Asel, dan perubahan mood-nya yang buat Hamzi pusing.
POV: Hamzi.
Read at your own risk. Your choice your responsibility. Decided not to put any tags, but this fic is basically a porn (with feelings of course)
Ditulis dalam point of view Hamzi, alias sudut pandang orang pertama. Berhenti di sini jika kurang nyaman dengan konten seksual.
Pulang kelas tadi, Asel mukanya udah gak ngenakin banget. Gua jemput telat karena harus ngurusin urusan sekolah Hasmi. Bayar SPP dan beli buku paket penunjang pembelajarannya.
Kata maaf dan kalimat yang membuktikan bahwa gua tidak sepenuhnya salah, hanya dijawab gumaman oleh Asel. Selama di motor pun, yang gua dengar hanyalah helaan napasnya yang berat. Tangannya tidak mengerat pada jaket gua seperti biasa, pundak gua juga tidak dijadikan tempat istirahat sejenaknya sampai tujuan.
Asel hari ini aneh, dan gua kurang nyaman jika ia lebih memilih diam dibanding menceritakan keluhannya.
Setelah gua beres mandi, Asel masih nyemil depan TV. Acara yang sedang tayang itu ia acuhkan, matanya kosong melompong. Gua yakin, pikirannya lagi nggak baik-baik aja.
“Gak bosen tu bibir maju mulu? Sekalian ajalah ikut balap lari.” Gua mengambil bagian kosong sofa rumah Ibu, duduk di sebelah Asel.
Jawabannya hening.
Gua ngambil serauk basreng di toples yang berada di pangkuan Asel. “Bisa kali dijawab.”
Jawabannya masih hening.
Asel bangun dan pergi ke kamar mandi. Gua menunggunya di sini sambil mencari acara yang cukup layak untuk memanjakan mata. Acara jaman sekarang… perlu dipertanyakan. Karena itu, gua lebih pilih buat buka netflix.
Selagi gua sibuk dengan tontonan, Asel keluar dengan rambut yang basah dan berantakan. Kayaknya ini anak baru keramas, wangi dari kamar mandi juga bisa gua cium.
Ia keluar dengan handuk yang melingkari bagian bawahnya, lalu masuk ke kamar gua, kayaknya sih mau ngambil baju, tapi tumben gak izin atau bilang dulu.
Biasanya, setiap kali Asel mau minjem baju atau apapun, dia setidaknya bakal bilang. Namun kali ini, teriakkan dari atas kamar gue tidak gua dengar seperti biasa. Gua di lantai bawah makin mempertanyakan, Asel sebenernya kenapa sih hari ini?
Nggak bisa dibiarin, penasaran yang menggebu ini harus dapet jawaban. Emang sih, biasanya Asel kalo lagi badmood bakal diem begini, tapi sebelumnya dia bakal kasih warning.
Kayak waktu itu,
Hamzi, gua lagi bt banget. Jangan diajak ngobrol, please. Nanti kalo udah enakan gua pasti bilang.
Atau kala itu,
Hamzi, kucing gua si cimol mati. Lagi mau sendiri dulu. Jangan chat atau telepon, ya. Nanti pasti gua kabarin.
Sekarang, gak ada Asel yang selalu menomor satukan komunikasi diantara lainnya. Sekarang, hanya Asel yang meninggalkan gua dengan seribu misteri.
Setelah memastikan kunci pintu depan dan belakang terkunci, mematikan TV dan cek dapur apakah kompor nyala一gua menuju lantai atas, menuju Asel yang sepertinya sedang kalut.
Yang dapat disimpulkan dari apa yang gue lihat di depan pintu adalah, mood-nya benar-benar kacau. Rambutnya ia biarkan basah, juga belum memakai sehelai pakaian. Handuk yang tadi masih berada di pinggang ketika keluar dari kamar mandi lantai bawah, ternyata masih bertengger di pingganggnya.
Asel merebahkan dirinya di kasur, pandangannya lurus ke atas menatap lampu dan poster iron man yang sengaja gua tempel di atas dekat lampu.
Gua menyisir ke belakang rambutnya yang basah. “Mau ketoprak gak?”
Gua terkejut dengan tepisan tangan Asel. “Jangan pegang-pegang gua.”
