ditahan.

Tolong tampar gue sekarang karena pemikiran tentang gagal menjadi suami yang baik bermunculan. Gue nggak hadir saat mungkin Jeno butuh untuk mengganti lampu teras atau sekadar merapikan tanaman halaman belakang.

Semuanya sudah dilakukan. Yang gue yakin dilakukan Jeno sendiri dengan hal yang nggak bisa dibayangkan一karena sudah tujuh bulan ini, ada calon manusia dalam perutnya.

Kenapa gue yakin Jeno lakukan semuanya sendiri? Well, Jeno kurang suka jika ada orang lain ngelakuin sesuatu untuk rumah kami. Atau faktor lainnya, selama masih bisa ia lakukan sendiri, pasti dilakukan oleh tangannya sendiri.

“Marahin aja akunya,” gue mengusap halus surai hitam yang paling disayang. Keningnya berkeringat, mungkin faktor hamil yang dikit-dikit buatnya gerah.

Bisa gue rasakan tangisannya makin ditahan, sekarang tangannya menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan suara.

“Maafin mas….” Gue menyeka bulir-bulir yang masih terus datang, nggak tahu kapan berhentinya tapi Jeno masih belum mau lihat gue; padahal sudah gue coba angkat tubuhnya untuk saling berhadapan.

Hiks….., mas, bosmu bisa ngertiin kita gak sih?” Tangisnya semakin terisak, tapi sekarang tangannya sudah genggam erat kemeja gue.

“Bosmu tuh, siapa sih? Lucas?”

Hiks….., bilang sama bosmu! Aku mau habisin waktu sama kamu nggak bisa gara-gara dia!”

Tuhan… kenapa jadi si pak bos yang dimarah? Kan, apa gue bilang, si sayang ini baiknya nggak terkira.

Dia lebih pilih untuk marahin Lucas daripada gue yang seharusnya kena marah. Hati gue sakit lagi, karena dia nggak pernah sekalipun ngucap kasar atau kasih bentak suaminya yang banyak kurang ini.

“Sayang, kok jadi Lucas?” Setelah beberapa percobaan, akhirnya gue bisa angkat tubuh si cantik untuk sejajarkan pandangan kami.

Sekarang posisinya kami saling menghadap, dengan Jeno yang masih gue dekap. “Aku tahu kok, dia ngasih kamu banyak kerjaan 'kan?”

“Terus dia enak-enak pergi liburan! Ya.. Cuman dua hari, sih? Tapi tetep! Kamu jadi capek dan keteter!” Katanya, sembari mencari aman dalam ceruk leher gue yang bau keringat; maaf, udah dibilang gue baru pulang.

Tapi gue tetep wangi. Parfum gue mahal.

“Lho, kok kamu tau?” Tanya gue penasaran, masih dengan tangan yang mengusap tangis dan surai hitam si kasih bergantian.

Jeno mengerutkan alisnya, “Kamu lupa ya, aku temennya mark?”

Ah, iya.

Mark pasti cerita ia pergi liburan dengan suaminya一Lucas ke Bali untuk dua hari. Sialan memang, proyek depan mata tapi malah enak bermesraan.

Masih gue ingat dengan jelas bagaimana Lucas ngasih semua berkas yang perlu gue handle karena dia akan bepergian selama dua hari. Saat gue mau protes, dia bilang, “Duh, sorry bro, janji gue kalo Mark hamil, gue ajak liburan!”

Bisa apa kalo sudah begitu.

Di satu sisi ingin marah dan protes lagi kalau pekerjaan ya tetap pekerjaan, tetap tanggung jawab yang harus dikerjakan sekalipun ia pemimpin di perusahaan. Tapi di sisi lain, gue bisa ngerti kenapa Lucas langsung ambil cuti 2 hari tanpa pemikiran panjang; Ini kehamilan pertama mark setelah 3 tahun mereka menikah.

Gue juga diberi tahu oleh bapak, kalau laki harus jaga janjinya. Nggak boleh diingkari, apalagi di khianati.

