Bogor di malam hari, ciki, dan si kecil yang akhirnya pulang.

POV: Jeno.

Menjadikan Bogor sebagai kota pertama dalam list kota yang akan gue kunjungi bukan sekadar iseng atau kebetulan. Sesuai dengan konsep album gue yang terbaru一yang menceritakan tentang tahapan hidup; Bogor adalah kota di mana hidup gue dimulai; lahir dan dibesarkan selama 5 tahun di kota hujan ini. Walau pada tahun terakhir, Bogor meninggalkan tragis yang menyebabkan gue tidak ingin lagi tinggal dan memilih untuk pindah ke rumah keluarga besar di Jakarta.

Mama tiada ketika gue masih duduk di bangku TK. Waktu itu, gue masih belum ngerti akan definisi meninggal yang sesungguhnya. Yang gue tahu, saat itu Ayah meyakinkan bahwa Mama pulang pada Tuhan Yang Maha Baik. Mama bahagia di sana, asal gue selalu mendoakannya.

Satu tahun setelah kepergian Mama, Ayah makin sibuk bekerja. Bersepeda pada sore hari yang selalu menjadi kebiasaan kami, tidak lagi dilakukan karena gue selalu merasa sepi jika melakukannya sendirian. Tidak ada lagi Ayah yang menceritakan betapa bahagianya ikan yang ia dapat setiap mancing. Rumah makin sepi dan perlahan-lahan kehilangan hangatnya.

Satu tahun kemudian, Ayah dipekerjakan ke Kalimantan. Namun enam bulan setelah Ayah pergi, gue dan Nenek tidak lagi mendapat kabar. Sampai akhirnya, Bibi datang dan mengajak kami pindah ke Jakarta.

Tumbuh di Jakarta tanpa cinta Mama dan Ayah tidak selamanya buruk. Ada Nenek, adiknya Nenek, dan anggota keluarga lainnya dalam rumah yang tiga kali lebih besar dari kediaman kami di Bogor. Gue sama sekali nggak pernah sekalipun diperlakukan tidak adil oleh mereka, gue selalu disayang penuh hati dan dikasihi setengah mati.

Di umur ke-15, yang seharusnya gue pikirkan hanya pilihan masuk SMA atau SMK, semuanya malah buram karena undangan pernikahan yang dikirim Ayah lewat surat pos.

Coba kalian bayangin aja, terakhir ketemu 11 tahun yang lalu. Putus kontak, nomor diganti, nggak ada media sosial yang bisa gue raih walau selalu gue coba. Tiba-tiba ngirim undangan pernikahan yang ditujukan hanya kepada gue; tidak seorangpun dari keluarga Mama yang diundang. Dia sama sekali nggak punya malu, egois, dan bener-bener nggak ngerti perasaan anak tunggalnya.

Di umur ke-15, gue nggak percaya lagi akan sosok Ayah.


11 years ago.

“Mama pergi…, sekarang一hiks, Ejen sendirian. Ayah mau kemana… kenapa Ejen nggak boleh ikut?”

“Ayah pergi sebentar aja, Ejen. Nanti ayah pulang bawa coklat banyak.”

“Kata Nenek, Ayah perginya bakal lama… Ayah jangan boong sama Ejen..”

“Ejen, Ayah harus kerja di Kalimantan. Jauh dari Bogor, tapi Ejen masih bisa telepon Ayah. Walaupun Ayah jauh, Ejen harus selalu inget kata Mama; kalau kangen, sebut namanya dalam hati dan mohon pada Tuhan agar dilindungi dirinya.”

“Nggak mau… Ejen maunya sebut Ayah pake teriak-teriak, kayak Ayah!! Mainan Ejen yang kemaren beli di alun-alun mana? atau Ayah!! Ejen mau nonton kartun yang bisa ngomong sama monyet… Ejen nggak mau sebut Ayah dalem hati karena artinya Ayah jauh dari Ejen.”

“Ejen… udah ya bageur, Ayah pasti pulang, kok. Udah ya一”

“Ayah! Ayah jangan pergi!! Ejen nggak mau sendiri… Ayah!”


Keberadaan gue di sinilah yang membuktikan bahwa tanpa sosok Ayah pun, hidup gue bisa berlanjut.

Di salah satu gedung yang dari dulu hanya gue lihat dari luar karena berada dekat pusat perbelanjaan yang sering kami kunjungi. Gedung yang ternyata sepuluh tahun kemudian, gue akan tampil dengan lagu gue sendiri一lagu yang dibangun dengan duka; tapi tanpa gue sangka, karya ini ternyata menghadirkan suka bagi para sukma.

Dan gue cukup bangga akan hal itu.

Rehearsal berjalan dengan lancar, sebelum konser di mulai, mbak Yer telah menyiapkan obat一hanya vitamin biasa, agar tidak terlalu lelah.

Konser dimulai dengan track pertama dari The Steps Of Life; Newborn. Sorot lampu tertuju pada gue, penonton cakap mendengarkan seraya mengangkat ponsel mereka dengan flashlight yang menyala.

Kalau boleh jujur, gue hampir menangis membawakan Newborn.

Karena lagu itu gue tulis dan persembahkan untuk Mama.

