can we stay together?
POV: Hamzi.
Sebelum mulai, lu semua boleh marahin gua sepuasnya.
Udah? Lesgo.
Seperti yang sudah gua katakan padanya di chat, waktu setelah kami benar-benar selesai nggak pernah seindah saat gua bersamanya. Bokis? Nggak, hidup gua jadi caur karena kita nggak sedeket dulu lagi.
Asel terlalu baik untuk dilupakan.
Jiwanya terlalu indah, parasnya terlalu berharga untuk dihapus dari ingatan. Semua yang menyangkut Asel, nggak pernah buruk. Semua tentang Asel, selalu gua panjatkan doa pada Tuhan agar perihal baik selalu datang padanya.
Hal yang membuat gua merasa berdosa dan menolak untuk memaafkan diri sendiri adalah saat Asel bilang gua membuatnya tidak percaya lagi akan kata cinta. Gua tidak lagi mempertanyakan apakah yang gua lakukan kepadanya jahat, gua terus mengutuk diri sendiri.
Tapi setelah kalimat itu keluar, dengan hati malaikatnya一jiwanya yang terlampau menawan, Asel mau menerima tawaran untuk mencoba lagi, nanti. Asel mau berdamai dengan gua; patah hati pertamanya.
Namun puncaknya bukan di situ. Benar adanya jika gua menyesal, tetapi yang membuat gua makin terus mengutuk diri sendiri adalah saat satu waktu, ada Asel duduk di depan makam Ibu, merapikan taman bahagianya. Peristirahatan terakhir Ibu diperlakukan sebagaimana dulu ia membantu Ibu merapikan taman belakang rumah kami. Asel, dengan telaten tangannya menabur bunga pada pusara Ibu.
Lalu merapal doa di sana.
Gua? Gak bisa untuk sekedar berdiri tegak. Gua duduk di pinggiran bangku yang tak terlalu jauh dari tempat Ibu, memperhatikan setiap perlakuan Asel pada pusara Ibu一dengan senyum ia perlakukan rumah Ibu seakan Ibu ada di sana mengajaknya bicara.
Dulu sekali, saat pertama kali gua mengajak Asel ke rumah Ibu, obrolan mereka dengan cepat menyambung. Asel selalu tau cara yang asik untuk menjawab setiap pertanyaan atau candaan yang Ibu lontarkan. Hasmi selalu betah mendengar cerita Asel tentang benda langit, seperti bintang kecil yang benderang pada malam hari dan sebesar apa bulan. Bagaimana manusia bisa memijak tanah, mengemas sejarah Isaac Newton tentang hukum gravitasi dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak kecil, atau kisah Nabi yang selalu didengar antusias oleh Hasmi.
Saat melihat semua itu, dalam hati gua terus mengucap semoga kenyataan dan tujuan awal gua yang buruk, nggak akan pernah diketahuinya.
Karena sekarang yang jatuh lebih dalam adalah hati, bukan nafsu ataupun niat jahat. Dan gua ingin selalu berlama-lama berenang dalam kolam penuh cinta. Kolam yang airnya ditambah larutan一mengakibatkan gua semakin bergantung; larutan yang tidak gua mengerti. Larutan yang membuat gua makin sayang; nggak hanya kepadanya, tapi juga kepada keluarga, kerabat, dan hal-hal kecil yang baru gua sadari harus disyukuri.
Pukul setengah tujuh tadi, Jaemin nelpon untuk ngajak bareng berangkat ke prom. Awalnya gua nggak tertarik, enggan berangkat dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan main PS. Namun rencana awal yang sudah gua susun itu batal semua karena Jaemin mengatakan Asel butuh tumpangan.
Langsung gua bergegas mengambil setelan bekas seragam keluarga untuk pernikahan sepupu gua setahun yang lalu, Alhamdulillah masih muat. Memoles sedikit rambut, menyemprotkan parfum terbaik dan minta izin sama Bapak untuk pinjam mobil.
Saat sampai di depan rumah Asel, ada Renjun yang sedang menekuk bibirnya dan Asel memalingkan wajahnya tepat saat gua keluar dari mobil.
Ini pertama kalinya gua melibat Asel dalam setelan lengkap, rambutnya yang ditata rapi, tangannya yang masuk ke dalam kantong celana一so pleasing to look; dirinya selalu tau cara membuat orang tidak bisa untuk tidak melihatnya.
Tapi gua sadar betul dengan tingkah lakunya yang menjadi lebih dingin, nggak banyak bicara dan wajahnya selalu melihat ke arah lain. Menghindari kontak mata, menyibukan pandangannya pada sesuatu apapun yang bisa ia lihat. Yang bisa netranya tangkap.
Gua tidak bisa melakukan apa-apa.
Payah.