Aduh, gak beres nih.
Gua berjalan ke lemari dan mengambilkan baju serta celana, lalu gua beri padanya yang masih enggan bangun. “Pake baju dulu. Dingin.”
Ia menepis lagi pemberian gua. “Ck. Bisa diem dulu gak sih?”
Fine. Kalau dia gak mau pake baju, gua naikin temperatur AC supaya dia gak ngerasa terlalu dingin.
Dia merebut remote AC ketika pandangannya mengarah gua. “Banyak tingkah.” Lalu menurunkan lagi temperatur yang baru saja dinaikkan.
Nggak terima akan perlakuannya, gua memaksa Asel memakai baju. Biar saja dikata kasar atau gak sopan, gua gak mau besok mendengar Asel nyalahin dirinya sendiri karena sakit. Karena masuk angin, karena pilek, karena gak pake baju dan kurang memperhatikan diri sendiri sampai gak ikut kelas. Gua akan sangat benci jika Asel sudah memukul kepalanya sendiri.
Sisi Asel yang baru gue kenal sejak masuk dunia perkuliahan adalah sisinya yang tidak menerima bahwa dia tidak melakukan yang terbaik pada salah satu mata kuliah. Jika ada nilai yang menurutnya kurang memuaskan, dia bales dendam dengan belajar seharian dan mematikan ponsel. Mengabaikan gua juga, tentunya.
Kadang, gua masih kesusahan untuk berkawan dengan sisinya yang ini.
Asel berontak ketika gua memasukkan lubang kepala baju padanya. Ia melempar kaos itu sembarang arah. “Anjing, Zi. Sumpah anjing bisa jangan ganggu gua gak?”
Matanya merah.
Rahangnya mengeras.
Tangannya dikepal.
Yang bisa gua rasa, emosinya bentar lagi keluar. Emosi yang jarang ia ekspresikan, bentar lagi datang.
Asel, kalau marah pasti nangis.
Dan gua benci, jika bulir air matanya itu turun karena gua.
Karena gua pernah melihatnya hancur sebelum ini. Karena alasan dibalik itu adalah diri gua sendiri.
Maka yang gua lakukan sekarang adalah diam. Menatapnya bersusah diri menahan segala emosi yang akan meluap, melihat napasnya yang menggebu-gebu.
Dan sial, gua harus lihat lagi tangisnya turun.
“Pake baju.” Gua berkata.
“Seenggaknya pake baju supaya gak kedinginan. Baru boleh nangis.”
Asel menatap gua remeh. “Really, Zi? Yang lu peduliin disaat gua kayak gini cuman baju?”
“Lu gak bisa kedinginan, gua inget kata Bunda, lu ada alergi dingin. Jadi tolong pake baju.”
Matanya makin memerah, tangannya menggenggam satu sama lain, mengepal dan bergetar. “Tolol.” Umpatnya.
“Lu bahkan gak peduli disaat gua begini.”
“Gua peduli, makanya nyuruh lu pake baju.”
Air matanya turun makin cepat. “Maksa banget, anjing.” Ucapnya.
“Pengen nonjok lu, sumpah. Gak suka banget kalo lu udah maksa.” Ucapnya lagi.
Gua meraih tangannya yang sedari tadi mengepal menahan gerakan, “tonjok aja.”
“Tonjok gua kalo itu bisa buat lu lega.”
Ketika gua bawa tangannya pada pipi, ia melepaskannya kasar dan menghapus tangis yang turun dengan cepat.
Ia menatap gua lamat, “Hamzi, marahin gua aja please.”
Gua memiringkan kepala, bertanya-tanya kenapa hari ini Asel grumpy banget. “Apa alesan kuat yang mengharuskan gua buat marahin lu?”
Ia menundukkan kepalanya. Menatap kakinya di bawah. “Semester ini nilai matkul gua ada yang B.”
Ya Allah.
Kadang gua pengeeeeeen banget teriak kalo nilai bukan segalanya. Nggak harus dibawa pusing jika perbandingannya cuman 2:1. Nggak papa, lu tuh udah ngelakuin yang terbaik, Sel. Cuman sifat perfeksionis yang elu alamin tuh kadang yang ngebuat lu sendiri sedih dan uring-uringan.