Dan urusan Jeno, mungkin ia juga diberitahu oleh Mark alasan yang menyebabkan gue overwork akhir-akhir ini. Yang sepertinya, lagi, Jeno bisa ngerti dan nggak protes lebih lanjut.

Tapi gantinya Lucas yang dicaci, gue bagian dicintai dan diberi cium. Hehe.

“Oh iya. Kamu dikasih tau Mark, ya?”

“Hm.” Jeno mengangguk sambil menggerakan jempolnya pada pipi gue.

“Pipi kamu kok jadi tirus begini, sih?”

Pipi gue ditangkup, bibir gue jadi mengerucut. Tangannya menangkup rahang gue dan dipandanginya lamat. “Sayang…. Kamu jarang makan, ya?”

Ah, tuhan…

Matanya berair lagi.

Gue menarik dagu Jeno untuk mencuri kecupan di bibirnya, bisa gue rasakan bulir bening asin yang turun dari pelupuk matanya. “Udahan yuk, nangisnya? Kasian dedek nanti ikut sedih…” lalu punggungnya gue tepuk pelan.

“Cium aku lagi…” Katanya. Matanya merah, hidungnya pun merah, bibirnya ikut merekah; bekas isakan yang baru berhenti beberapa saat lalu.

Langsung gue tangkup pipinya, mempertemukan bibir kering gue dengan bibirnya yang basah. Mulai dari kecupan kecil, kecupan lama, atau hanya saling menempelkan sambil menyalurkan rindu yang tak terbendung.

Setelah Jeno puas beri kecupan di bibir, ia sapu habis wajah gue dengan kecupan yang lain. Mulai dari kening yang perlu ia sibak dulu rambut gue yang berantakan, lalu diberi kecup lama, turun ke kedua mata dan hidung一kedua pipi, dan terakhir bibir lagi.

Dikecup berkali-kali, disayang sepenuh hati, gue dicintai setengah mati.

“Besok aku harus check-up ke dokter.” Jeno senderkan kepalanya di bahu gue.

Gue merangkul tubuhnya yang lemas, “Mau dianter?”

“Enggak. Kamu fokus aja kerja cari uang yang banyak!”

“Aku besok libur, lho?”

“Bener? Nggak bohong 'kan?”

Gue mengangguk. “Hm.” Lalu turun menuju perutnya yang membesar. Gue angkat pakaian tidur Jeno sampai atas dada, lalu mengusap halus perutnya.

“Dedek… besok kita main ya sama ayah?”

Jeno tertawa kecil, lalu menirukan suara anak kecil; mewakilkan si dedek. “Iyaaaaa, ayah! Besok dedek mau main sama ayah!”

Gue usap makin halus, gue pandangi Jeno yang yang sedang tersenyum lebar; tolong jaga senyumnya supaya abadi, tuhan..

“Dedek gimana selama nggak ada ayah? Bandel nggak sama papi?” Tanya gue lagi.

Jeno mulai menirukan lagi, “Nggak! Dedek anak baik! Dedek sayang papi dan selalu temenin papi ngobrol kok, yah!”

Jeno terkekeh karena suaranya sempat tak karuan di akhir, ketawanya melebar setelah lihat gue ikut ketawa juga.

Ah, seharusnya gue lebih bisa membagi waktu.

Setelah selesai sesi mengobrol dengan dedek, kami kembali tiduran dan saling beri pelukan. “Btw yang, kita belum ngurusin syukuran 7 bulanan, ya?”

“Hah? 7 bulanan?”

“Iya. Minggu depan deh? Gimana?”

Jeno menangkap netra gue intens, “Aku besok udah 8 bulan loh, yang?

“Hah?”

“Tau ah! Kamu kerja lagi aja sana! Gak usah peluk-peluk aku!” Setelah itu, Jeno melepas paksa pelukan kami dan memukul dada gue kencang.

Semua ini gara-gara Lucas.