Maka gua tawarkan Jaemin untuk menukar kendaraan kami. Jadilah gua yang bawa motor. Awalnya gua sempat berharap Asel akan ikut dengan gua dan duduk di jok belakang, namun tingkahnya tidak menunjukkannya, mulutnya tidak bergerak dan berkata Ya saat Renjun bilang, “Lo mending temenin Hamzi pake motor.”
Asel mendecih. “Ga一”
Lalu gua berkata, “Naik mobil aja, takut hujan kalau pake motor.”
Dia mengangguk. Mereka berangkat duluan dengan gua yang mengikuti dari belakang.
Sebelum mendapat SIM, Bapak selalu mewanti-wanti untuk selalu mematuhi aturan lalu lintas. Pake helm waktu motoran, menyalakan lampu sen kalau mau belok, memperpelan laju jika ada yang hendak menyebrang, dan lainnya yang akan selalu gua praktekan setiap berkendara di jalan raya.
Namun mungkin hari ini adalah waktu dimana porsi sial gua datang. Ketika gua hendak belok kiri ke jalan raya yang lebih besar, ada angkot dengan kecepatan penuh dari arah belakang; yang ternyata, setelah dijelaskannya saat perjalanan menuju rumah sakit, pengemudi ini kurang awas sama pinggiran jalan. Saat itu laju motor gua bawa pelan karena ada yang abis nyebrang. Lalu motor goyang一gua kehilangan keseimbangan dan jatuh.
Awalnya, gua menolak untuk dibawa ke rumah sakit, karena gua masih bisa bangun walau nggak sempurna dan harus dituntun; pinggiran lutut kena knalpot, perih wak. Tapi beberapa orang yang menolong dan supir angkot tadi bersikukuh untuk gua dibawa kesana. Gua segera menghubungi Bapak saat setelah selesai diperiksa dan luka-luka ini dibersihkan serta diobati oleh perawat.
Bapak datang bersama Hasmi yang sudah mengenakan baju tidurnya, lego di tangannya menandakan bahwa ia pasti dibawa buru-buru oleh Bapak. Gue bilang pada mereka untuk nggak perlu terlalu khawatir karena tidak ada luka serius, hanya lecet dan… sepertinya gua butuh dipijat.
Notifikasi pesan dari Asel rasanya menyembuhkan segala rasa nyeri di badan. Gua refleks bangun, lalu mengetik cepat dan menjawab beberapa pesan dari Sunwoo dan lainnya mengenai letak rumah sakit.
Supir angkot tadi meminta permohonan maaf pada Bapak, beliau sampai hendak bertekuk lutut tapi Bapak menahannya. Kata Bapak, yang bisa didengar dari sini, “Justru saya atuh mang, yang makasih, udah dianter kesini anak sayanya.”
Langit sudah menggelap, Bapak menyarankan agar si mamang angkot segera pulang karena gua masih bisa bernapas. Alasan lainnya juga karena sebentar lagi kami bisa pulang ke rumah.
Namun beberapa menit saat Bapak bersama Hasmi ke toilet, mereka mengabarkan lewat chat bahwa teman-teman gua ada di sini.
Kata Bapak, Asel juga datang.
Detak jantung gua bereaksi lebih cepat saat membacanya. Asel, yang seharusnya bersenang-senang sekarang, menikmati acara prom, malah menyisakan malamnya untuk datang menemui gua.
Ya bisa aja karena dipaksa yang lain gak, sih?
Ah, tapi malam ini tolong izinkan gua merasa senang kalau Asel datang. Tolong izinkan gua untuk jadi manusia paling ge-er satu dunia. Tolong izinkan jari gua untuk beraksi一mengetik kalimat untuk menjemput kupu-kupu kembali; izinkan gua, untuk memperbaiki semuany一
Asel datang.
Asel menyibak hordeng yang memisahkan para pasien UGD, duduk di pinggiran kasur. “Kesel gua sama lu.”
Lagi, tolong katain gua yang banyak lagi.
Supaya gua tau kalau yang ada di sini sekarang bener-bener lu, sel.
“Maaf一”
“Jangan ajak gua ngomong, please.” Ia melepas blazer nya, lalu menyampirkannya pada sebelah pundak.
Gua duduk, mencari posisi paling nyaman untuk memulai obrolan. “Kalo gitu gua yang ngomong.”
Gua menarik napas pelan, menghembuskannya perlahan; seraya melepas gugup, melepas ragu一melepas rindu.
“Makasih,”
Belum ada pergerakan.
“buat semuanya. Kenangan, waktu yang lu abisin buat gua, udah ngejadiin gua yang pertama, ngasih izin gua buat hadir dalam peristiwa-peristiwa penting dalam hidup lu. Makasih udah sabar...”
”...dan maaf.”
Kepala Asel menunduk. Tangannya memainkan kuku, perhatiannya penuh ke bawah.
“Maaf gua jadiin lu bahan bala一”
“Stop.”