“Nggak papa. Lu masih bisa ngelakuin lebih baik lagi di semester depan.” Gua mendekat padanya, merangkul pundaknya sembari mengelus-elus bahunya.
“Gua mau belajar sekarang.” Ia hendak beranjak dari kasur menuju meja di ujung kamar, sebelum gua tarik dirinya dan memangku badannya di atas paha.
“Nanti. Sekarang istirahat dulu.”
Ia menggeleng, “lu tuh gak ngerti, Zi. Gak pernah ngerti apa yang gua rasain kalo nilai turun.”
Gua menahan tubuhnya agar tetap berada di posisi ini. “Ngerti. Gua ngerti lu pasti kesel sama diri sendiri. Tapi biarin hari ini istirahat dulu, tidur dulu, makan enak, atau lakuin apa aja yang bisa seenggaknya ngebuat lu lega.“
Tangisnya berubah jadi isak ketika berontaknya nggak membuahkan hasil; gua masih enggan melihatnya makin pusing jika ia memilih untuk memperdalam ilmu disaat pikirannya kalut.
Karena menurut gua, ada saatnya kita memberi koma pada setiap fase. Ketika hal yang nggak sesuai ekspektasi datang, ngebuat capek dan menguras energi, ada baiknya istirahat dan merilekskan pikiran sampai dirasa yakin untuk mengulang lagi. Untuk memulai lagi. Karena nggak ada salahnya untuk istirahat satu kali pada perjuangan yang lu kerjakan seribu kali.
Dan gua mau Asel dapat memahami itu.
“Hamzi, lepasin please,”
Gua menggeleng, mengelus punggungnya yang belum dilapisi sehelai benang pun. Ini kalau gua nggak salah rasa, gua bisa ngerasain banget kepunyaan Asel menyundul lewat handuk.
Tahan, Hamzi.
Nggak ketika Asel sedang begini.
“Gua mau belajar. Lepasin anjing!“
Ia mendorong dada gua ke belakang sehingga gua terbaring di kasur. Tangan gua kalah cepat dengannya yang langsung bangun untuk memakai pakaian yang tadi gua beri namun ia tolak.
Gua menghembuskan napas kasar melihatnya membuka tas dan mengeluarkan iPad, mengulang rekaman dosen yang selalu ia rekam setiap kelas. Lalu ia catat kembali, ia pelajari lagi dengan tangannya yang terus memukul kepalanya ketika dirasa materi itu belum masuk ke otaknya.
This is beyond frustrating.
Namun biarlah, dia kadang emang susah dikasih tau. Ini adalah bagian dari Asel yang perlu gua ngertiin lebih dalam一bagian yang masih perlu gua pelajari bagaimana cara terbaik untuk meladeninya.
Maka biarlah, biarlah ia berkutat dengan materi itu semua. Gua akan menontonnya belajar dari sini, sampai ia merasa bosan sendiri.
Empat puluh menit berlalu, sudah terhitung ini adalah pukulan ke-3 yang ia pukul pada kepalanya sendiri. Gua nggak tahan banget, soalnya dia mulai meracau kasar dan menyalahi dirinya.
This really break my heart.
Gua menarik kursi kosong di sebelah, lalu mendekat padanya dan menepuk-nepuk pelan punggungnya. “Udah, Sel. Nanti lagi.”
“Hamzi… kenapa gua gak ngerti-ngerti.”
Gua memeluk Asel dari samping. “Bisa, cuman untuk sekarang jangan dipaksa. Istirahat dulu, sayang. Jangan terlalu diforsir.”
Mungkin, ia sudah terlalu lemah ketika gua rengkuh tubuhnya. Karena kali ini dia nggak berontak.
“Tidur… mau tidur.” Ucapnya.
Gue meng-iyakan dan segera menggendongnya ke tempat tidur.
Setelah menyelimuti dan mengecup keningnya, ia perlahan memejamkan mata. Menggunakan lengan gua sebagai bantalan, juga kepalanya yang sejajar dengan dada, gua sangat berharap hal sekecil ini bisa mengobati perihal yang tadi membuatnya stres.
Hari ini panjang, baik Asel maupun gua, kami berdua pantas mendapatkan tidur yang nyaman.
Anjing.
Yang gua rasain sekarang anjing.