Lagu kedua dan lagu seterusnya, sorot lampu mulai bervariasi dan berganti warna-warni. Apalagi ketika toddler dimulai, bahkan sebelum intronya diputar, gue sempat mendengar salah satu penggemar meneriakan “JENO LO MANIS BANGET MIRIP DODONGKAL!”

Uhm… sorry, dodongkal itu apa, ya?

Pada saat ment, lampu menerangi segala sisi, gue bisa melihat semua penonton antusias menanggapi. Apalagi salah satu orang yang berada di front row, dia pake bucket hat dan tidak mengangkat ponsel seperti yang lain. Pemandangan yang… jarang ditemui setiap tampil.

Seruan antusias dan tanggapan setiap gue bertanya pada audiens selalu menyenangkan; mayoritas menjawab seadanya namun si cowo bucket hat一 mungkin, energinya tanpa limit; dia lompat sepanjang lagu i know love. Namun pada buried alive, ketika yang lain menyerukan “Awww” karena koreografi lagu ini yang cukup, uhm一erotis, mata gue tidak lagi otomatis menemukannya, ia hilang entah kemana.

Setelah buried alive dan closing songs, gue menyampaikan pidato kecil yang isinya adalah bagaimana gue selalu berterima kasih akan cinta dan waktu yang mereka berikan pada karya-karya gue maupun gue sendiri. Gue juga berpamitan dan mengambil beberapa foto.

Konser selesai, acara penutupan dan evaluasi kecil dengan para staf serta semua tim selesai, make up dan urusan hari ini selesai, gue akhirnya bisa istirahat sebentar untuk acara kuliner dengan mbak Yer besok.

Namun hari ini, skenario hidup gue sepertinya sedang dipermainkan.

Tadi, saat gue hendak keluar dari lift dan menuju parkiran, ada si cowok bucket hat duduk di pinggir tanaman hias. Sebelah tangannya meremas perut, kepalanya ditundukkan ke bawah dan sebelah tangannya lagi sibuk; sepertinya menelepon seseorang.

Gue mempersilahkan bodyguard yang akan mengantar gue ke mobil untuk duluan saja. Nggak mudah, karena beliau keukeuh akan mendampingi gue sampai mobil. Tapi bukanlah gue kalau tidak bisa meyakinkan orang; setelah beberapa bisikan permohonan, bodyguard itu pergi juga, tapi gue yakin sebenernya ia hanya sedikit menjauh dan memperhatikan gue diam-diam.

Tepat saat gue akan merunduk, si cowok bucket hat bangun terburu-buru, menabrak pundak gue kecil lalu topinya jatuh.

“Topinya!” Gue menahan lengannya, mengambil topi yang terjatuh lalu menyerahkan kepadanya.

Dia… melotot? Diem? Tangannya gemetar menerima topi. Tapi tiba-tiba mimik mukanya seperti menahan sakit lagi? Terus ngomong一ah, ini kayaknya teriak?

Ini perlu dibawa ke UGD nggak, sih?

“MAU MINTA TANDA TANGAN”

…oke?

“MAU FOTO JUGA PLEASE.”

Ini dia beneran sakit nggak sih…

“GUE GAK TAU HALU APA ENGGA TAPI PLEASE TAMPAR GUE! SOALNYA KALO MAAG GUE KAMBUH, GUE SUKA TIBA-TIBA HALU.”

Maag? Kambuh?

“LO JENO KAN?”

Gue mengangguk.

“AANJRIIIIITTTTT YA ALLAH YA RABBI MIMPINYA INDAH BANGET NGGA MAU BANGUN.”

“Gue nggak punya makanan, tapi ini ada ciki. Mau?” Gue menawarkan ciki yang dari tadi gue bawa; niatnya mau nyemil nanti di mobil.

“Mau sate padang,”

Hah? Ini dia kenapa sih...

“Sate padang sebelah swalayan.”

“Ayo.”

“HAH???????”

“Gue juga laper banget. Ayo makan sate padang, tapi bantuin mikir gimana caranya lolos dari bodyguard.” Gue menunjuk pintu keluar gedung yang memisahkan dengan basement parking.

“Pake topi gue,” Katanya.

Dia memasangkan bucket hat tadi ke kepala gue. “Oke, udah gak keliatan ganteng.”

Gue mengangguk kecil lalu mengajaknya keluar dari sini, namun gue sadar kalau di parkiran pasti bodyguard tadi masih ada, lalu puter balik masuk lagi ke dalam gedung.

“Jangan lewat bawah.”

“Terus lewat mana?”

“Pintu utama. Jalan kayak orang biasa dan jangan buat kontak sama satpam.”

Si Jeno ini tidak sabar untuk melihat bagaimana kota tempatnya lahir berkembang selama ia tidak di sini. Si Jeno kecil yang ada dalam diri gue, meronta-ronta ingin bebas. Pilu dan rindu berhambur jadi satu, beri kuat serta yakin pada Jeno dewasa yang masih ragu untuk berjalan lagi pada kota ini.

Lantas dengan perasaan campur aduk, kakinya melangkah lebih cepat dari biasa. Dirinya mantap berjalan dengan dorongan tangan dari si cowok bucket hat pada punggungnya.

Satpam berhasil dihindari, presensinya kali ini nggak beri atensi. Si Jeno kecil menyeru senang dalam hati saat keluar gedung tadi.

Dan pada malam itu, Bogor mendapatkan gue satu teman baru.