“Jangan bilang gitu, minta maaf yang bener. Sakit hati tiap denger kata-kata itu.”
Lagi-lagi gua hampir menjadi penjahat.
Pandangan Asel pindah pada gua. Ia memiringkan tubuhnya untuk melihat gua si penjahat ini.
“Maaf gua ngancurin rasa percaya lu ke gua, maaf udah jadi pengecut, maaf masih suka chat padahal lu bilang jangan chat sampe lulus, maaf一” Napas gue tertahan.
“Maaf karena gua ngancurin pengalaman pacaran pertama lu.”
“Maaf karena gua yang jadi pacar lu.”
Hening.
Gua tidak bisa mengartikan tingkah Asel sekarang, karena matanya menatap goresan luka gua di dahi, tapi tangannya meremas kecil ujung celana kain gua. Bibirnya seperti ingin berkata sesuatu, namun yang bisa gua rasakan saat ini hanya gerakan dadanya yang terus menghembuskan napas.
“Kalo lu berubah pikiran dan masih nggak mau maafin gua gak papa, sel. Gua emang pantes一”
Ucapan gua di potong lagi.
“Kesel gua sama lu.”
Iya. Kesel aja yang banyak, Asel.
“Kesel karena gua nggak bisa lupain suara lu di telepon yang ngidam batagor jam 3 pagi.”
Gua memiringkan kepala, heran. Tapi lega.
“Kesel.” Remasan tangannya pada celana gua mengerat.
“Kesel karena gua selalu inget gimana lu dulu ngebuat semuanya menyenangkan,”
“Karena sekarang, setiap apa yang gua lakuin sendirian, gua selalu berpikiran一kayaknya seru kalo ajak Hamzi.”
“Padahal harusnya gua gak boleh. Padahal harusnya gua lupain lu, Hamzi.”
“Padahal lu jahat sama gua, tapi kenapa gua nggak bisa bales jahat?”
“And it's killing me…“
Kalian pernah ngerasain rasanya ditabrak angkot, tapi yang luka parah hati? yang kritis dan hampir mati hati? yang minta pertolongan dan penawar malah hati?
Ini yang gua rasakan sekarang. Karena nyeri dan pegal yang gua rasakan, rasanya nggak ada apa-apa dibanding hati yang sedang merasakan segala emosi.
Gua belum sempat jawab dan merespon apa yang baru saja Asel ungkapkan karena Bapak dan Hasmi datang mengajak kami pulang, bentar lagi hari akan berganti.
Asel membantu gua bangun, menopang badan gua supaya nggak jatuh saat pertama kali berdiri. Gua masih bisa jalan, cuman kaki pincang sebelah.
“Sel, tapi serius, kalo nggak bisa mending gak usah一” Ini kalimat pertama yang gua lontarkan saat keluar dari UGD.
“Ya emang nggak bisa sekarang.” Katanya saat kita melewati koridor.
“Nanti 'kan?” Lanjutnya.
Gua mengangguk. “Gua pasti nunggu.”
Kami sekarang sudah berada di kawasan parkir, mobil yang dibawa Jaemin tadi ada di sana. Ingatkan gua untuk berterima kasih dan minta maaf padanya ketika sampai di rumah nanti.
“Omong-omong sel, kenapa?”
“Hmm?”
“Kenapa guanya masih dikasih kesempatan?”
Gerakan tangan Asel berhenti saat hendak membuka pintu mobil. Gua ada di sisi kanan, sedangkan dirinya di sisi kiri. Kami sama-sama menunda masuk, menyelesaikan apa yang belum tuntas sebelum perjalanan pulang.
Jarinya mengusap mata, “Boleh jawab di chat aja? Ngantuk.”
Gua terkekeh kecil, lucu. Matanya makin menyipit. Gemes.
Lalu kami masuk ke dalam mobil dan pulang menuju rumah.
Tidak ada konversasi atau kontak fisik selama di mobil, kami sibuk dengan pikiran masing-masing, dengan suara musik di radio, dengan pemandangan malam hari dari jendela.
Asel memojokkan tubuhnya ke samping kiri, menghapus jaraknya dengan pintu mobil. Begitupun gua, duduk mepet pintu dengan kepala yang diistirahatkan pada jendela.
Mungkin hari ini adalah hari yang panjang.
Mungkin kesempatan diberikan karena pengalaman sebelumnya membuat kita一 sebagai manusia, belajar. Bahwa harus melakukan yang lebih baik. Harus memperbaiki. Mereparasi.
Atau mungkin bisa jadi ini bukan selalu tentang memperbaiki yang patah dan salah; mungkin, ini tentang memulai kembali dan membuat atau membangun sesuatu yang lebih baik lagi.
Dan gua, akan selalu siap untuk apapun itu kedepannya.
Asal jawabannya Asel.
Asal Asel.