Pemandangan yang gua tangkap juga anjing.
Bagian bawah gua anjing.
Dan yang paling anjing adalah, di luar hujan. Menambah sensasi sensual yang gua rasakan. Nafsu gua makin tinggi, makin haus dan pengan tuntun Asel supaya nyepongnya gak kena gigi.
Udah ketebak, 'kan? Kira-kira apa yang gua rasa dan lihat sewaktu gua bangun一ah, kebangun.
Celana gua sudah entah ke mana perginya. Dalaman gua juga nggak ada. Yang ada adalah Asel yang duduk di samping dengan terus memaju mundurkan penis gua pada mulutnya.
“Ngapain?”
Ia terkejut melihat gua bangun, Asel langsung melepaskan penis gua pada mulutnya. “Udah bangun?” Tanyanya setelah berdehem kecil.
Gua mengangguk dengan masih posisi baring. “Lu ngapain?”
“Tadi pas kebangun, gak sengaja senggol punya lu. Terus keras. Ya udah gua inisiatif.”
Inisiatif katanya jiiiiiirrrrrrr.
“Gak suka, ya?” Tangannya menggerakan penis gua ke atas dan ke bawah. Gua melihat jam, ternyata masih pukul sebelas malam.
“Suka. Tapi jangan kena gigi.”
Asel tersenyum remeh. “Meragukan gua?”
Gua balas menyeringai, “kalo bisa yang lebih enak lagi kenapa nggak?”
And, damn. Fuck.
Penis gua makin dikocok dengan ritme cepat. Ritme yang buat gua mau gak mau harus mengeluarkan erangan sial.
Sial. Sial. Sial.
Nggak ngerti sama mood Asel yang bisa berubah 180° ini. Padahal tadi sore marah dan nangis. Sekarang malah nantangin ngebuat sange.
Ini kalo dia makin nantangin, gua gak bisa buat bersikap lembut, sih. Sumpah nggak bisa. Gua bakal minta maaf sebelumnya, karena sialnya, kepunyaan gua yang lemah itu, jika sudah diberi aksi oleh Asel akan dengan cepat keluar.
Pre-cum gua sudah keluar.
Dan SIAL lagi, Asel malah menjilati setiap bagian dari penis gua. Setiap yang keluar, ia jilat, ia kecup, shiiiiiiit kenapa sekarang malah disedot?
Ia mengelap pinggiran bibirnya kasar, “Cepet banget sih keluarnya.” lalu merunduk untuk mencium bibir gua.
“Anjing ya lu,” Gua bangun, membalikkan posisi dengan Asel yang sekarang berada pada kungkuhan gua. Ia menyeringai, mengecup bibir gua lalu melumatnya. “Tuh, sperma lu gua jilat. Gimana rasanya sperma sendiri? Enak nggak?”
Bangsat.
“Belajar darimana ngomong gitu?” Gua menekan dagunya, menatap lamat matanya yang terus meneriakkan goda.
Shit, Asel seksi banget kalo begini.
“Ya dari lu lah, sama siapa lagi gua ngewe kalo bukan sama lu?”
Jawaban darinya tidak gua balas dengan kalimat lagi. Gua langsung melepaskan semua pakaian yang masih menempel pada tubuhnya. Setelah kami telanjang bulat, Asel merebahkan dirinya di kasur, dilanjut dengan gua yang menunduk untuk menyapu bagian samping telinganya dengan lidah. Lalu gua bisikkan, “Maaf. Lu seksi banget. Maaf kalau abis ini gua kasar.”
Asel menangkup pipi gua, lalu balas bisik tepat di telinga kiri. “Gak masalah.”
Ia beri tampang menggoda, jarinya memelintir salah satu puting gua. Mengendus leher, lalu menggigitnya dan disapu dengan lidah.
Gua langsung menelusupkan lidah pada mulutnya, meredam semua lenguhan yang ia keluarkan. Kakinya bergerak kesana kemari. Penisnya sudah keras, lantas gua beri sentuh serta memainkannya pelan.
Ciuman gua turun menuju tulang selangkanya yang cantik. Gua nggak pernah absen untuk meninggalkan tanda di bagian ini, karena gua sangat suka jika bagian ini sudah dibubuhi seni yang diciptakan oleh gigi dan lidah.
Putingnya gua jilat, gua kecup, gua gigit一lagu gua tarik pelan. Ketika gua melakukannya berulang kali, Asel menepuk punggung gua, jangan ditarik ih! Nanti copot!
Gua terkekeh dan langsung pindah menuju perut bagian bawahnya. Bulu-bulu yang tumbuh sebelum menuju penisnya membuat gue sedikit geli ketika mengecupnya. Asel menggeliat ketika gua duduk diantara kedua pahanya seraya menjilat jari tengah untuk dimasukkan pada lubangnya.
“Zi, kalo pake ludah doang terlalu kering. Sakit.” Kata Asel, ketika gua hendak memasukan jari pada lubangnya.
“Ambilin. Di laci sebelah.” Tanpa diberi tahu harus ambil apa, ia langsung bangun dan merangkak menuju laci sebelah kasur untuk mengambil pengaman dan pelumas. Melihat pantatnya dan caranya mengambil barang itu tanpa bangun sepenuhnya, ngebuat nafsu gue makin besar.
“Pakein kondomnya.” Asel langsung memasang kondom di kepunyaan gua. Dan setelah kondom terpasang dengan benar, gua makin sadar kalau Asel ini orangnya penuh inisiatif.
Ia menumpahkan lubrikan pada telapaknya, lalu dioleskan pada kepunyaan gua yang tadi ia beri aksi. Tangannya telaten mengoles sembari menatap gua yang sudah diburu-buru oleh nafsu. Pergerakannya malah diperlambat di sana, gua makin pusing dan nggak tahan lagi.
Asel juga, sepertinya paham dengan lenguhan yang keluar dari mulut gua. Ia merebahkan lagi dirinya di kasur, lalu melebarkan kakinya; memperlihatkan kemaluannya pada gua; seakan minta digagahi.
Ini kalo lubangnya bisa ngomong, pasti udah bilang Selamat datang, silahkan masuk! kayak pegawai mini market.
Anjiiiingggggggggg emang dasar manusia penuh inisiatif. Belom disuruh aja udah langsung ngangkang.
Tidak perlu berlama-lama, gua menuangkan lubrikan pada tangan dan melumuri jari sebasah mungkin. Sudah lama sejak seks terakhir kami, gua takut Asel meringis kesakitan jika terlalu kering.
Satu jari, Hamzi, boleh tambah.
Dua jari, lagi, zi.
Tiga jari, Hamzi, masukin punya kamu.
Dan ketika ia merasa cukup, sewaktu gua menggesekan kepunyaan gua dengan lubangnya, ia menekan perut bagian bawahnya sambil melenguh.
Perlahan gua memasukkan penis sambil genggam kedua tangannya yang pasrah di samping kanan dan kiri. Netra kami saling tangkap, desahannya secara langsung gua saksikan di depan gua sendiri. Bibirnya terbuka, lidah gua langsung menelusup dan menari-nari pada rongga mulutnya. Lidah kami saling bertempuran dengan pola yang jauh dari kata teratur. Persatuan kami di bawah sana sudah sepenuhnya masuk.
Tinggal tunggu, siapa yang duluan inisiatif untuk beri friksi?
Soalnya gua gak mau. Biar Asel si juara provinsi aja yang duluan beri aksi.
“Anjing, Hamzi. Gerakin cepeeeeet.” Ia merengek disela ciuman kami. Gua masih belum mau bergerak, mau lihat dulu bagaimana jika dia yang memimpin permainan ini.
“Sekali-kali kamu.” Gua membalikkan posisi menjadi Asel yang di atas. Badan gua, gua senderkan pada headboard kasur, ia melenguh kencang ketika secara tiba-tiba gua menukar posisi.
“Zi… kerasa banget.” Ia menopang badannya dengan menekan dada gua.
Gua mendukung pergerakannya yang masih malu-malu dengan meremas pantatnya. Kadang juga, ketika gua lihat wajahnya yang memberi sinyal nikmat, gua tampar pantatnya bergantian.
“Sel,”
Melihat Asel yang kewalahan, gua bantu bergerak dengan mengeratkan tangan pada pinggangnya dan menaikkan tubuh Asel ke atas dan ke bawah.
Posisi ini adalah posisi yang pertama kali kami coba. Namun entah darimana ia bisa menahan ini, Asel selalu jago jika menyangkut menutupi rasa sakit dalam hal sesksual. Padahal, gua tahu ia sangat ngilu ketika penis gua mengenai titik kenikamatannya. Karena posisi ini, lubangnya pasti sangat ngilu ketika penis gua terasa mentok di sana.
Asel pun, pasti tahu dan merasa demikian. Namun ia menunjukannya dengan menarik tangan gua untuk memelintir putingnya.
Ini adalah waktu yang akan gua rekam dan gua putar setiap kali gua coli nanti.
Damn, gila sumpah, Asel makin ngebuat gua semangat buat cepetin genjotan.
Badannya mulai dirasa lemas, ia menenggelamkan kepalanya di antara perpotongan leher gua. Lengannya juga ikut dikunci di sana. “Hamzi… kamu gantian gerak, please.”
Gua mengambil alih pergerakan dengan menaik-turunkan tubuhnya lebih cepat. Tangan gua berada pada pinggangnya yang ramping一pinggang yang paling pas untuk dierat dan diremas saat aktivitas seperti ini.
Tangannya memainkan penisnya sendiri, beri stimulasi lebih agar nikmat menguasai. Sebentar lagi, kami sampai pada puncak putih yang orang-orang namakan klimaks, Asel maupun gua, makin cepat beri aksi pada bagian masing-masing.
Melihat kami yang sibuk menuju pelepasan, membuat gua makin semangat menggempurnya一makin erat genggaman tangan pada pinggang Asel, pantatnya gua tampar lagi untuk tambah sensasi pada rasa luar biasa yang bentar lagi beri presensi.
Suara dari aktivitas seksual kami memenuhi ruangan. Ruangan yang jadi saksi bisu akan perlakuan mesum kami, ruangan yang jadi saksi akan kisah gua dan Asel selama bertahun-tahun.
Gua menggenjotnya cepat-cepat ketika dirasa kepunyaan gua sudah membesar mau mengeluarkan cairan, Asel juga sepertinya udah gak tahan, gue merasakan penis yang makin dijepit oleh lubangnya yang mengetat. Kami sama-sama udah gak kuat.
“Aku mau keluar! Ah! Hamzi!”
Gua menghentakkan sekali lagi, “Keluar sayang.”
Pada hentakan yang terakhir, akhirnya kami mencapai pelepasan masing-masing, Asel mendesah kencang seraya gua membaringkannya lagi di kasur.
“Ah..., Sel, sumpah.”
Deru napas kami saling adu. Gua melepas kondom, lalu membuangnya pada tempat sampah di bawah nakas setelah mengikatnya asal.
Melihat Asel yang masih mengatur napas sembari memejamkan mata. Kadang, membuat gua ingin lagi.
Seksi, coy.
Tapi, gua nggak setega itu untuk menggempurnya tepat setelah pelepasannya. Nggak sekarang.
Gua memiringkan tubuh menatapnya, mengecup pipinya dan merapihkan rambutnya yang dibasahi keringat. “Kamu lagi kenapa, sih? Tumben nakal banget.”
“Ngelakuin apa yang tadi sore kamu bilang.” Tangannya ikut bermain pada bibir gua, ia cubit kecil, lalu dikecup. Ia usap-usap, lalu tersenyum sendiri.
“Emang apa yang tadi sore aku bilang? Aku sendiri aja lupa.”
Asel pasang senyum paling nakal, lalu menirukan intonasi suara gua. “Lakuin apa aja yang bisa seenggaknya ngebuat lu lega?”
Gua terkekeh akan pernyataan atau pertanyaan yang barusan ia lontarkan. Gua menariknya sehingga jarak tidak lagi ada dalam kamus kami, mendekap hangat tubuhnya dengan dibalut selimut yang gua tarik.
“Udah lega sekarang?”
Ia mengangguk. “Makasih, Hamzi.” lalu senyum lagi sampai kedua matanya membentuk bulan sabit.
“Jangan gemes-gemes elah, ntar gua pengen lagi.”
“Gak masalah, kalo lu mau lagi. Ayo?”
Emang yang namanya Asel, hobinya bikin pusing seribu keliling.